Dari sekian banyaknya manusia yang hidup di kota ini, kenapa Ajeng harus bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini?
Ia menatap laki-laki yang dengan santainya duduk di sebelahnya itu dengan wajah tak suka. Mood-nya semakin memburuk. Setelah berburuk sangka pada Ella yang sengaja memasukkan udang ke dalam nasi goreng itu, kini ia harus bertemu dengan mantan suaminya. "Kamu nungguin siapa? Bukannya kamu sendirian di kota ini?" Ajeng sengaja mengabaikan pria itu. Hatinya masih terasa sakit. Bertahun-tahun mencintai Dimas secara ugal-ugalan, bahkan Ella mengatainya bodoh karena terlalu bucin, kini Ajeng sangat menyesal. Seharusnya dulu dia tidak terlalu mencintai lelaki itu, apalagi sampai percaya sepenuhnya. Pria mana lagi yang bisa dipercaya sekarang? Bahkan Evan pun dengan mudahnya menuruti permintaan Ella untuk menikah lagi. Bukan tidak mungkin suatu saat Evan akan menikah lagi jika dia dan Ella pergi. "Ajeng, aku tahu kamu masih sakit hati dengan keputusanku. Tapi aku masih mencintai kamu. Kalau saja kamu mau dimadu..." "Kamu sadar nggak sih bicara begitu? Kamu pikir perempuan bisa dengan mudah menerima suaminya menikah lagi?" potong Ajeng dengan dada bergemuruh. Dimas menatapnya intens. Hal yang dulu sangat disukai oleh Ajeng, tapi sekarang justru membuatnya muak. Dengan cepat ia melengos. "Aku butuh keturunan, Jeng. Kamu divonis mandul. Apa salah kalau aku menikah lagi?" Tangan Ajeng terkepal dengan erat. Mudah sekali laki-laki bicara mengenai poligami. "Tapi kamu udah bawa perempuan lain sebelum kita bercerai, Dim. Itu artinya kamu selingkuh." Ajeng menggertakkan gerahamnya. Rasa sakit itu muncul lagi. "Ajeng, aku bisa jelasin ke kamu. Aku baru kenal sama Ayu, dan ibuku bilang..." "Ibumu menyuruh kamu untuk lebih mengenal dia dengan membawanya pergi berdua di belakangku, begitu? Sama saja itu dengan selingkuh, Dim." Air mata Ajeng menetes meskipun mati-matian ia menahannya. "Aku nggak menyangka bahwa kamu dengan mudahnya pergi dengan perempuan lain di saat status kita masih suami istri." "Ajeng, aku benar-benar menyesal. Tolong maafkan aku." Dimas menggenggam tangan Ajeng, namun dengan cepat dia tarik. Ternyata memang benar. Wanita yang diselingkuhi, akan sangat susah sembuhnya. Ajeng hanya merasakan amarah dan sakit hati ketika melihat Dimas setelah 6 bulan mereka bercerai. "Lebih baik kamu pergi. Urusi saja istri kamu yang baru. Apa dia sudah hamil?" Ajeng menahan sakit ketika mengatakan hal itu. Dadanya terasa sesak. Dimas hanya membuka luka yang masih basah. "Maafkan aku, Jeng. Aku hanya ingin kamu tahu, aku masih sangat mencintai kamu. Seandainya kamu mau, aku mau kita rujuk." Ajeng mendengkus sinis. Air matanya mengalir deras meskipun bibirnya tersenyum. Dimas benar-benar gila. "Tolong pergilah, Dim. Jangan temui aku lagi. Tolong, mengertilah. Kehadiran kamu justru membuka luka lama yang bahkan masih basah. Posisikan diri kamu sebagai aku. Kamu pasti juga merasakan hal yang sama kalau aku selingkuh ketika kita masih menikah dulu." "Apa? Maksud kamu apa? Kamu mau bilang..." "Keluarga Tuan Evan Braun?" Ajeng menghela nafas lega. Cepat-cepat ia menyeka wajahnya yang basah. "Saya, Dok. Bagaimana kondisinya?" tanya Ajeng sambil mendekati dokter itu. "Suami ibu sudah kami berikan obat. Sekarang sedang istirahat. Nanti bisa menebus obatnya di bagian farmasi. Setelah ini lebih berhati-hati lagi, ya. Ibu harus benar-benar mengawasi makanan suami ibu." Ajeng menggigit bibir bawahnya ketika dokter itu menyebut Evan sebagai suaminya. Bodoh! Kenapa juga tadi bilang pada tim medis bahwa Evan adalah suaminya? "Baik, dok. Terima kasih banyak," balas Ajeng dengan tubuh tegang. Punggungnya terasa panas, seperti ada sinar laser yang berusaha melubanginya. "Setelah ini bisa dipindahkan ke ruang rawat. Begitu alerginya sembuh, sudah bisa dibawa pulang. Nanti perawat akan memberikan resep obatnya." "Iya, dok." Ajeng menelan ludah ketika dokter itu pergi. Ia tahu Dimas masih belum beranjak dari tempatnya. "Jadi ini maksud kamu?" Dimas mendengkus sinis. "Kamu menikah dengan suami sahabatmu sendiri? Wow!" Tidak menghiraukan ocehan yang tak penting itu, Ajeng buru-buru membuka pintu IGD dan hendak masuk ke dalam, tapi urung karena ternyata petugas medis sedang memindahkan brankar yang ditempati oleh Evan. "Atau jangan-jangan, kamu selama ini selingkuh dengan Evan di belakangku?" "Bisa diam nggak? Kamu nggak tahu apa-apa, jadi nggak usah ngelantur!" balas Ajeng tajam. Beberapa saat kemudian, Evan dibawa keluar dari IGD menuju ke ruang rawat biasa. Ajeng refleks mengikuti mereka. "Kalau kamu menjadi istri simpanan Evan, memangnya untuk apa? Kamu kan mandul. Atau jangan-jangan, kamu cuma menjadi pemuas nafsunya aja? Orang bule biasanya nafsunya gede." PLAK! Dada Ajeng naik turun saking emosinya. Banyak orang yang menoleh ke arah mereka, tapi dia tidak peduli. "Ternyata begini ya, sifat asli kamu." Ajeng menunjuk wajah Dimas dengan geram. Ingin sekali ia mencekik pria itu sampai kehabisan nafas. Luka akibat diselingkuhi dan dicerai belumlah sembuh, mantan suaminya itu ternyata begitu brengsek dengan berbuat ulah. Pantas saja ibu Ajeng tidak pernah suka dengan Dimas. Sander bahkan selalu melengos ketika melihat Dimas dulu. "Kenapa? Memang kenyataannya begitu, kan? Ternyata Ayu jauh lebih baik dari kamu," kata Dimas dengan wajah menyebalkan sambil menyentuh bekas tamparan Ajeng di pipi kirinya. "Jangan terlalu percaya diri. Bisa jadi kamu termakan omonganmu sendiri suatu saat nanti. Dan ketika saat itu tiba, aku akan menjadi orang yang tertawa paling keras melihatmu menikmati karmamu itu." Tidak mau terkena darah tinggi dan menjadi pusat perhatian, Ajeng bergegas meninggalkan pria itu. Ia benar-benar menyesal pernah membuang-buang waktu hidupnya hanya untuk lelaki bajingan seperti Dimas. Langkahnya sedikit bimbang ketika sadar bahwa ia tidak tahu dimana letak ruang rawat Evan. Bodoh sekali. Seharusnya tidak perlu meladeni Dimas. Ternyata pria itu memang sama saja dengan ibunya. Julid dan nyinyir. Mendadak ia merasa malu pernah menjadi istri laki-laki itu. "Eh, mbak. Ruangan suami saya di mana ya? Yang tadi dirawat di IGD karena alergi," tanya Ajeng ketika seorang perawat keluar dari salah satu ruangan. "Lah, ini baru saja saya dari ruangan itu karena terlalu lama menunggu mbak. Kok nggak dateng-dateng? Ini resep obat yang harus ditebus di bagian farmasi. Sekalian mengurus administrasinya ya." Ajeng mengangguk sambil menerima selembar kertas dengan tulisan tangan yang susah untuk dimengerti. "Makasih, mbak." Ia masuk ke dalam ruangan dan mendapati Evan tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak dingin, tidak juga hangat. "Kamu tadi berantem sama mantan suami kamu? Bicara apa sampai kamu nampar dia?" Tubuh Ajeng mematung dengan mata membelalak."Aku kira tadi kamu tidur," kata Ajeng tak percaya. Dia mendekati Evan yang sudah terlihat membaik. Tidak lagi kesulitan bernafas seperti tadi."Kalian berantem seperti di sinetron-sinetron. Aku yang mendengarnya saja malu." Evan mendengkus, terlihat meremehkan."Bukan salahku kalau aku menampar dia. Kamu pasti mendengar sendiri tadi dia bilang apa," ucapnya dengan wajah kesal.Ajeng sudah siap jika Evan mengolok-oloknya karena dulu pernah menjadi istri Dimas. Pasti pria itu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Tapi di luar dugaannya, Evan justru memejamkan mata.Menghela nafas panjang, Ajeng akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju ke bagian farmasi dan administrasi. Dia menoleh ke sekitar dengan was-was. Malas jika harus bertemu dengan Dimas lagi.Dari kejauhan, Ajeng melihat Dimas yang berjalan sambil memeluk pinggang Ayu. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat pemandangan itu.Tentu saja Ayu bisa hamil. Berbeda sekali dengannya yang tidak ak
Ajeng buru-buru mematikan sambungan itu dengan tangan bergetar. "Mati aku. Mati aku. Bagaimana kalau Siska tahu itu suaraku? Harusnya aku nggak usah mengangkat panggilan itu."Bisa gawat kalau sampai seluruh karyawan tahu bahwa ia dekat dengan Evan. Statusnya sebagai janda saja sudah mengerikan. Apalagi ditambah dengan rumor bahwa ia tengah bersama Evan di rumah sakit. Bisa-bisa ia dicap sebagai pelakor."Bodoh kamu, Jeng! Seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu," gerutunya.Lagi pula sejak kapan karyawan rendahan seperti dirinya tiba-tiba ada di tempat yang sama dengan sang CEO perusahaan multinasional? Dipikir secara logika saja sudah tidak masuk akal."Ya, seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu."Tubuh Ajeng langsung membeku. Ia bahkan tidak sadar masih menggenggam ponsel Evan dengan erat."Kamu sudah biasa merogoh saku celana laki-laki tanpa ijin ya? Gimana? Nggak salah sentuh, kan?"Mendadak Ajeng merasa jengkel. Dengan kesal ia berbalik dan malah melihat
Wajah Ella langsung berubah dingin. Meskipun perutnya kembali mual dan tulang belakangnya terasa sangat nyeri, ia berusaha untuk tidak menampakannya di hadapan sang ibu."Mama kebanyakan nonton sinetron, jadinya mikir yang aneh-aneh. Ajeng tuh sahabat Ella. Dia udah biasa datang ke rumah ini. Mas Evan juga kenal dekat dengan Ajeng. Jadi nggak masalah dong, kalau Ajeng bantuin Mas Evan.""Tapi Ajeng itu janda, El. Meskipun mama sayang sama dia, tapi kamu nggak boleh membiarkan mereka terus berduaan. Banyak artis yang cerai karena ternyata suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri," protes Puspa.Ella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi nanti, jangan salahkan Ajeng. Dia nggak tahu apa-apa." Ella menutup mulutnya karena rasa mual itu kian menjadi-jadi."Lho? Kamu mau muntah? Bi! Bibi! Ambilkan wadah buat Ella! Dia mau muntah!" teriak Puspa panik.Kursi roda Ella didorong menuju ke ruang makan dan seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri mereka sambil membawakan wa
Mulut Ajeng menganga mendengar pertanyaan frontal dari Ella. Kenapa to the point sekali?"Kamu nggak merasa aneh bertanya soal itu? Aku ini madu kamu loh, El. Kok kamu aneh sih?" Ella justru tertawa. "Aku yakin kamu akan bersyukur suatu saat nanti karena telah menikah dengan Mas Evan. Dia itu pria yang baik banget. Kamu nggak akan sakit hati karena dia adalah pria yang setia."Ajeng semakin heran dengan perkataan Ella. Seolah-olah wanita itu bukanlah istri Evan dan sedang mempromosikan pria itu agar Ajeng mau menikah dengan Evan. Pria setia apanya? Dengan mudahnya menikahi Ajeng hanya dengan sedikit paksaan."Sekarang, kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau Mas Evan udah pulang, biar langsung datang ke sini.""Kamu pulang aja, Jeng. Nanti mamaku ke sini kok. Tolong kamu panggilkan Rudi ya. Aku ada urusan yang harus aku bahas sama dia," pinta Ella.Meskipun Ajeng keberatan karena dia masih ingin menghabiskan waktu dengan Ella, tapi wanita itu malah keras kepala. Dengan terpaksa, ia akhi
Ajeng dan Bu Martha langsung melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruangan Manajer Pemasaran."Siska? Mr. Evan manggil saya?" tanya Bu Martha dengan mata berbinar-binar.Wanita yang rambutnya disemir coklat itu menatap Bu Martha datar. Terlihat sekali tidak begitu menyukai wanita yang masih single di usianya yang hampir mendekati 40 tahun."Mr. Evan memanggil Ajeng," jawab Siska.Ajeng memejamkan mata. Kenapa lagi sih laki-laki itu? Seharusnya kalau ada perlu apa-apa, datang saja ke rumah. Jangan di kantor begini. Dia yang kena getahnya."Ayo! Jangan membuat bos besar marah." Siska dengan santai menarik tangan Ajeng tanpa mempedulikan wajah Bu Martha yang merah padam.Lagi-lagi Ajeng harus menunduk agar tidak melihat reaksi rekan-rekan kerjanya yang lain. Sudah dua kali ini ia berhubungan dengan Siska, dan itu benar-benar tidak bagus untuk reputasinya."Sis, aku nggak usah ke sana ya. Bilang aja sama Mr. Evan kalau aku sibuk banget. Atau...atau bilang aja kalau aku lagi ditugaska
Ajeng menangis tersedu-sedu untuk melampiaskan semua yang mengganjal di hatinya. Siska yang melihatnya sampai kelabakan dan akhirnya memeluknya."Kamu bisa cerita sama aku. Aku nggak akan bilang siapa-siapa. Kamu bisa pegang kata-kataku ini," kata Siska sambil membelai rambutnya."Aku memang lebih pantas disebut pelacur, Sis.""Hush! Jangan bilang begitu! Kamu pasti punya alasan kenapa sampai melakukan itu," hardik Siska.Ajeng melepaskan pelukan wanita itu dan menatap Siska heran. "Kamu nggak benci sama aku?"Sekarang gantian Siska yang menatapnya heran. "Kenapa harus benci? Aku malah kasihan sama kamu.""Biasanya kan, sekretaris itu punya perasaan sama bosnya. Mungkin saja kamu diam-diam mencintai Mas Evan seperti Bu Martha," jawab Ajeng polos."Ck! Ngawur!" Siska menoyor kepala Ajeng dengan gemas. "Kebanyakan baca novel ini jelas. Aku di sini tuh murni kerja ya. Lagian aku udah punya tunangan. Gila aja aku malah selingkuh sama suami orang."Dalam hati, Ajeng bersyukur karena Siska
"Kamu kok bisa tahu kalau aku lagi di apartemen Siska?"Ajeng sangat malu sekali ketika Evan berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sudah berganti dan rapi. Ia ingat pakaian itu adalah salah satu pakaian yang disimpan di rumah yang diberikan pada Ajeng.Dengan santainya pria itu menyuruhnya untuk mandi dan memakai gaun yang masih berada di dalam paper bag dengan logo butik ternama. Siska bahkan tidak berhenti memekik ketika merias wajahnya atas perintah Evan."Gila, suami kamu kenapa vibes-nya kayak di novel-novel gitu sih, Jeng? Aku baru tahu sisi romantis dia. Setahuku dia nggak pernah seperhatian itu sama Bu Ella loh," pekik Siska heboh.Ajeng menghela nafas panjang. Heran kenapa Evan bahkan tidak perlu repot-repot menutupi status mereka di depan Siska."Ponsel kamu.""Apa?" Ajeng langsung memeriksa ponselnya dan tidak menemukan apapun. Maksudnya bagaimana?"Aku bisa melacak posisimu dari GPS di ponsel kamu."Mulut Ajeng menganga. Dia menatap Evan tak percaya. Kenapa harus sampa
Ajeng langsung berbalik dan menatap Nadia dengan sebelah alis terangkat. Menatap tak percaya pada gadis yang tahun kemarin baru lulus kuliah."Hubungannya aku menginap di sini sama janda apa ya? Kamu kok bisa lulus kuliah kalau nggak punya etika?" Mendadak Ajeng merasa dongkol dengan gadis centil yang kini bergelayut manja di lengan Evan.Entah kenapa dia merasa tidak rela. Matanya tanpa sadar memelototi tangan itu."Apaan sih? Lagian nggak malu ya nginep di rumah orang yang udah bersuami? Emang dasar janda gatel." Nadia menatapnya dengan wajah julid.Kedua tangan Ajeng terkepal. Pantas saja Ella selalu mengeluh tidak suka ketika Nadia menginap di rumah Evan. "Seharusnya kamu yang malu. Apa pantas seorang gadis memeluk suami sepupunya sendiri? Kamu itu haus belaian atau memang dasarnya udah gatel?" Ajeng semakin memelototi tangan kurang ajar itu, dan setelah itu memelototi Evan.Refleks laki-laki itu melepaskan belitan tangan Nadia dan bergegas masuk ke dalam rumah."Sayang, aku puny