Sepanjang perjalanan, Ajeng dan Evan saling diam. Bukan berarti sebelumnya mereka terbiasa berbincang dengan akrab. Tidak. Hanya saja, aura di dalam mobil terasa dingin karena perkataan Evan tadi.
Ajeng berusaha untuk tidak menangis. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. Lagi-lagi dia merasa seperti wanita murahan. Menurut saja ketika Evan menyentuhnya, sedangkan pria itu justru mengaku hanya sedang khilaf. "Aku minta maaf," ucap Evan memecah keheningan. Ajeng tidak menjawab. Dia buru-buru membuka pintu mobil agar bisa segera menemui Ella dan menanyakan apa maksud wanita itu memintanya untuk datang ke rumah. "Ajeng, tunggu." Evan mencekal lengannya, tapi Ajeng tidak menoleh. "Aku...maaf, aku pria normal. Sudah lama Ella tidak..." "Tidak usah dibahas lagi. Aku sadar diri kok, menikah dengan kamu karena apa," potongnya. Tanpa menunggu balasan dari Evan, Ajeng pergi meninggalkan pria itu dan bergegas memasuki rumah Evan yang jauh lebih besar dari rumah yang dia tempati. Setelah ini, Ajeng akan mencari tahu kenapa Ella memaksanya untuk menjadi istri kedua Evan. Tidak mungkin hanya karena penyakitnya. Ella terlihat sudah mempersiapkan semuanya secara matang. Pasti ada sesuatu yang membuat sahabatnya itu mengambil keputusan yang tidak masuk akal. "Ajeng! Akhirnya kamu datang juga!" seru Ella dari kursi rodanya. "Ella!" Ajeng setengah berlari ke arah Ella dan memeluk wanita itu dengan erat. Ia menjauhkan tubuhnya untuk melihat wajah Ella yang terlihat pucat meskipun bibirnya diolesi dengan lipstik. "Kalian belum sarapan, kan? Yuk, sarapan dulu. Eh, kamu kok memakai baju kerja?" tanya Ella sambil menaikkan alis. "Dia harus masuk kerja, atau orang-orang akan curiga," balas Evan yang sudah berdiri di belakang Ajeng. "Curiga kenapa?" Tubuh Ajeng langsung menegang. Tante Puspa, ibunya Ella yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri, tiba-tiba muncul di ruang tamu. Ajeng mendadak seperti maling yang kepergok. "Kamu kenapa tegang begitu, Jeng?" tanya Tante Puspa. Lidahnya langsung kelu. Diam-diam melirik Ella untuk meminta pertolongan. Entah kenapa Ajeng merasa sewaktu-waktu Tante Puspa bisa saja melabraknya karena diam-diam menikah dengan Evan. "Kemarin Ajeng bolos kerja gara-gara nganter Ella ke rumah sakit waktu makan siang, Ma. Kalau sekarang dia nggak masuk lagi, tentu saja atasannya curiga." Untungnya Ella mau bekerja sama. "Oh, kirain kamu diam-diam mengambil sesuatu dari kantor kamu atau gimana," kata Tante Puspa. Rasanya Ajeng seperti tertampar dengan perkataan wanita seumuran ibunya itu. Padahal wanita itu pasti tidak sengaja, tapi Ajeng merasa tersindir. Lagi-lagi ia merasa seperti pencuri. "Ayo sarapan. Kamu kenapa malah nungguin kami?" Evan membalikkan kursi roda Ella dan mulai mendorongnya. "Eh, kok kalian bisa ke sini barengan? Kamu kenapa bisa semobil sama Ajeng? Habis dari mana memangnya?" Kali ini Evan yang menegang. Sementara Ajeng menelan ludah. Kenapa mereka seperti pasangan selingkuh alih-alih pasangan suami istri? Bawaannya was-was terus. "Ma, tadi Ella yang nyuruh Mas Evan untuk menjemput Ajeng. Kan Ella yang minta Ajeng ke sini. Ya dia harus dijemput dong," jawab Ella. Ajeng hanya diam saja mengikuti mereka dari belakang. Ternyata menjadi istri simpanan itu tidak enak. Ajeng harus sewaktu-waktu menyiapkan mental jika ada yang menuduhnya pelakor. Dan ia benar-benar tidak siap jika tuduhan itu datang dari Tante Puspa. Mereka menuju ke ruang makan sambil terus berceloteh, sedangkan Ajeng memilih untuk langsung duduk di kursi dalam diam begitu mereka sampai. "Jeng, kenapa duduk di situ? Sini, sebelahnya Mas Evan." Perkataan Ella yang terdengar keras membuat seluruh mata menatap ke arahnya. Tante Puspa mengernyitkan alis ketika Ajeng menurut dan duduk di sebelah kanan Evan, sementara Ella di sebelah kiri. Dalam hati ia mengutuk sahabatnya itu. Seharusnya jangan bersikap terlalu mencolok. "Jeng, ambilkan Mas Evan nasi gorengnya, dong. Aku udah nggak bisa berdiri," kata Ella lagi. Mau tak mau, Ajeng terpaksa menurut. Ingat, tujuannya menikah dengan Evan adalah untuk melayani pria itu sekaligus membayar hutang. Sabar, Ajeng. Bukannya dia tidak sadar dengan tatapan elang milik Tante Puspa yang sejak tadi mengamati gerak-geriknya melayani Evan. Hanya saja, Ajeng berusaha menebalkan muka agar tidak terlihat mencurigakan. Mereka akhirnya makan dalam diam. Ajeng sendiri heran kenapa di depan Ella sudah ada sepiring nasi goreng, sedangkan lainnya harus mengambil sendiri dari wadah khusus. "Kamu kok kelihatannya terbiasa melayani Evan, Jeng?" Uhuk! Uhuk! Ajeng buru-buru meminum segelas air untuk meradakan batuknya. Pertanyaan Tante Puspa benar-benar di luar dugaan. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu?! Tangannya mulai gemetar sekarang. Dia benar-benar takut ketahuan. Ajeng tahu betul bagaimana sikap Tante Puspa jika sedang marah. "Mama ini kepo banget sih? Aku sama Mas Evan tuh sering double date sama Ajeng dan Dimas dulu. Ajeng itu sahabat aku, jadi ya udah biasa," sahut Ella. Orang bodoh pun tidak akan percaya dengan perkataan Ella. Mana ada seorang istri yang melayani suami wanita lain? Ajeng pura-pura kembali fokus pada nasi goreng di piringnya, sampai ia tidak sengaja melihat sepotong udang di balik gundukan nasi itu. Matanya langsung membelalak. Refleks ia menoleh ke arah Evan yang lehernya mulai memerah. Tangannya menahan tangan Evan yang hendak menyuapkan sesendok nasi goreng. Membuat Tante Puspa lagi-lagi menatap interaksi mereka dengan kening berkerut. "Jangan dimakan! Nasi gorengnya ada udangnya!" pekik Ajeng panik. Tanpa sadar, Ajeng menolehkan wajah Evan dan meraba pipi pria itu. "Mas, wajahmu mulai bengkak! Obat kamu mana?" Evan tidak menjawab. Pria itu mulai terlihat sesak nafas. "Kita ke rumah sakit sekarang. Ayo!" Ajeng menarik tangan Evan dan menuntunnya menjauhi ruang makan. Dia benar-benar panik sekarang. Evan memang alergi udang, dan sialnya Ajeng tidak tahu di mana Evan menyimpan obatnya. Dengan terburu-buru menuju ke mobil Evan, Ajeng memasukkan pria itu ke sisi penumpang sebelum berlari menuju ke sisi pengemudi. "Tahan dulu ya. Aku akan mencari rumah sakit terdekat." Ajeng melajukan mobil dengan kencang, apalagi ketika Evan mulai terlihat lemas. Untungnya ia cepat sampai di rumah sakit terdekat dan meminta tolong pada tim medis untuk segera membawa Evan ke IGD. Ajeng bahkan tidak sadar ketika ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan. Seseorang itu mulai mendekat, hingga akhirnya berdiri di depan Ajeng yang sedang duduk di kursi tunggu. "Ajeng? Gimana kabar kamu?"Dari sekian banyaknya manusia yang hidup di kota ini, kenapa Ajeng harus bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini? Ia menatap laki-laki yang dengan santainya duduk di sebelahnya itu dengan wajah tak suka. Mood-nya semakin memburuk. Setelah berburuk sangka pada Ella yang sengaja memasukkan udang ke dalam nasi goreng itu, kini ia harus bertemu dengan mantan suaminya."Kamu nungguin siapa? Bukannya kamu sendirian di kota ini?"Ajeng sengaja mengabaikan pria itu. Hatinya masih terasa sakit. Bertahun-tahun mencintai Dimas secara ugal-ugalan, bahkan Ella mengatainya bodoh karena terlalu bucin, kini Ajeng sangat menyesal.Seharusnya dulu dia tidak terlalu mencintai lelaki itu, apalagi sampai percaya sepenuhnya. Pria mana lagi yang bisa dipercaya sekarang? Bahkan Evan pun dengan mudahnya menuruti permintaan Ella untuk menikah lagi. Bukan tidak mungkin suatu saat Evan akan menikah lagi jika dia dan Ella pergi."Ajeng, aku tahu kamu masih sakit hati dengan keputusanku.
"Aku kira tadi kamu tidur," kata Ajeng tak percaya. Dia mendekati Evan yang sudah terlihat membaik. Tidak lagi kesulitan bernafas seperti tadi."Kalian berantem seperti di sinetron-sinetron. Aku yang mendengarnya saja malu." Evan mendengkus, terlihat meremehkan."Bukan salahku kalau aku menampar dia. Kamu pasti mendengar sendiri tadi dia bilang apa," ucapnya dengan wajah kesal.Ajeng sudah siap jika Evan mengolok-oloknya karena dulu pernah menjadi istri Dimas. Pasti pria itu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Tapi di luar dugaannya, Evan justru memejamkan mata.Menghela nafas panjang, Ajeng akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju ke bagian farmasi dan administrasi. Dia menoleh ke sekitar dengan was-was. Malas jika harus bertemu dengan Dimas lagi.Dari kejauhan, Ajeng melihat Dimas yang berjalan sambil memeluk pinggang Ayu. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat pemandangan itu.Tentu saja Ayu bisa hamil. Berbeda sekali dengannya yang tidak ak
Ajeng buru-buru mematikan sambungan itu dengan tangan bergetar. "Mati aku. Mati aku. Bagaimana kalau Siska tahu itu suaraku? Harusnya aku nggak usah mengangkat panggilan itu."Bisa gawat kalau sampai seluruh karyawan tahu bahwa ia dekat dengan Evan. Statusnya sebagai janda saja sudah mengerikan. Apalagi ditambah dengan rumor bahwa ia tengah bersama Evan di rumah sakit. Bisa-bisa ia dicap sebagai pelakor."Bodoh kamu, Jeng! Seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu," gerutunya.Lagi pula sejak kapan karyawan rendahan seperti dirinya tiba-tiba ada di tempat yang sama dengan sang CEO perusahaan multinasional? Dipikir secara logika saja sudah tidak masuk akal."Ya, seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu."Tubuh Ajeng langsung membeku. Ia bahkan tidak sadar masih menggenggam ponsel Evan dengan erat."Kamu sudah biasa merogoh saku celana laki-laki tanpa ijin ya? Gimana? Nggak salah sentuh, kan?"Mendadak Ajeng merasa jengkel. Dengan kesal ia berbalik dan malah melihat
Wajah Ella langsung berubah dingin. Meskipun perutnya kembali mual dan tulang belakangnya terasa sangat nyeri, ia berusaha untuk tidak menampakannya di hadapan sang ibu."Mama kebanyakan nonton sinetron, jadinya mikir yang aneh-aneh. Ajeng tuh sahabat Ella. Dia udah biasa datang ke rumah ini. Mas Evan juga kenal dekat dengan Ajeng. Jadi nggak masalah dong, kalau Ajeng bantuin Mas Evan.""Tapi Ajeng itu janda, El. Meskipun mama sayang sama dia, tapi kamu nggak boleh membiarkan mereka terus berduaan. Banyak artis yang cerai karena ternyata suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri," protes Puspa.Ella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi nanti, jangan salahkan Ajeng. Dia nggak tahu apa-apa." Ella menutup mulutnya karena rasa mual itu kian menjadi-jadi."Lho? Kamu mau muntah? Bi! Bibi! Ambilkan wadah buat Ella! Dia mau muntah!" teriak Puspa panik.Kursi roda Ella didorong menuju ke ruang makan dan seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri mereka sambil membawakan wa
Mulut Ajeng menganga mendengar pertanyaan frontal dari Ella. Kenapa to the point sekali?"Kamu nggak merasa aneh bertanya soal itu? Aku ini madu kamu loh, El. Kok kamu aneh sih?" Ella justru tertawa. "Aku yakin kamu akan bersyukur suatu saat nanti karena telah menikah dengan Mas Evan. Dia itu pria yang baik banget. Kamu nggak akan sakit hati karena dia adalah pria yang setia."Ajeng semakin heran dengan perkataan Ella. Seolah-olah wanita itu bukanlah istri Evan dan sedang mempromosikan pria itu agar Ajeng mau menikah dengan Evan. Pria setia apanya? Dengan mudahnya menikahi Ajeng hanya dengan sedikit paksaan."Sekarang, kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau Mas Evan udah pulang, biar langsung datang ke sini.""Kamu pulang aja, Jeng. Nanti mamaku ke sini kok. Tolong kamu panggilkan Rudi ya. Aku ada urusan yang harus aku bahas sama dia," pinta Ella.Meskipun Ajeng keberatan karena dia masih ingin menghabiskan waktu dengan Ella, tapi wanita itu malah keras kepala. Dengan terpaksa, ia akhi
Ajeng dan Bu Martha langsung melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruangan Manajer Pemasaran."Siska? Mr. Evan manggil saya?" tanya Bu Martha dengan mata berbinar-binar.Wanita yang rambutnya disemir coklat itu menatap Bu Martha datar. Terlihat sekali tidak begitu menyukai wanita yang masih single di usianya yang hampir mendekati 40 tahun."Mr. Evan memanggil Ajeng," jawab Siska.Ajeng memejamkan mata. Kenapa lagi sih laki-laki itu? Seharusnya kalau ada perlu apa-apa, datang saja ke rumah. Jangan di kantor begini. Dia yang kena getahnya."Ayo! Jangan membuat bos besar marah." Siska dengan santai menarik tangan Ajeng tanpa mempedulikan wajah Bu Martha yang merah padam.Lagi-lagi Ajeng harus menunduk agar tidak melihat reaksi rekan-rekan kerjanya yang lain. Sudah dua kali ini ia berhubungan dengan Siska, dan itu benar-benar tidak bagus untuk reputasinya."Sis, aku nggak usah ke sana ya. Bilang aja sama Mr. Evan kalau aku sibuk banget. Atau...atau bilang aja kalau aku lagi ditugaska
Ajeng menangis tersedu-sedu untuk melampiaskan semua yang mengganjal di hatinya. Siska yang melihatnya sampai kelabakan dan akhirnya memeluknya."Kamu bisa cerita sama aku. Aku nggak akan bilang siapa-siapa. Kamu bisa pegang kata-kataku ini," kata Siska sambil membelai rambutnya."Aku memang lebih pantas disebut pelacur, Sis.""Hush! Jangan bilang begitu! Kamu pasti punya alasan kenapa sampai melakukan itu," hardik Siska.Ajeng melepaskan pelukan wanita itu dan menatap Siska heran. "Kamu nggak benci sama aku?"Sekarang gantian Siska yang menatapnya heran. "Kenapa harus benci? Aku malah kasihan sama kamu.""Biasanya kan, sekretaris itu punya perasaan sama bosnya. Mungkin saja kamu diam-diam mencintai Mas Evan seperti Bu Martha," jawab Ajeng polos."Ck! Ngawur!" Siska menoyor kepala Ajeng dengan gemas. "Kebanyakan baca novel ini jelas. Aku di sini tuh murni kerja ya. Lagian aku udah punya tunangan. Gila aja aku malah selingkuh sama suami orang."Dalam hati, Ajeng bersyukur karena Siska
"Kamu kok bisa tahu kalau aku lagi di apartemen Siska?"Ajeng sangat malu sekali ketika Evan berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sudah berganti dan rapi. Ia ingat pakaian itu adalah salah satu pakaian yang disimpan di rumah yang diberikan pada Ajeng.Dengan santainya pria itu menyuruhnya untuk mandi dan memakai gaun yang masih berada di dalam paper bag dengan logo butik ternama. Siska bahkan tidak berhenti memekik ketika merias wajahnya atas perintah Evan."Gila, suami kamu kenapa vibes-nya kayak di novel-novel gitu sih, Jeng? Aku baru tahu sisi romantis dia. Setahuku dia nggak pernah seperhatian itu sama Bu Ella loh," pekik Siska heboh.Ajeng menghela nafas panjang. Heran kenapa Evan bahkan tidak perlu repot-repot menutupi status mereka di depan Siska."Ponsel kamu.""Apa?" Ajeng langsung memeriksa ponselnya dan tidak menemukan apapun. Maksudnya bagaimana?"Aku bisa melacak posisimu dari GPS di ponsel kamu."Mulut Ajeng menganga. Dia menatap Evan tak percaya. Kenapa harus sampa