"Hari ini kamu cantik banget, Jeng. Meskipun sederhana, kamu masih kelihatan seperti memakai kebaya mewah," ucap Ella dengan wajah semringah.
Memang kebaya yang dia pakai harganya ratusan juta. Entahlah, Ajeng merasa Ella sengaja menyindirnya. Orang dengan ekonomi pas-pasan seperti dirinya pastilah tidak akan mampu membeli kebaya mahal hanya untuk akad nikah yang berlangsung selama beberapa menit saja. "Kamu kok nggak kelihatan senang, Jeng?" tanya Ella heran. Seharusnya Ajeng yang bertanya pada Ella. Kenapa wanita itu justru terlihat bahagia padahal suaminya akan menikah dengan sahabatnya sendiri? Dunia macam apa yang ditinggali oleh Ajeng sekarang? Jangan-jangan ini semua hanyalah mimpi. Mungkin dia sudah mulai gila karena berhalusinasi. "Kamu sama Evan kelihatan cocok banget. Nggak salah aku memilih kamu sebagai istrinya," lanjut Ella sambil memegang kedua tangannya dengan senyum bahagia. Ajeng semakin tidak bisa berkata-kata. Apakah Ella sudah berubah menjadi gila karena penyakitnya? Tapi wanita itu terkena kanker darah, bukan kanker otak yang bisa menyebabkan penderitanya melantur dan pikun. Kemarin malam juga, maksud Ella apa dengan berkata bahwa akhirnya perempuan itu menang? Menang dari siapa? Atau jangan-jangan Ella sedang taruhan? "Jeng, paman kamu sudah datang." Tante Dahlia masuk ke kamar milik Ella. Mulut wanita itu menganga ketika melihat penampilan Ajeng. "Kamu itu sebenarnya dari mana sih? Paman kamu kelihatan full bule begitu. Kamu juga, mirip sama istrinya pengusaha lumpur itu, lho." Ajeng membulatkan matanya melihat calon mertuanya yang tidak terlihat judes atau marah ketika mendekatinya. Berbeda sekali dengan mantan mertuanya dulu. "Kok pengusaha lumpur sih, Mi? Lumpur kan bencana alam. Lagian lebih cantik Ajeng kok." Ella mengeratkan genggaman tangannya dengan senyum lebar. "Iya ya, Ajeng ini cantik lho. Kamu mau jadi artis setelah ini? Atau model? Sayang banget kalau wajahnya dianggurin begitu. Mami bisa kok masukin kamu ke agensi model." Ajeng hanya bisa meringis. Tidak habis pikir dengan sepasang mertua dan menantu di hadapannya. Kenapa mereka malah terlihat gembira dengan kedatangan orang baru? Seharusnya dua orang itu memusuhinya. Dia adalah calon madu Ella, sebentar lagi akan menjadi istri simpanan Evan. "Ya sudah, ayo buruan turun. Ella, kamu dibantu sama Pak Asep ya. Kursi roda kamu biar dibawa sama Rudi. Atau kamu mau pindah kamar di lantai bawah aja?" "Pindah aja, Mi. Lagian perut Ella juga sudah besar. Ijab kabulnya nungguin Ella dulu ya." Ajeng hanya menurut ketika Tante Dahlia menuntunnya keluar dari kamar Ella dan menuruni tangga. Jantungnya berdegup kencang. Orangtua Evan mungkin menerima keputusan ini, tapi bagaimana dengan orangtua Ella? Mereka pasti akan murka melihat Ajeng menusuk Ella dari belakang dan merebut suaminya. Padahal dia sendiri tidak mau berada di posisi ini. Kaki Ajeng rasanya semakin lemas ketika melihat tempat yang sudah disusun untuk acara akad nikah sederhana. Ada fotografer yang sudah siap mengabadikan momen ini. Pasti ulah Ella. Ia sempat melirik Paman Dennis dan Ansel, sepupunya. Mereka tersenyum, seperti ingin menguatkan. Tante Dahlia menuntun Ajeng sampai duduk di sebelah Evan yang mengenakan jas putih. "Kita mulai sekarang?" tanya penghulu. Mereka semua mengangguk. Ajeng sebenarnya merasa heran kenapa justru penghulu yang menikahkan mereka? Biasanya jika itu pernikahan siri, cukup dilakukan oleh ustadz saja. Setahunya begitu. "Saya terima nikahnya Ajeng Maheswari van Otten binti Mark van Otten dengan mas kawin emas Antam seberat 100 gram dibayar tunai," ucap Evan dengan lancar. Ucapan sah yang terdengar keras mengagetkan Ajeng. Kenapa pernikahan ini seperti serius? Bukankah seharusnya Evan tidak perlu memberinya mas kawin sebesar itu? Toh mereka sebentar lagi akan bercerai. Lihatlah Ella yang terlihat sehat setelah kemoterapi. "Ayo kita foto, Jeng," ajak Ella antusias. Ajeng seperti robot. Dia hanya menurut ketika fotografer terus mengarahkan gaya setiap kali orang yang ikut berfoto berganti. Dia bahkan hanya diam saja begitu tubuhnya dipaksa masuk ke dalam mobil dan dibawa entah kemana bersama Evan. Nasibnya sudah resmi berubah total sekarang. Dia menjadi istri kedua dari sahabatnya sendiri. Hidup apa yang sedang dijalaninya sekarang? Bagaimana kabar sang ayah? Apakah operasinya berhasil? Dia ingin lari dari semua ini dan pulang ke kampung halamannya. Biarlah dia mencari kerja di sana, asalkan tidak lagi berurusan dengan para konglomerat yang mengerikan. "Mau sampai kapan melamun di dalam mobil?" Ucapan dingin Evan mengagetkan Ajeng. Dia melihat sebuah rumah yang terlihat mewah dan besar. Dulu, Ajeng pernah memiliki rumah seperti itu. Hanya saja sejak ayahnya terkena serangan jantung, harta mereka kian lama kian habis untuk biaya pengobatan. Ajeng keluar dari mobil mengikuti Evan. Sopir yang mengantar mereka membawakan satu koper besar dan satu koper kecil. Kakinya mengikuti kemanapun sang suami melangkah. Termasuk ke dalam kamar. Matanya mengerjap. Kenapa dia terlihat seolah-olah ingin berduaan dengan suaminya? Suami. Ajeng meringis. Baru 6 bulan bercerai dari Dimas, sekarang dia malah menikah dengan suami sahabatnya. Apakah itu artinya dia adalah seorang pelakor? "Ini rumah kamu. Terserah kamu mau mengaturnya bagaimana. Nggak usah nunggu aku. Aku akan lebih sering pulang ke rumah istriku," kata Evan dengan wajah dingin. Ajeng memutar mata. Siapa juga yang menunggu? Justru Ajeng berharap Evan tidak pernah ke sini dan lebih fokus pada kesembuhan Ella. Pria itu berlalu setelah menunjukkan kamar Ajeng. Mengangkat bahu, dia masuk ke kamar itu dan langsung melepas aksesoris yang melekat di rambutnya. "Ck! Cuma nikah siri aja riasannya sudah mirip pengantin asli," gerutunya ketika melepaskan rangkaian melati yang menjuntai sampai ke pinggang. Setelah selesai berjuang melepaskan semuanya, Ajeng buru-buru masuk ke kamar mandi. Tubuhnya terasa panas dan tidak nyaman memakai kebaya pas badan itu. "Semoga setelah ini nggak usah nikah-nikah lagi. Menjanda aja biar nggak ribet. Siapa bilang menjadi pengantin itu enak? Bajunya nggak nyaman di badan." Guyuran air dingin dari shower membuat Ajeng mendesah nikmat. Rasanya benar-benar luar biasa. Untuk sejenak, dia ingin melepaskan semuanya. Tidak ingin berpikir macam-macam. Toh dia menikah dengan Evan hanya sebatas status demi membungkam mulut Ella agar tidak rewel. Setelah selesai mandi, dia menggosok rambutnya dengan handuk sebelum membungkus tubuhnya dengan handuk yang sama. Sebenarnya dia melihat bathrobe, tapi dia lebih suka memakai handuk. Setelah ini dia ingin tidur. Dengan santainya Ajeng membuka pintu kamar mandi, namun tubuhnya mematung seketika. Evan berdiri di ambang pintu masih mengenakan pakaian pengantin, ikut mematung. Mereka saling pandang dengan mulut sedikit terbuka. Ajeng berani bersumpah kedua mata Evan sempat melirik dada dan pahanya. "Kenapa masih ada di sini!" teriak Ajeng sambil membanting pintu kamar mandi. Dia bersandar di pintu dengan jantung berdegup tak karuan. Ya Tuhan, dia hanya pernah telanjang di depan Dimas dulu. Sekarang, dia merasa seperti perempuan murahan karena hanya mengenakan handuk di depan suami sahabatnya sendiri. Tunggu, dia kan sudah resmi menjadi istri Evan!Selama seharian, Ajeng tidak melihat Evan di mana pun. Mungkin pria itu langsung pergi ke rumah yang ditinggalinya bersama Ella. "Hah, syukurlah. Lebih bagus lagi kalau nggak usah kembali lagi ke sini. Besok, aku masuk kerja seperti biasa. Menjenguk Ella, pulang, istirahat sendirian di rumah ini. Ah, nikmatnya hidup," ucapnya menghibur diri. Setelah ini dia harus lebih sering mengunjungi Ella. Jangan sampai sahabatnya itu berpikir macam-macam. "Sudah lapar, Nyonya? Saya baru saja selesai masak." Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan tersenyum. "Perkenalkan, saya Bi Marni. Saya ke sini di jam-jam tertentu saja Nyonya. Pagi dan sore. Nyonya mau makan sekarang? Dari tadi siang belum makan apa-apa, pasti lapar lho." Ajeng mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya dan Bi Marni. "Boleh deh, Bi. Kebetulan saya lapar banget. Panggil saya Ajeng aja, Bi. Saya masih muda kok dipanggil Nyonya." Ajeng duduk di meja makan dan mengambi
Sepanjang perjalanan, Ajeng dan Evan saling diam. Bukan berarti sebelumnya mereka terbiasa berbincang dengan akrab. Tidak. Hanya saja, aura di dalam mobil terasa dingin karena perkataan Evan tadi.Ajeng berusaha untuk tidak menangis. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. Lagi-lagi dia merasa seperti wanita murahan. Menurut saja ketika Evan menyentuhnya, sedangkan pria itu justru mengaku hanya sedang khilaf."Aku minta maaf," ucap Evan memecah keheningan.Ajeng tidak menjawab. Dia buru-buru membuka pintu mobil agar bisa segera menemui Ella dan menanyakan apa maksud wanita itu memintanya untuk datang ke rumah."Ajeng, tunggu." Evan mencekal lengannya, tapi Ajeng tidak menoleh. "Aku...maaf, aku pria normal. Sudah lama Ella tidak...""Tidak usah dibahas lagi. Aku sadar diri kok, menikah dengan kamu karena apa," potongnya.Tanpa menunggu balasan dari Evan, Ajeng pergi meninggalkan pria itu dan bergegas memasuki rumah Evan yang jauh lebih besar dari rumah yang dia tempati.
Dari sekian banyaknya manusia yang hidup di kota ini, kenapa Ajeng harus bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini? Ia menatap laki-laki yang dengan santainya duduk di sebelahnya itu dengan wajah tak suka. Mood-nya semakin memburuk. Setelah berburuk sangka pada Ella yang sengaja memasukkan udang ke dalam nasi goreng itu, kini ia harus bertemu dengan mantan suaminya."Kamu nungguin siapa? Bukannya kamu sendirian di kota ini?"Ajeng sengaja mengabaikan pria itu. Hatinya masih terasa sakit. Bertahun-tahun mencintai Dimas secara ugal-ugalan, bahkan Ella mengatainya bodoh karena terlalu bucin, kini Ajeng sangat menyesal.Seharusnya dulu dia tidak terlalu mencintai lelaki itu, apalagi sampai percaya sepenuhnya. Pria mana lagi yang bisa dipercaya sekarang? Bahkan Evan pun dengan mudahnya menuruti permintaan Ella untuk menikah lagi. Bukan tidak mungkin suatu saat Evan akan menikah lagi jika dia dan Ella pergi."Ajeng, aku tahu kamu masih sakit hati dengan keputusanku.
"Aku kira tadi kamu tidur," kata Ajeng tak percaya. Dia mendekati Evan yang sudah terlihat membaik. Tidak lagi kesulitan bernafas seperti tadi."Kalian berantem seperti di sinetron-sinetron. Aku yang mendengarnya saja malu." Evan mendengkus, terlihat meremehkan."Bukan salahku kalau aku menampar dia. Kamu pasti mendengar sendiri tadi dia bilang apa," ucapnya dengan wajah kesal.Ajeng sudah siap jika Evan mengolok-oloknya karena dulu pernah menjadi istri Dimas. Pasti pria itu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Tapi di luar dugaannya, Evan justru memejamkan mata.Menghela nafas panjang, Ajeng akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju ke bagian farmasi dan administrasi. Dia menoleh ke sekitar dengan was-was. Malas jika harus bertemu dengan Dimas lagi.Dari kejauhan, Ajeng melihat Dimas yang berjalan sambil memeluk pinggang Ayu. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat pemandangan itu.Tentu saja Ayu bisa hamil. Berbeda sekali dengannya yang tidak ak
Ajeng buru-buru mematikan sambungan itu dengan tangan bergetar. "Mati aku. Mati aku. Bagaimana kalau Siska tahu itu suaraku? Harusnya aku nggak usah mengangkat panggilan itu."Bisa gawat kalau sampai seluruh karyawan tahu bahwa ia dekat dengan Evan. Statusnya sebagai janda saja sudah mengerikan. Apalagi ditambah dengan rumor bahwa ia tengah bersama Evan di rumah sakit. Bisa-bisa ia dicap sebagai pelakor."Bodoh kamu, Jeng! Seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu," gerutunya.Lagi pula sejak kapan karyawan rendahan seperti dirinya tiba-tiba ada di tempat yang sama dengan sang CEO perusahaan multinasional? Dipikir secara logika saja sudah tidak masuk akal."Ya, seharusnya kamu nggak usah mengangkat panggilan itu."Tubuh Ajeng langsung membeku. Ia bahkan tidak sadar masih menggenggam ponsel Evan dengan erat."Kamu sudah biasa merogoh saku celana laki-laki tanpa ijin ya? Gimana? Nggak salah sentuh, kan?"Mendadak Ajeng merasa jengkel. Dengan kesal ia berbalik dan malah melihat
Wajah Ella langsung berubah dingin. Meskipun perutnya kembali mual dan tulang belakangnya terasa sangat nyeri, ia berusaha untuk tidak menampakannya di hadapan sang ibu."Mama kebanyakan nonton sinetron, jadinya mikir yang aneh-aneh. Ajeng tuh sahabat Ella. Dia udah biasa datang ke rumah ini. Mas Evan juga kenal dekat dengan Ajeng. Jadi nggak masalah dong, kalau Ajeng bantuin Mas Evan.""Tapi Ajeng itu janda, El. Meskipun mama sayang sama dia, tapi kamu nggak boleh membiarkan mereka terus berduaan. Banyak artis yang cerai karena ternyata suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri," protes Puspa.Ella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi nanti, jangan salahkan Ajeng. Dia nggak tahu apa-apa." Ella menutup mulutnya karena rasa mual itu kian menjadi-jadi."Lho? Kamu mau muntah? Bi! Bibi! Ambilkan wadah buat Ella! Dia mau muntah!" teriak Puspa panik.Kursi roda Ella didorong menuju ke ruang makan dan seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri mereka sambil membawakan wa
Mulut Ajeng menganga mendengar pertanyaan frontal dari Ella. Kenapa to the point sekali?"Kamu nggak merasa aneh bertanya soal itu? Aku ini madu kamu loh, El. Kok kamu aneh sih?" Ella justru tertawa. "Aku yakin kamu akan bersyukur suatu saat nanti karena telah menikah dengan Mas Evan. Dia itu pria yang baik banget. Kamu nggak akan sakit hati karena dia adalah pria yang setia."Ajeng semakin heran dengan perkataan Ella. Seolah-olah wanita itu bukanlah istri Evan dan sedang mempromosikan pria itu agar Ajeng mau menikah dengan Evan. Pria setia apanya? Dengan mudahnya menikahi Ajeng hanya dengan sedikit paksaan."Sekarang, kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau Mas Evan udah pulang, biar langsung datang ke sini.""Kamu pulang aja, Jeng. Nanti mamaku ke sini kok. Tolong kamu panggilkan Rudi ya. Aku ada urusan yang harus aku bahas sama dia," pinta Ella.Meskipun Ajeng keberatan karena dia masih ingin menghabiskan waktu dengan Ella, tapi wanita itu malah keras kepala. Dengan terpaksa, ia akhi
Ajeng dan Bu Martha langsung melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruangan Manajer Pemasaran."Siska? Mr. Evan manggil saya?" tanya Bu Martha dengan mata berbinar-binar.Wanita yang rambutnya disemir coklat itu menatap Bu Martha datar. Terlihat sekali tidak begitu menyukai wanita yang masih single di usianya yang hampir mendekati 40 tahun."Mr. Evan memanggil Ajeng," jawab Siska.Ajeng memejamkan mata. Kenapa lagi sih laki-laki itu? Seharusnya kalau ada perlu apa-apa, datang saja ke rumah. Jangan di kantor begini. Dia yang kena getahnya."Ayo! Jangan membuat bos besar marah." Siska dengan santai menarik tangan Ajeng tanpa mempedulikan wajah Bu Martha yang merah padam.Lagi-lagi Ajeng harus menunduk agar tidak melihat reaksi rekan-rekan kerjanya yang lain. Sudah dua kali ini ia berhubungan dengan Siska, dan itu benar-benar tidak bagus untuk reputasinya."Sis, aku nggak usah ke sana ya. Bilang aja sama Mr. Evan kalau aku sibuk banget. Atau...atau bilang aja kalau aku lagi ditugaska