Mata Ajeng melotot ngeri sambil melambai-lambaikan tangan dengan cepat.
"Nggak, Tante. Ella cuma bercanda kok. Dia lagi melantur," elak Ajeng sambil menggeleng. Tatapan Evan berubah menjadi dingin, menusuk Ajeng hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Mana mungkin dia mau menjadi istri kedua pria dingin seperti kulkas itu? Apalagi Evan adalah big boss di perusahaan tempat dia bekerja. "Ella, mami minta penjelasan." Tante Dahlia, ibu mertua Ella, menarik tangan Ajeng dan menyeretnya menuju ke ranjang yang ditempati oleh Ella. Padahal Ajeng ingin segera kabur dari rumah sakit dan menenangkan diri dengan tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Tapi kehadiran wanita berusia setengah abad itu mengacaukan semuanya. Ella tersenyum ketika melihat cengkeraman tangan ibu mertuanya di pergelangan tangan Ajeng. Sementara Evan menatap sang istri dingin. "Jelaskan kenapa kamu sampai terbaring tak berdaya di rumah sakit ini? Kenapa nggak mengabari aku, malah dia yang lebih dulu tahu?" tuntut Evan. Ajeng meringis mendengar nada suara Evan yang begitu dingin. Jika sudah begitu, itu artinya Evan sudah sangat murka. "Aku baik-baik saja kok. Hanya terkena flu biasa," jawab Ella santai. "Ella divonis terkena kanker darah," koreksi Ajeng. Dua orang yang baru saja datang itu langsung menegang. Tante Dahlia menutup mulutnya, sedangkan Evan mengusap wajahnya kasar. "Jadi bukan karena hamil, setiap hari kamu muntah parah dan selalu mengeluh pusing? Kamu selalu menolak ketika aku menyuruh kamu untuk periksa ke rumah sakit." "Jangan melebih-lebihkan. Sini, aku mau ngomong." Bukannya menanggapi, Ella malah menggapai-gapai tangan Evan. Meskipun terlihat marah, Evan tetap mendekati istrinya dengan tatapan lembut. Hal yang membuat Ajeng heran, karena Ella tidak memberikan tatapan yang sama. Wanita itu terlihat cuek. "Aku minta kamu untuk menikahi Ajeng. Biar dia bisa mengurus kamu dan anak kita kelak." Evan langsung marah. "Kamu sudah gila! Aku sangat mencintai kamu. Bisa-bisanya kamu menyuruh aku untuk menikah lagi? Wanita lain memohon-mohon untuk tidak dimadu, tapi kamu malah sebaliknya." "Dengerin aku dulu. Aku cuma mau Ajeng yang mengurusi kamu..." "Aku bukan anak kecil! Aku bisa mengurusi diriku sendiri!" hardik Evan. "Tapi aku sudah nggak bisa lagi melayani kamu di tempat tidur. Jadi Ajeng bisa..." "Ella, sudah berhenti. Kamu mulai nggak waras. Evan, cepat pergi ke ruang administrasi. Kamu harus segera mengurus berkas-berkas Ella agar dia segera menjalani kemoterapi," potong Ajeng. Ella langsung menggeleng dengan keras kepala. "Aku nggak mau dikemo sebelum kamu menikahi Ajeng." "Ella Paramita! Kamu nggak boleh membantah suami. Kamu harus mau dikemoterapi secepatnya," titah Evan. "Nggak sebelum kamu menikahi Ajeng. Apa kamu mau anak kita dalam bahaya?" Evan hendak membantah lagi ketika pintu ruangan terbuka. Seorang dokter masuk diikuti oleh perawat. "Maaf, pasien harus segera melakukan pengobatan sebelum penyakitnya semakin parah dan bisa berakibat pada janin yang dikandungnya," kata dokter itu. Ella kembali menggeleng. "Aku nggak mau melakukan pengobatan apapun sebelum kamu menikahi Ajeng." Evan mengerang frustrasi sambil mengacak-acak rambutnya. "Kamu kenapa sih keras kepala sekali? Kenapa aku harus menikahi Ajeng dulu baru kamu mau menjalani kemoterapi?" "Anggap saja Ajeng sedang membayar hutangnya dengan melayani kamu dan merawat anak kita. Dia sudah nggak bisa lagi memiliki anak. Jadi, biarkan dia menjadi ibu bagi anak kita." Perkataan Ella benar-benar menyakitinya. Sebenarnya apa motif Ella yang sebenarnya? Kenapa sahabatnya itu tetap ngotot agar suaminya menikah lagi? Tidak tahan lagi, dia melepaskan tangan Tante Dahlia dari tangannya dan keluar dari ruangan itu sambil menyeka air mata yang mengalir deras. Sempat dilihatnya pandangan simpati dari perawat dan dokter itu, namun ia mengabaikannya. Rasanya ia benar-benar tersinggung sekaligus malu. Suara panggilan Ella tidak diacuhkannya. Dia buru-buru menjauhi kamar rawat Ella dan berjalan cepat menuju ke gerbang rumah sakit. "Mbak, mbak kenapa? Butuh bantuan?" Ajeng bahkan tidak tahu siapa yang menanyainya. Dia menangis tersedu-sedu sambil berjongkok. "Eh, gimana nih? Aduh, ada yang bisa menenangkan mbaknya nggak ini?" Suara panik seorang laki-laki terdengar di telinga Ajeng. Bahunya ditepuk pelan. "Mbak, mbak kenapa? Mau diantar pulang?" tawar seorang wanita seusia Ajeng. Ajeng buru-buru mengusap kedua pipi dan matanya. Menatap kerumunan di depannya dengan malu. "Maaf. Saya nggak apa-apa," ucapnya dengan wajah memerah. "Itu ada mobil. Tolong antarkan mbak ini ke rumahnya. Kasihan kalau pulang sendiri," kata wanita itu. Ajeng menurut saja ketika dituntun masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam. Pikirannya sedang linglung, jadi dia tidak bisa berpikir dengan jernih. "Kemana ini mbak?" tanya si sopir. Ajeng menyebutkan alamat rumah kontrakannya. Sepanjang perjalanan, Ajeng hanya diam sambil menatap ke deretan bangunan di pinggir jalan. Teringat dengan perkataan menyakitkan Ella dan permintaan wanita itu. Sekarang dia memiliki hutang sebesar 21 milyar pada Ella. Dia tidak bisa menolak karena situasinya benar-benar mendesak. Seandainya saja masih ada kesempatan, dia akan mengusahakan untuk mendapatkan uang itu tanpa harus terjebak dengan permintaan Ella yang terasa mencekik lehernya. Kenapa masalahnya datang bertubi-tubi setelah bercerai dari Dimas? Apa memang nasibnya sesial itu? "Mbak, rumahnya yang mana?" Ajeng terkesiap dan langsung menoleh ke sekitarnya. Ternyata rumah kontrakannya sudah ada di depan sana. "Turun di sini saja. Berapa mas?" tanyanya sambil membuka resleting slingbang miliknya. "Gratis mbak." Ajeng mendongak dan menaikkan alis. "Tapi mas..." "Sudah, anggap saja saya sedang menolong." "Terima kasih banyak ya, Mas," ucap Ajeng dengan bersungguh-sungguh. Dia keluar dari mobil dan tersenyum pada pengemudi mobil itu sebelum berjalan melewati beberapa rumah agar bisa sampai ke rumah kontrakannya. Ia ingin menenangkan diri seharian ini tanpa gangguan dari siapapun. *** "Ajeng, kamu dipanggil Mr. Evan." Bu Martha, manajer di divisi tempat Ajeng bekerja, menatapnya dengan sorot mata curiga. "Kamu kenapa bisa berurusan dengan Mr. Evan?" Ajeng membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali. Dia melihat rekan-rekan kerjanya yang menatapnya penasaran. Tidak ada yang tahu mengenai hubungan Ajeng dan Evan serta istrinya di perusahaan ini. "Eh, saya juga tidak tahu, Bu. Saya permisi dulu." Ajeng buru-buru kabur dari tatapan mata elang atasannya yang memang menyimpan perasaan pada Evan. Ia menggigit bibir bawahnya dengan jantung berdebar kencang. Kenapa tiba-tiba Evan memanggil pegawai rendahan seperti dirinya? Padahal biasanya tidak pernah. Ketika sudah sampai di depan ruangan Evan, sekretaris pria itu tersenyum dan mempersilahkan Ajeng untuk masuk. Mendadak tangannya berkeringat dingin. Apa jangan-jangan tindakannya kabur kemarin menyakiti Ella dan Evan marah padanya? Ajeng memasuki ruangan Evan dengan ragu. Wajahnya terasa dingin ketika melihat Evan langsung menatapnya dengan wajah datar. "Mari kita menikah secepatnya."Selama beberapa detik, Ajeng hanya diam di tempatnya. Mencerna perkataan Evan yang terdengar seperti dialog dalam sebuah drama. "Apa kamu tuli?" Bentakan Evan menyadarkan Ajeng. Dia sedikit mundur ketika melihat tatapan Evan yang dipenuhi dengan kebencian dan amarah. "Cepat tandatangani perjanjian pranikah ini dan kita menikah. Aku nggak mau menunda-nunda pengobatan istriku lagi." "Kamu gila, Van? Kalian memang pasangan gila. Kenapa kamu malah setuju dengan permintaan Ella?" cecar Ajeng. "Kamu pikir aku mau menikahi kamu? Kalau bukan karena Ella yang mengancam akan membiarkan bayi kami celaka karena penyakitnya nggak diobati, aku nggak akan sudi menikahi kamu." Ajeng tahu Evan sangat mencintai Ella. Bahkan pria itu begitu setia dan tidak mencari wanita lain hanya karena berbulan-bulan tidak dilayani di atas ranjang seperti kata Ella. Tapi tetap saja, perkataan itu menyakiti hatinya. Seolah-olah Ajeng sengaja menawarkan diri dan memaksa Ella agar Evan mau menikah denganny
"Hari ini kamu cantik banget, Jeng. Meskipun sederhana, kamu masih kelihatan seperti memakai kebaya mewah," ucap Ella dengan wajah semringah.Memang kebaya yang dia pakai harganya ratusan juta. Entahlah, Ajeng merasa Ella sengaja menyindirnya. Orang dengan ekonomi pas-pasan seperti dirinya pastilah tidak akan mampu membeli kebaya mahal hanya untuk akad nikah yang berlangsung selama beberapa menit saja."Kamu kok nggak kelihatan senang, Jeng?" tanya Ella heran.Seharusnya Ajeng yang bertanya pada Ella. Kenapa wanita itu justru terlihat bahagia padahal suaminya akan menikah dengan sahabatnya sendiri? Dunia macam apa yang ditinggali oleh Ajeng sekarang? Jangan-jangan ini semua hanyalah mimpi. Mungkin dia sudah mulai gila karena berhalusinasi."Kamu sama Evan kelihatan cocok banget. Nggak salah aku memilih kamu sebagai istrinya," lanjut Ella sambil memegang kedua tangannya dengan senyum bahagia.Ajeng semakin tidak bisa berkata-kata. Apakah Ella sudah berubah menjadi gila karena penyakitn
Selama seharian, Ajeng tidak melihat Evan di mana pun. Mungkin pria itu langsung pergi ke rumah yang ditinggalinya bersama Ella. "Hah, syukurlah. Lebih bagus lagi kalau nggak usah kembali lagi ke sini. Besok, aku masuk kerja seperti biasa. Menjenguk Ella, pulang, istirahat sendirian di rumah ini. Ah, nikmatnya hidup," ucapnya menghibur diri. Setelah ini dia harus lebih sering mengunjungi Ella. Jangan sampai sahabatnya itu berpikir macam-macam. "Sudah lapar, Nyonya? Saya baru saja selesai masak." Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan tersenyum. "Perkenalkan, saya Bi Marni. Saya ke sini di jam-jam tertentu saja Nyonya. Pagi dan sore. Nyonya mau makan sekarang? Dari tadi siang belum makan apa-apa, pasti lapar lho." Ajeng mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya dan Bi Marni. "Boleh deh, Bi. Kebetulan saya lapar banget. Panggil saya Ajeng aja, Bi. Saya masih muda kok dipanggil Nyonya." Ajeng duduk di meja makan dan mengambi
Sepanjang perjalanan, Ajeng dan Evan saling diam. Bukan berarti sebelumnya mereka terbiasa berbincang dengan akrab. Tidak. Hanya saja, aura di dalam mobil terasa dingin karena perkataan Evan tadi.Ajeng berusaha untuk tidak menangis. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. Lagi-lagi dia merasa seperti wanita murahan. Menurut saja ketika Evan menyentuhnya, sedangkan pria itu justru mengaku hanya sedang khilaf."Aku minta maaf," ucap Evan memecah keheningan.Ajeng tidak menjawab. Dia buru-buru membuka pintu mobil agar bisa segera menemui Ella dan menanyakan apa maksud wanita itu memintanya untuk datang ke rumah."Ajeng, tunggu." Evan mencekal lengannya, tapi Ajeng tidak menoleh. "Aku...maaf, aku pria normal. Sudah lama Ella tidak...""Tidak usah dibahas lagi. Aku sadar diri kok, menikah dengan kamu karena apa," potongnya.Tanpa menunggu balasan dari Evan, Ajeng pergi meninggalkan pria itu dan bergegas memasuki rumah Evan yang jauh lebih besar dari rumah yang dia tempati.
Dari sekian banyaknya manusia yang hidup di kota ini, kenapa Ajeng harus bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini? Ia menatap laki-laki yang dengan santainya duduk di sebelahnya itu dengan wajah tak suka. Mood-nya semakin memburuk. Setelah berburuk sangka pada Ella yang sengaja memasukkan udang ke dalam nasi goreng itu, kini ia harus bertemu dengan mantan suaminya."Kamu nungguin siapa? Bukannya kamu sendirian di kota ini?"Ajeng sengaja mengabaikan pria itu. Hatinya masih terasa sakit. Bertahun-tahun mencintai Dimas secara ugal-ugalan, bahkan Ella mengatainya bodoh karena terlalu bucin, kini Ajeng sangat menyesal.Seharusnya dulu dia tidak terlalu mencintai lelaki itu, apalagi sampai percaya sepenuhnya. Pria mana lagi yang bisa dipercaya sekarang? Bahkan Evan pun dengan mudahnya menuruti permintaan Ella untuk menikah lagi. Bukan tidak mungkin suatu saat Evan akan menikah lagi jika dia dan Ella pergi."Ajeng, aku tahu kamu masih sakit hati dengan keputusanku.
"Aku kira tadi kamu tidur," kata Ajeng tak percaya. Dia mendekati Evan yang sudah terlihat membaik. Tidak lagi kesulitan bernafas seperti tadi."Kalian berantem seperti di sinetron-sinetron. Aku yang mendengarnya saja malu." Evan mendengkus, terlihat meremehkan."Bukan salahku kalau aku menampar dia. Kamu pasti mendengar sendiri tadi dia bilang apa," ucapnya dengan wajah kesal.Ajeng sudah siap jika Evan mengolok-oloknya karena dulu pernah menjadi istri Dimas. Pasti pria itu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Tapi di luar dugaannya, Evan justru memejamkan mata.Menghela nafas panjang, Ajeng akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju ke bagian farmasi dan administrasi. Dia menoleh ke sekitar dengan was-was. Malas jika harus bertemu dengan Dimas lagi.Dari kejauhan, Ajeng melihat Dimas yang berjalan sambil memeluk pinggang Ayu. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat pemandangan itu.Tentu saja Ayu bisa hamil. Berbeda sekali dengannya yang tidak ak
Ajeng buru-buru mematikan sambungan itu dengan tangan bergetar. "Mati aku. Mati aku. Bagaimana kalau Siska tahu itu suaraku? Harusnya aku nggak usah mengangkat panggilan itu."Bisa gawat kalau sampai seluruh karyawan tahu bahwa ia dekat dengan Evan. Statusnya sebagai janda saja sudah mengerikan. Apalagi ditambah dengan rumor bahwa ia tengah bersama Evan di rumah sakit. Bisa-bisa ia dicap sebagai pelakor."Bodoh kamu, Jeng! Seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu," gerutunya.Lagi pula sejak kapan karyawan rendahan seperti dirinya tiba-tiba ada di tempat yang sama dengan sang CEO perusahaan multinasional? Dipikir secara logika saja sudah tidak masuk akal."Ya, seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu."Tubuh Ajeng langsung membeku. Ia bahkan tidak sadar masih menggenggam ponsel Evan dengan erat."Kamu sudah biasa merogoh saku celana laki-laki tanpa ijin ya? Gimana? Nggak salah sentuh, kan?"Mendadak Ajeng merasa jengkel. Dengan kesal ia berbalik dan malah melihat
Wajah Ella langsung berubah dingin. Meskipun perutnya kembali mual dan tulang belakangnya terasa sangat nyeri, ia berusaha untuk tidak menampakannya di hadapan sang ibu."Mama kebanyakan nonton sinetron, jadinya mikir yang aneh-aneh. Ajeng tuh sahabat Ella. Dia udah biasa datang ke rumah ini. Mas Evan juga kenal dekat dengan Ajeng. Jadi nggak masalah dong, kalau Ajeng bantuin Mas Evan.""Tapi Ajeng itu janda, El. Meskipun mama sayang sama dia, tapi kamu nggak boleh membiarkan mereka terus berduaan. Banyak artis yang cerai karena ternyata suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri," protes Puspa.Ella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi nanti, jangan salahkan Ajeng. Dia nggak tahu apa-apa." Ella menutup mulutnya karena rasa mual itu kian menjadi-jadi."Lho? Kamu mau muntah? Bi! Bibi! Ambilkan wadah buat Ella! Dia mau muntah!" teriak Puspa panik.Kursi roda Ella didorong menuju ke ruang makan dan seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri mereka sambil membawakan wa