Wajah Ella langsung berubah dingin. Meskipun perutnya kembali mual dan tulang belakangnya terasa sangat nyeri, ia berusaha untuk tidak menampakannya di hadapan sang ibu."Mama kebanyakan nonton sinetron, jadinya mikir yang aneh-aneh. Ajeng tuh sahabat Ella. Dia udah biasa datang ke rumah ini. Mas Evan juga kenal dekat dengan Ajeng. Jadi nggak masalah dong, kalau Ajeng bantuin Mas Evan.""Tapi Ajeng itu janda, El. Meskipun mama sayang sama dia, tapi kamu nggak boleh membiarkan mereka terus berduaan. Banyak artis yang cerai karena ternyata suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri," protes Puspa.Ella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi nanti, jangan salahkan Ajeng. Dia nggak tahu apa-apa." Ella menutup mulutnya karena rasa mual itu kian menjadi-jadi."Lho? Kamu mau muntah? Bi! Bibi! Ambilkan wadah buat Ella! Dia mau muntah!" teriak Puspa panik.Kursi roda Ella didorong menuju ke ruang makan dan seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri mereka sambil membawakan wa
Mulut Ajeng menganga mendengar pertanyaan frontal dari Ella. Kenapa to the point sekali?"Kamu nggak merasa aneh bertanya soal itu? Aku ini madu kamu loh, El. Kok kamu aneh sih?" Ella justru tertawa. "Aku yakin kamu akan bersyukur suatu saat nanti karena telah menikah dengan Mas Evan. Dia itu pria yang baik banget. Kamu nggak akan sakit hati karena dia adalah pria yang setia."Ajeng semakin heran dengan perkataan Ella. Seolah-olah wanita itu bukanlah istri Evan dan sedang mempromosikan pria itu agar Ajeng mau menikah dengan Evan. Pria setia apanya? Dengan mudahnya menikahi Ajeng hanya dengan sedikit paksaan."Sekarang, kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau Mas Evan udah pulang, biar langsung datang ke sini.""Kamu pulang aja, Jeng. Nanti mamaku ke sini kok. Tolong kamu panggilkan Rudi ya. Aku ada urusan yang harus aku bahas sama dia," pinta Ella.Meskipun Ajeng keberatan karena dia masih ingin menghabiskan waktu dengan Ella, tapi wanita itu malah keras kepala. Dengan terpaksa, ia akhi
Ajeng dan Bu Martha langsung melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruangan Manajer Pemasaran."Siska? Mr. Evan manggil saya?" tanya Bu Martha dengan mata berbinar-binar.Wanita yang rambutnya disemir coklat itu menatap Bu Martha datar. Terlihat sekali tidak begitu menyukai wanita yang masih single di usianya yang hampir mendekati 40 tahun."Mr. Evan memanggil Ajeng," jawab Siska.Ajeng memejamkan mata. Kenapa lagi sih laki-laki itu? Seharusnya kalau ada perlu apa-apa, datang saja ke rumah. Jangan di kantor begini. Dia yang kena getahnya."Ayo! Jangan membuat bos besar marah." Siska dengan santai menarik tangan Ajeng tanpa mempedulikan wajah Bu Martha yang merah padam.Lagi-lagi Ajeng harus menunduk agar tidak melihat reaksi rekan-rekan kerjanya yang lain. Sudah dua kali ini ia berhubungan dengan Siska, dan itu benar-benar tidak bagus untuk reputasinya."Sis, aku nggak usah ke sana ya. Bilang aja sama Mr. Evan kalau aku sibuk banget. Atau...atau bilang aja kalau aku lagi ditugaska
Ajeng menangis tersedu-sedu untuk melampiaskan semua yang mengganjal di hatinya. Siska yang melihatnya sampai kelabakan dan akhirnya memeluknya."Kamu bisa cerita sama aku. Aku nggak akan bilang siapa-siapa. Kamu bisa pegang kata-kataku ini," kata Siska sambil membelai rambutnya."Aku memang lebih pantas disebut pelacur, Sis.""Hush! Jangan bilang begitu! Kamu pasti punya alasan kenapa sampai melakukan itu," hardik Siska.Ajeng melepaskan pelukan wanita itu dan menatap Siska heran. "Kamu nggak benci sama aku?"Sekarang gantian Siska yang menatapnya heran. "Kenapa harus benci? Aku malah kasihan sama kamu.""Biasanya kan, sekretaris itu punya perasaan sama bosnya. Mungkin saja kamu diam-diam mencintai Mas Evan seperti Bu Martha," jawab Ajeng polos."Ck! Ngawur!" Siska menoyor kepala Ajeng dengan gemas. "Kebanyakan baca novel ini jelas. Aku di sini tuh murni kerja ya. Lagian aku udah punya tunangan. Gila aja aku malah selingkuh sama suami orang."Dalam hati, Ajeng bersyukur karena Siska
"Kamu kok bisa tahu kalau aku lagi di apartemen Siska?"Ajeng sangat malu sekali ketika Evan berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sudah berganti dan rapi. Ia ingat pakaian itu adalah salah satu pakaian yang disimpan di rumah yang diberikan pada Ajeng.Dengan santainya pria itu menyuruhnya untuk mandi dan memakai gaun yang masih berada di dalam paper bag dengan logo butik ternama. Siska bahkan tidak berhenti memekik ketika merias wajahnya atas perintah Evan."Gila, suami kamu kenapa vibes-nya kayak di novel-novel gitu sih, Jeng? Aku baru tahu sisi romantis dia. Setahuku dia nggak pernah seperhatian itu sama Bu Ella loh," pekik Siska heboh.Ajeng menghela nafas panjang. Heran kenapa Evan bahkan tidak perlu repot-repot menutupi status mereka di depan Siska."Ponsel kamu.""Apa?" Ajeng langsung memeriksa ponselnya dan tidak menemukan apapun. Maksudnya bagaimana?"Aku bisa melacak posisimu dari GPS di ponsel kamu."Mulut Ajeng menganga. Dia menatap Evan tak percaya. Kenapa harus sampa
Ajeng langsung berbalik dan menatap Nadia dengan sebelah alis terangkat. Menatap tak percaya pada gadis yang tahun kemarin baru lulus kuliah."Hubungannya aku menginap di sini sama janda apa ya? Kamu kok bisa lulus kuliah kalau nggak punya etika?" Mendadak Ajeng merasa dongkol dengan gadis centil yang kini bergelayut manja di lengan Evan.Entah kenapa dia merasa tidak rela. Matanya tanpa sadar memelototi tangan itu."Apaan sih? Lagian nggak malu ya nginep di rumah orang yang udah bersuami? Emang dasar janda gatel." Nadia menatapnya dengan wajah julid.Kedua tangan Ajeng terkepal. Pantas saja Ella selalu mengeluh tidak suka ketika Nadia menginap di rumah Evan. "Seharusnya kamu yang malu. Apa pantas seorang gadis memeluk suami sepupunya sendiri? Kamu itu haus belaian atau memang dasarnya udah gatel?" Ajeng semakin memelototi tangan kurang ajar itu, dan setelah itu memelototi Evan.Refleks laki-laki itu melepaskan belitan tangan Nadia dan bergegas masuk ke dalam rumah."Sayang, aku puny
Ajeng buru-buru pergi dengan kaki berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Dia bersembunyi di balik sofa ruang keluarga dengan cara merunduk. Menunggu Nadia menaiki tangga dengan secangkir kopi di tangan kanan dan senyum merekah.Setelah melepaskan alas kaki, Ajeng buru-buru mengikuti Nadia. Gadis itu sudah sampai di depan kamar Evan dan mengetuk pintu."Mas! Mas Evan, buka pintunya dong," panggil Nadia dengan suara manja.Ingin sekali Ajeng muntah melihat kelakuan gadis itu. Untung saja dia tidak melihat gadis itu setiap hari, karena Nadia bekerja di luar kota mengikuti ayahnya.Ketika Nadia mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya karena tidak kunjung dibuka, Ajeng mendekati gadis itu dan merebut cangkir kopi yang masih terasa panas."Makasih ya, udah bikinin aku kopi. Tahu aja kalau aku lagi butuh kopi." Ajeng langsung menjauh ketika Nadia memekik."Balikin nggak? Jangan lancang ya! Itu kopi buat Mas Evan!" jerit Nadia sambil berusaha menggapai kopi itu.Karena Ajeng jauh lebih tingg
Ajeng terus cemberut karena harus mandi di pagi buta. Bahkan langit saja masih gelap di luar sana."Mentang-mentang aku punya hutang milyaran, seenaknya saja nyuruh-nyuruh harus ini itu," gerutunya sambil menyisir rambutnya yang basah. "Ck, kepalaku pusing. Pagi-pagi masih dingin banget begini malah disuruh mandi."Bibirnya masih cemberut ketika Evan baru saja keluar dari kamar mandi. Beruntung pria itu tidak menyerangnya lagi seperti kemarin malam. Tubuhnya benar-benar kelelahan, dan sekarang perutnya kelaparan."Situ sih enak. Pas kepingin, langsung nyosor. Seenaknya saja. Nggak mau ngertiin, aku lagi capek atau nggak..."Gerutunya terhenti ketika tiba-tiba sebuah kalung dengan liontin berlian yang dikelilingi oleh ukiran seperti kelopak bunga mawar disodorkan di depan wajahnya. Matanya langsung fokus dan kegiatan menyisirnya langsung berhenti. Mulutnya menganga. Itu adalah perhiasan yang kemarin diinginkannya.Ia mendongak dan melihat Evan di cermin yang tersenyum miring, seolah-ol
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug