Pagi itu di kantor Sebastian, suasana tegang terasa di udara. Bintara dan Sebastian duduk berhadapan, meja besar di antara mereka dipenuhi dokumen-dokumen penting. Wajah Bintara tampak cemas, gelisah, sementara Sebastian berusaha menjaga sikap tenangnya.
“Aruna kemarin melihat kau bersama Serena,” kata Sebastian, suaranya datar namun tegas.Kata-kata itu seolah menampar Bintara, membuatnya terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Rencananya yang sudah disusun rapi kini terancam hancur. Ia tahu, sebentar lagi semuanya akan menuju titik terang, tapi situasi ini menambah beban di pundaknya.“Aku minta kau tetap beri tahu kejelasan situasi yang terjadi pada Aruna,” pinta Bintara dengan suara sedikit bergetar, menahan emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya. Ia menatap Sebastian dengan tatapan memohon, berharap sahabatnya itu bisa mengerti betapa pentingnya hal ini baginya.Sebastian tersenyum tipis, hampir seperti sSuasana pagi di warung sayur Aruna selalu ramai dan penuh warna. Aroma segar sayuran yang baru dipanen memenuhi udara, bercampur dengan suara riuh para pembeli yang sibuk memilih dan menawar. Matahari baru saja naik, memberikan cahaya lembut yang membuat dedaunan sayur bersinar hijau cerah. Aruna, dengan senyum hangat dan semangat pagi yang tak pernah pudar, sibuk melayani pelanggan. Di tengah keramaian itu, sosok yang dikenal Aruna dengan baik mendekat. Hasan, dengan langkah mantap dan senyum ramahnya, berjalan menuju warung sayur. Aruna yang sedang menata tomat-tomat segar langsung menyapanya."Selamat pagi, Hasan! Biasa ya, beli sayur untuk sarapan?" tanya Aruna dengan nada ceria, sambil merapikan beberapa sayuran di meja.Hasan tersenyum, tetapi ada sorot mata yang berbeda hari ini, sedikit lebih dalam dan penuh perasaan. Ia menghela napas sebelum menjawab. "Pagi, Aruna. Sebenarnya, aku datang bukan untuk beli sayur hari ini."Aruna berhenti
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyelinap melalui jendela dapur, menerangi meja sarapan Bintara dan Serena. Mereka menikmati roti panggang dan jus jeruk sambil sesekali berbincang ringan tentang rencana hari itu. Namun, suasana tenang itu mendadak berubah ketika ponsel Serena bergetar di meja. Wajahnya seketika menegang, matanya berkedip sejenak sebelum mengambil ponselnya. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Bintara curiga. Serena mengangkat telepon dan tanpa berkata apapun kepada Bintara, ia bangkit dari kursinya. Ia melangkah keluar dari ruang makan, mencari sudut yang lebih tenang dan jauh dari pendengaran Bintara. Di luar jangkauan suaminya, Serena menjawab telepon itu dengan suara rendah dan berbisik. Wajahnya tampak penuh ketegangan dan kegelisahan, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang sangat penting dan rahasia. Pandangannya sesekali melirik ke arah ruang makan, memastikan bahwa Bintara tidak mengikuti atau mendengarnya.
Suasana sore yang tenang menyelimuti rumah Aruna. Cahaya matahari yang hangat menerobos jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai ruang tamu. Aruna duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan dari Bintara beberapa hari yang lalu masih tertera di layar, belum dibalas.[Aruna, aku minta maaf atas segala yang kau lihat. Aku punya rencana, tolong tetap percaya.] Pesan itu terus berulang di pikirannya. Dia merasakan campuran emosi—rindu, marah, dan kebingungan—semuanya bercampur menjadi satu. Kenangan saat dia melihat Bintara bersama Serena di food court menghantui pikirannya. Bagaimana bisa Bintara, yang pernah begitu dekat dengannya, kini tampak begitu jauh dan asing?Aruna menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia ingin mempercayai Bintara, tapi keraguan terus menghantuinya. Apakah benar Bintara memiliki alasan yang kuat? Ataukah ini hanya caranya untuk menjauh darinya dan kembali kepada Serena?Dalam keh
Di keheningan malam, Bintara terjaga di kamar rawat inap, matanya tak lepas dari sosok ibunya yang terlelap di ranjang rumah sakit.Cahaya lampu redup memantulkan bayangan lembut di wajah ibunya, memperlihatkan garis-garis usia dan perjuangan yang telah ia lalui. Suara alat medis yang berdetak pelan menjadi satu-satunya suara di ruangan itu, seolah ikut menjaga ketenangan malam.Bintara duduk di kursi di samping ranjang, perasaan gundah memenuhi hatinya. Ada rasa lega karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan ibunya, namun juga ada rasa sakit dan marah yang mendalam. Melihat ibunya dalam kondisi seperti ini membuat Bintara semakin sadar betapa berharganya waktu bersama keluarga. Ia menyesal karena selama ini terlalu sibuk dengan urusan dan ambisinya sendiri, hingga tak menyadari bahwa orang yang paling berarti dalam hidupnya hanya tersimpan dalam kenangan.Ia mengulurkan tangan, menggenggam tangan ibunya yang dingin namun tetap terasa hangat di ha
Pagi yang cerah di Bandung diselimuti embun tipis yang mulai menguap oleh sinar matahari. Serena meninggalkan hotel dengan langkah cepat, tangannya menggenggam erat bungkusan sarapan yang ia bawa khusus untuk Bintara. Hatinya sedikit berdebar, memikirkan bagaimana reaksi Bintara setelah malam yang panjang menjaga ibunya di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Serena langsung menuju ruang inap VIP tempat Bu Najiah dirawat. Di sepanjang koridor, suasana rumah sakit mulai hidup dengan suara langkah kaki perawat dan dokter yang berlalu lalang, serta suara monitor yang berdering pelan di kejauhan. Ketika ia sampai di depan pintu kamar, Serena menarik napas dalam-dalam, memperbaiki senyumnya, dan masuk dengan tenang. Di dalam, ia melihat dokter Hasan sedang memeriksa kondisi Bu Najiah yang masih terbaring lemah di ranjang. Bintara duduk di samping ibunya, wajahnya menunjukkan kelelahan namun matanya tetap penuh perhatian te
Siang hari itu, rumah sakit tampak ramai dengan pasien dan keluarga yang hilir mudik. Cahaya matahari yang menyengat menembus jendela-jendela besar, membuat suasana semakin terik. Di dalam kamar rawat inap VIP, Serena duduk di samping tempat tidur Bu Najiah dengan wajah bosan. Ia melirik jam di tangannya berkali-kali, tampak gelisah."Bintara," katanya akhirnya, memecah kesunyian. "Aku akan pergi sebentar untuk membeli beberapa pakaian ganti untukmu. Biar kamu lebih nyaman nanti."Bintara, yang masih duduk di samping ibunya, mengangguk pelan. "Baiklah, Serena. Hati-hati di jalan."Serena segera bangkit dari kursinya, meraih tasnya, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Sesampainya di parkiran, ia masuk ke dalam mobil Bintara dan menghela napas lega. "Akhirnya," gumamnya sambil menyalakan mesin mobil.Di perjalanan menuju mall, Serena menyandarkan punggungnya dengan nyaman di jok mobil. Matanya menatap jalanan yang sibuk, tetapi pikirannya mela
Ponsel Bintara terasa bergetar di saku celananya. Bintara melangkah keluar dari ruangan Bu Najiah, Ia berjalan ke ruang tunggu, mencari tempat duduk yang sepi. Setelah menemukan kursi kosong, ia mengangkat teleponnya yang masih berdering."Sebastian," ujar Bintara pelan namun tegas.Suara Sebastian di ujung telepon terdengar serius. "Bintara, aku baru saja mendapat kabar dari polisi. Mereka telah menemukan siapa yang menculik Rohana. Dialah Rocky yang menculik Rohana di taman bermain, sepertinya Serena melemparkan semua kesalahannya pada Rocky."Jantung Bintara berdegup kencang. Nama yang disebut Sebastian membuatnya terkejut. "Rocky? Bagaimana mungkin? Bukankah dia telah di tahan ?""Ya, sepertinya saat itu Serena membebaskannya tanpa sepengetahuanmu, agar dia bisa memerintah Rocky dengan leluasanya," jawab Sebastian dengan nada penuh keyakinan. "Polisi telah mengumpulkan cukup bukti untuk mengaitkannya dengan penculikan itu. Mereka sedang dalam
Esoknya, beberapa pengawal tiba di rumah sakit dengan pakaian kasual agar tidak mencolok. Mereka bergerak dengan tenang dan profesional, menyebar di sekitar area rumah sakit untuk memantau setiap gerakan yang mencurigakan. Bintara sudah menyusun strategi bersama mereka untuk menangkap Rocky, yang diperkirakan sedang memantau ibunya atas perintah Serena.Bintara berkumpul dengan para pengawalnya di sebuah toilet, sikap mereka seolah tak saling kenal namun berkomunikasi sambil mencuci tangan di depan wastafel.Mereka memetakan rencana mereka dengan cermat, memastikan bahwa setiap detail telah diperhitungkan. Pengawalnya, yang berpengalaman dalam operasi semacam ini, mengangguk setuju saat Bintara menjelaskan rencananya."Kita akan memancing Serena agar teralihkan," kata Bintara dengan suara tegas. "Aku akan mengajak Serena berwisata ke Lembang. Sementara itu, kalian akan menangkap Rocky. Jangan biarkan dia lolos."Para pengawal mengangguk, menunjukk