"Aku kira tadi kamu tidur," kata Ajeng tak percaya. Dia mendekati Evan yang sudah terlihat membaik. Tidak lagi kesulitan bernafas seperti tadi.
"Kalian berantem seperti di sinetron-sinetron. Aku yang mendengarnya saja malu." Evan mendengkus, terlihat meremehkan. "Bukan salahku kalau aku menampar dia. Kamu pasti mendengar sendiri tadi dia bilang apa," ucapnya dengan wajah kesal. Ajeng sudah siap jika Evan mengolok-oloknya karena dulu pernah menjadi istri Dimas. Pasti pria itu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Tapi di luar dugaannya, Evan justru memejamkan mata. Menghela nafas panjang, Ajeng akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju ke bagian farmasi dan administrasi. Dia menoleh ke sekitar dengan was-was. Malas jika harus bertemu dengan Dimas lagi. Dari kejauhan, Ajeng melihat Dimas yang berjalan sambil memeluk pinggang Ayu. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat pemandangan itu. Tentu saja Ayu bisa hamil. Berbeda sekali dengannya yang tidak akan bisa merasakan kehadiran bayi di dalam perutnya. Selama mengurus administrasi dan menunggu obat di bagian farmasi, Ajeng hanya melamun. Perkataan Dimas mau tidak mau mengganggu pikirannya. Ditambah dengan perkataan Ella. Dia mandul. Siapa yang mau menikah dengannya kecuali Evan? Itupun karena dipaksa oleh Ella. Kalau dipikir-pikir lagi, perkataan Dimas ada benarnya juga. Ia menjadi istri simpanan Evan tentu hanya menjadi pemuas nafsunya saja. Memangnya untuk apalagi? Sekarang dia bisa apa? Mau kabur seperti di novel-novel pun tidak bisa. Hutangnya pada Ella entah sampai kapan bisa dia tebus dengan pernikahan rahasia ini. "Tuan Evan Braun!" Ajeng mengerjap dan sedikit tersentak karena kaget. Cepat-cepat ia mengambil obat itu dan mengangguk-angguk ketika petugas menjelaskan tentang aturan pakai obat itu. Setelah selesai, ia kembali ke ruangan Evan. Pria itu masih terlelap. Mungkin karena pengaruh obat. Seorang perawat masuk dengan membawa baskom dan lap kecil. "Buat apa itu, Mbak?" tanya Ajeng penasaran. "Untuk mengompres wajah pasien agar cepat kempes bengkaknya." "Biar saya saja, mbak." Ajeng mengambil alih baskom itu dan memasukkan lapnya ke dalam air hangat. "Setelah pasien bangun, nanti makan siang dan minum obat lagi. Jika sudah sembuh, bisa langsung pulang," kata perawat itu sebelum pergi. Ajeng mengangguk. Ia menempelkan lap yang sudah diperas sebelumnya di dahi dan kedua pipi Evan secara bergantian. Kasihan sekali pria itu. Alerginya terhadap udang tidak main-main. Bisa langsung sesak nafas dan wajahnya bengkak. Bukan lagi gatal-gatal. Ia merawat Evan dengan telaten. Hitung-hitung sebagai upaya untuk membayar hutangnya pada Ella. Berbicara mengenai Ella, kenapa sahabatnya bisa begitu ceroboh? Sudah tahu Evan alergi udang, tapi pembantu di rumah mereka malah memasak nasi goreng udang. Tunggu, udang adalah kesukaan Tante Puspa. Pantas saja pembantu Evan memasak nasi goreng udang. Tapi meskipun begitu, mereka seharusnya memisahkan nasi goreng tanpa campuran udang khusus untuk Evan. Tiba-tiba ia teringat dengan seporsi nasi goreng yang sudah siap di depan Ella. Bukankah Ella bilang bahwa wanita itu tidak lagi bisa berdiri untuk mengambilkan Evan nasi goreng? Kesadaran menghantamnya. Apa jangan-jangan, nasi goreng yang dimakan Ella seharusnya adalah untuk Evan? Tapi kenapa Ella malah memakannya? Kenapa Ella melakukan itu? Pikiran-pikiran buruk mulai merasuki pikiran Ajeng. Dia benci berburuk sangka pada sahabat yang sudah menolongnya, tapi semakin lama Ella semakin aneh. Apakah Ella sengaja? Termasuk Evan yang tiba-tiba datang ke rumahnya, apakah itu atas perintah Ella? Kenapa? Tengah asyik melamun sambil terus mengompres wajah Evan, dering ponsel mengagetkan Ajeng. Kepalanya menoleh kesana-kemari mencari sumber suara. Sampai ia sadar bahwa suara itu berasal dari saku celana Evan bagian depan. Duh, kenapa di bagian itu? Matanya bahkan begitu lancang melirik gundukan yang ada di tengah-tengah... "Apaan sih, Jeng?" bisiknya kesal, namun wajahnya memerah. Terpaksa ia harus merogoh saku celana Evan karena dari tadi deringnya tidak kunjung berhenti. Lagi pula mereka sudah suami istri. Pasti Evan juga tidak akan marah. Dering telepon berhenti. Ia melirik Evan yang masih terlihat tenang. Sama sekali tidak merasa terusik dengan suara deringnya yang keras dan juga... tangannya yang masuk ke dalam saku celana itu. Mendadak wajahnya terasa panas. Kenapa ia menjadi terus mengingat malam sialan itu? Dadanya mendadak berdebar. Sialan! Itu bukan pertama kalinya dia berhubungan suami istri. Ponsel Evan kembali berdering. Menampilkan nama Siska, sekretaris pria itu. Refleks ia menggeser simbol hijau karena kebiasaan, sampai ia baru sadar bahwa itu bukanlah ponsel miliknya. Matanya membelalak panik. Bodoh sekali kamu, Jeng! [Halo? Halo, Mr?] "Ya?" Hening cukup lama. Bahkan terlalu lama. Ajeng memejamkan mata. Bagaimana kalau wanita itu mengenali suaranya? Mampus lah dia. [Ini, Ibu Ella?] "Eh, bukan. Itu...aku...aku sepupunya Mas Evan," jawab Ajeng dengan jantung berdegup kencang. [Oh. Mr Evan di mana ya? Ada hal penting yang harus aku sampaikan.] "Eh, itu...Mas Evan lagi di rumah sakit. Alerginya kambuh. Ada pesan? Nanti pasti aku sampaikan kok." Hening lagi. Entah kenapa Ajeng takut jika Siska mengenali suaranya. Masalahnya, mereka pernah beberapa kali mengobrol ketika berada dalam satu lift. [Ehm...bilang pada Mr. Evan kalau jam 2 siang nanti ada meeting dengan klien dari luar negeri. Aku tunggu kabarnya secepatnya ya.] "Oke, Sis. Nanti aku sampaikan ke Mas Evan." Hening lagi. [Kok suara kamu kayak nggak asing ya? Kamu...kerja di PT Deca Indonesia?]Ajeng buru-buru mematikan sambungan itu dengan tangan bergetar. "Mati aku. Mati aku. Bagaimana kalau Siska tahu itu suaraku? Harusnya aku nggak usah mengangkat panggilan itu."Bisa gawat kalau sampai seluruh karyawan tahu bahwa ia dekat dengan Evan. Statusnya sebagai janda saja sudah mengerikan. Apalagi ditambah dengan rumor bahwa ia tengah bersama Evan di rumah sakit. Bisa-bisa ia dicap sebagai pelakor."Bodoh kamu, Jeng! Seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu," gerutunya.Lagi pula sejak kapan karyawan rendahan seperti dirinya tiba-tiba ada di tempat yang sama dengan sang CEO perusahaan multinasional? Dipikir secara logika saja sudah tidak masuk akal."Ya, seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu."Tubuh Ajeng langsung membeku. Ia bahkan tidak sadar masih menggenggam ponsel Evan dengan erat."Kamu sudah biasa merogoh saku celana laki-laki tanpa ijin ya? Gimana? Nggak salah sentuh, kan?"Mendadak Ajeng merasa jengkel. Dengan kesal ia berbalik dan malah melihat
Wajah Ella langsung berubah dingin. Meskipun perutnya kembali mual dan tulang belakangnya terasa sangat nyeri, ia berusaha untuk tidak menampakannya di hadapan sang ibu."Mama kebanyakan nonton sinetron, jadinya mikir yang aneh-aneh. Ajeng tuh sahabat Ella. Dia udah biasa datang ke rumah ini. Mas Evan juga kenal dekat dengan Ajeng. Jadi nggak masalah dong, kalau Ajeng bantuin Mas Evan.""Tapi Ajeng itu janda, El. Meskipun mama sayang sama dia, tapi kamu nggak boleh membiarkan mereka terus berduaan. Banyak artis yang cerai karena ternyata suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri," protes Puspa.Ella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi nanti, jangan salahkan Ajeng. Dia nggak tahu apa-apa." Ella menutup mulutnya karena rasa mual itu kian menjadi-jadi."Lho? Kamu mau muntah? Bi! Bibi! Ambilkan wadah buat Ella! Dia mau muntah!" teriak Puspa panik.Kursi roda Ella didorong menuju ke ruang makan dan seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri mereka sambil membawakan wa
Mulut Ajeng menganga mendengar pertanyaan frontal dari Ella. Kenapa to the point sekali?"Kamu nggak merasa aneh bertanya soal itu? Aku ini madu kamu loh, El. Kok kamu aneh sih?" Ella justru tertawa. "Aku yakin kamu akan bersyukur suatu saat nanti karena telah menikah dengan Mas Evan. Dia itu pria yang baik banget. Kamu nggak akan sakit hati karena dia adalah pria yang setia."Ajeng semakin heran dengan perkataan Ella. Seolah-olah wanita itu bukanlah istri Evan dan sedang mempromosikan pria itu agar Ajeng mau menikah dengan Evan. Pria setia apanya? Dengan mudahnya menikahi Ajeng hanya dengan sedikit paksaan."Sekarang, kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau Mas Evan udah pulang, biar langsung datang ke sini.""Kamu pulang aja, Jeng. Nanti mamaku ke sini kok. Tolong kamu panggilkan Rudi ya. Aku ada urusan yang harus aku bahas sama dia," pinta Ella.Meskipun Ajeng keberatan karena dia masih ingin menghabiskan waktu dengan Ella, tapi wanita itu malah keras kepala. Dengan terpaksa, ia akhi
Ajeng dan Bu Martha langsung melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruangan Manajer Pemasaran."Siska? Mr. Evan manggil saya?" tanya Bu Martha dengan mata berbinar-binar.Wanita yang rambutnya disemir coklat itu menatap Bu Martha datar. Terlihat sekali tidak begitu menyukai wanita yang masih single di usianya yang hampir mendekati 40 tahun."Mr. Evan memanggil Ajeng," jawab Siska.Ajeng memejamkan mata. Kenapa lagi sih laki-laki itu? Seharusnya kalau ada perlu apa-apa, datang saja ke rumah. Jangan di kantor begini. Dia yang kena getahnya."Ayo! Jangan membuat bos besar marah." Siska dengan santai menarik tangan Ajeng tanpa mempedulikan wajah Bu Martha yang merah padam.Lagi-lagi Ajeng harus menunduk agar tidak melihat reaksi rekan-rekan kerjanya yang lain. Sudah dua kali ini ia berhubungan dengan Siska, dan itu benar-benar tidak bagus untuk reputasinya."Sis, aku nggak usah ke sana ya. Bilang aja sama Mr. Evan kalau aku sibuk banget. Atau...atau bilang aja kalau aku lagi ditugaska
Ajeng menangis tersedu-sedu untuk melampiaskan semua yang mengganjal di hatinya. Siska yang melihatnya sampai kelabakan dan akhirnya memeluknya."Kamu bisa cerita sama aku. Aku nggak akan bilang siapa-siapa. Kamu bisa pegang kata-kataku ini," kata Siska sambil membelai rambutnya."Aku memang lebih pantas disebut pelacur, Sis.""Hush! Jangan bilang begitu! Kamu pasti punya alasan kenapa sampai melakukan itu," hardik Siska.Ajeng melepaskan pelukan wanita itu dan menatap Siska heran. "Kamu nggak benci sama aku?"Sekarang gantian Siska yang menatapnya heran. "Kenapa harus benci? Aku malah kasihan sama kamu.""Biasanya kan, sekretaris itu punya perasaan sama bosnya. Mungkin saja kamu diam-diam mencintai Mas Evan seperti Bu Martha," jawab Ajeng polos."Ck! Ngawur!" Siska menoyor kepala Ajeng dengan gemas. "Kebanyakan baca novel ini jelas. Aku di sini tuh murni kerja ya. Lagian aku udah punya tunangan. Gila aja aku malah selingkuh sama suami orang."Dalam hati, Ajeng bersyukur karena Siska
"Kamu kok bisa tahu kalau aku lagi di apartemen Siska?"Ajeng sangat malu sekali ketika Evan berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sudah berganti dan rapi. Ia ingat pakaian itu adalah salah satu pakaian yang disimpan di rumah yang diberikan pada Ajeng.Dengan santainya pria itu menyuruhnya untuk mandi dan memakai gaun yang masih berada di dalam paper bag dengan logo butik ternama. Siska bahkan tidak berhenti memekik ketika merias wajahnya atas perintah Evan."Gila, suami kamu kenapa vibes-nya kayak di novel-novel gitu sih, Jeng? Aku baru tahu sisi romantis dia. Setahuku dia nggak pernah seperhatian itu sama Bu Ella loh," pekik Siska heboh.Ajeng menghela nafas panjang. Heran kenapa Evan bahkan tidak perlu repot-repot menutupi status mereka di depan Siska."Ponsel kamu.""Apa?" Ajeng langsung memeriksa ponselnya dan tidak menemukan apapun. Maksudnya bagaimana?"Aku bisa melacak posisimu dari GPS di ponsel kamu."Mulut Ajeng menganga. Dia menatap Evan tak percaya. Kenapa harus sampa
Ajeng langsung berbalik dan menatap Nadia dengan sebelah alis terangkat. Menatap tak percaya pada gadis yang tahun kemarin baru lulus kuliah."Hubungannya aku menginap di sini sama janda apa ya? Kamu kok bisa lulus kuliah kalau nggak punya etika?" Mendadak Ajeng merasa dongkol dengan gadis centil yang kini bergelayut manja di lengan Evan.Entah kenapa dia merasa tidak rela. Matanya tanpa sadar memelototi tangan itu."Apaan sih? Lagian nggak malu ya nginep di rumah orang yang udah bersuami? Emang dasar janda gatel." Nadia menatapnya dengan wajah julid.Kedua tangan Ajeng terkepal. Pantas saja Ella selalu mengeluh tidak suka ketika Nadia menginap di rumah Evan. "Seharusnya kamu yang malu. Apa pantas seorang gadis memeluk suami sepupunya sendiri? Kamu itu haus belaian atau memang dasarnya udah gatel?" Ajeng semakin memelototi tangan kurang ajar itu, dan setelah itu memelototi Evan.Refleks laki-laki itu melepaskan belitan tangan Nadia dan bergegas masuk ke dalam rumah."Sayang, aku puny
Ajeng buru-buru pergi dengan kaki berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Dia bersembunyi di balik sofa ruang keluarga dengan cara merunduk. Menunggu Nadia menaiki tangga dengan secangkir kopi di tangan kanan dan senyum merekah.Setelah melepaskan alas kaki, Ajeng buru-buru mengikuti Nadia. Gadis itu sudah sampai di depan kamar Evan dan mengetuk pintu."Mas! Mas Evan, buka pintunya dong," panggil Nadia dengan suara manja.Ingin sekali Ajeng muntah melihat kelakuan gadis itu. Untung saja dia tidak melihat gadis itu setiap hari, karena Nadia bekerja di luar kota mengikuti ayahnya.Ketika Nadia mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya karena tidak kunjung dibuka, Ajeng mendekati gadis itu dan merebut cangkir kopi yang masih terasa panas."Makasih ya, udah bikinin aku kopi. Tahu aja kalau aku lagi butuh kopi." Ajeng langsung menjauh ketika Nadia memekik."Balikin nggak? Jangan lancang ya! Itu kopi buat Mas Evan!" jerit Nadia sambil berusaha menggapai kopi itu.Karena Ajeng jauh lebih tingg