Sander membuka pintu kamar Ajeng dan tersenyum sinis ketika melihat Ansel sedang mencari-cari sesuatu."Sejak kapan dokumen ditaruh di boneka?"Tangan Ansel membeku dan tubuh pria itu terlihat tegang, namun sedetik kemudian kembali biasa. "Ah, Mas Sander. Aku cuma pengen lihat bonekanya Kak Ajeng aja kok. Dia sangat suka dengan boneka ini," kata Ansel dengan tenang sambil tersenyum.Setelah Sander ditelpon oleh Evan yang mendapatkan instruksi dari bodyguard Ajeng, dengan sigap ia kembali menyisir kamar sang adik untuk menemukan adanya kemungkinan kamera lainnya.Dan benar saja. Dia menemukan kamera di tempat-tempat yang tidak akan pernah dicurigai oleh siapapun yang melihatnya. Boneka beruang besar, pot bunga imitasi, pulpen, bahkan di sela-sela springbed dan dipan.Ansel benar-benar gila. Tidak, pasti orang yang memerintah Ansel benar-benar gila. Sepupunya tidak akan mengerti dengan hal-hal semacam itu. Dia tahu betul Ansel tidak terlalu pintar."Kamu mencari ini?" Sander meraih sem
"Mi, Ajeng mau jalan-jalan sebentar ya. Suntuk di rumah terus," pamit Ajeng setelah sholat subuh.Kebetulan sang mertua sedang berada di dapur untuk minum. Wanita itu menaikkan alis."Nggak nunggu Evan dulu? Dia belum pulang dari masjid?" "Nggak ah, Mi. Kelamaan nungguin Mas Evan keburu terang. Ajeng males ketemu tetangga." Pasti banyak yang kepo dengan status Ajeng.Mendadak ia merasa kesal pada suaminya. Kenapa pernikahan mereka masih belum dirayakan agar semua orang tidak menuduhnya yang tidak-tidak? Orang-orang di kompleks perumahan mertuanya pasti tahunya yang menjadi istri Evan itu masih Ella."Lho, terus? Kamu mau jalan-jalan sendirian? Jangan, nanti suami kamu marah-marah. Kamu lupa rumah kamu dibom waktu Evan pergi?" kata Dahlia dengan raut wajah khawatir."Sama Nathan kok, Mi. Ajeng juga takut kalau sendirian."Penyerangan dari Broto membuat Ajeng semakin takut saja pergi kemana pun. Sekarang dia justru bingung, sampai kapan dia akan seperti ini terus? Dia juga tidak punya
Suara bariton Evan membuat Ajeng dan para ibu penggosip itu menoleh. Ajeng terkejut karena ternyata suaminya menyusul sampai ke sini dengan pakaian rumahan.Lelaki itu merangkul pundaknya dan menghadap ke arah mereka dengan tenang."Kami menikah secara agama dan hukum. Mantan istri saya dulu memberikan ijin pada saya untuk menikah lagi, bahkan dia sendiri yang mengurus surat ijinnya. Jadi, saya rasa anda semua tidak memiliki alasan untuk menyebut Ajeng sebagai istri simpanan saya," kata Evan dengan tegas."Tapi dia ini istri kedua. Sudah pasti dia merebut kamu dari istri pertamamu. Sama saja dia ini pelakor.""Tahu apa anda tentang kondisi rumah tangga saya? Apakah saya harus melaporkan semua yang terjadi pada kalian?" tanya Evan masih dengan sikap tenang.Ajeng bahkan heran kenapa Evan tidak terpancing emosinya. Mungkin karena lelaki itu sering menghadapi rekan bisnis dengan berbagai karakter."Bukan begitu, Nak. Maksud kami itu, kami hanya mengingatkan Ajeng untuk nggak bertingkah k
Dear, AjengSahabatku, atau mungkin kamu menganggap aku sebagai musuh setelah apa yang kulakukan padamu.Awalnya aku mendekati kamu untuk menjalankan rencanaku balas dendam karena ibu kamu. Gara-gara ibumu, ayahku menelantarkan aku dan ibuku. Ayahku sering bertengkar hebat dengan ibuku, dan dia nggak begitu perhatian sama aku.Siapa yang nggak sedih kalau diperlakukan seperti itu? Aku pikir karena ayahku banyak pikiran karena mengurus perusahaan. Banyak anak pengusaha dan pejabat yang juga diabaikan oleh orangtuanya karena sibuk dengan pekerjaan.Tapi suatu hari, aku melihat foto-foto ibu kamu di laptop ayahku di ruang kerjanya. Dulu, kupikir dia lupa mengunci pintunya. Tidak seperti biasanya. Tapi sekarang aku baru sadar bahwa ternyata ayahku sengaja membuka sedikit pintu ruang kerjanya biar aku bisa masuk dan melihat foto itu.Aku memang bodoh. Seharusnya aku berpikir matang terlebih dulu. Nggak mungkin ayahku ceroboh membiarkan rahasianya diketahui olehku. Tapi waktu itu, aku masih
Seorang pria berusia 40-an langsung berdiri begitu Ajeng dan Bu Dahlia sampai di ruang tamu. Ajeng menatap pria itu dengan alis mengernyit. Dia tidak mengenal mereka, jadi kenapa mereka mencarinya?"Herman? Kenapa ke sini? Apa ada masalah dengan menantuku?" Bu Dahlia mendekati dua tamu yang tak diundang itu dengan menaikkan alis."Bu Dahlia. Saya dan Bu Fatma datang ke sini untuk menyampaikan wasiat dari Bu Ella untuk Bu Ajeng," jawab pria itu.Ajeng mendekati mereka setelah melihat interaksi sang mertua dengan pria dan wanita asing itu yang terlihat akrab."Perkenalkan, saya Herman, pengacara keluarga Pak Susno Wijaya, dan ini Bu Fatma, notaris. Kami ke sini untuk menunaikan amanah dari almarhumah Bu Ella yang harus segera kami sampaikan," ucap pria bernama Herman itu sambil menyalami tangan Ajeng.Dia langsung teringat dengan surat dari Ella yang baru saja dibacanya. Kenapa bisa secepat ini? Ella baru meninggal kemarin, dan pengacaranya sudah datang ke sini."Kenapa kalian cepat sek
"Maksudnya gimana, Nak? Ansel berbuat kejahatan dan Ajeng sebagai korbannya? Kejahatan apa?" tanya Sekar dengan wajah kebingungan.Berbeda sekali dengan Mark yang langsung paham. Dia seperti merasakan dejavu. Mendadak hatinya dipenuhi dengan kecemasan. Bayangan Sekar yang meronta-ronta di bawah Susno di gang dekat kampus puluhan tahun yang lalu membuat Mark takut.Takut jika putrinya berada di posisi yang sama dan pelakunya adalah Ansel.Tidak! Tidak mungkin! Ansel adalah anak yang baik dan sopan. Tidak mungkin anak muda itu sudah..."Maaf aku harus jujur pada kalian. Aku harap jantung ayah benar-benar sudah sembuh total dan bisa menerima berita ini. Dan ibu..." Sander mendekati sang ibu dan meraih tangannya. "Sander mohon jangan heboh atau histeris setelah mendengar apa yang akan aku katakan."Jantung Mark berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. Dia memegang dada kirinya, menanti sengatan rasa sakit yang biasanya datang selama masa pemulihan pasca operasi. Tapi nihil. Sepertinya j
Evan menepuk pundak Jack Reeves setelah pria itu dan istrinya pamit. Mereka baru saja membahas tentang progress pembangunan cabang Greenlake dan keberadaan David Foster di negara ini.Untunglah kakak iparnya bisa mengenal Jack ketika bekerja di Bali. Pria itu ternyata begitu kompeten dan profesional. Dia tidak bisa membayangkan jika istrinya ternyata dikuntit oleh sepupunya yang dibantu oleh buronan internasional, tanpa pengawalan sedikitpun."Bos, saya sudah selesai membuat laporan mengenai beberapa usaha milik orang-orang yang ada di kompleks perumahan orangtua anda. Saya berikan sekarang atau nanti saja?" lapor Raka."Sekarang saja. Bagaimana hasilnya?""Secara garis besar, usaha mereka tidak mengalami perkembangan yang berarti. Suntikan dana dari Deca seharusnya bisa membuat mereka lebih maju, tapi ternyata masih jalan di tempat. Ada indikasi korupsi yang dilakukan selama 5 tahun terakhir."Evan mendengkus sinis. Dia meraih laporan dari Raka setelah duduk di kursi kerjanya. Meliha
"Aku nggak terima! Rumah ini punya Ella, jadi otomatis jatuh ke tangan Tante Puspa begitu dia meninggal! Aku masih punya hak atas rumah ini karena Ella nggak punya anak!" teriak Nadia sambil berdiri.Ajeng menghela nafas panjang. Dia menoleh ke belakang dan memberi kode pada Nathan untuk mendekat."Kamu urusi mereka ya sama Mami. Aku mau ke kamar Ella dulu," pinta Ajeng sambil melirik ke arah Johan yang hanya diam, sedangkan Nadia menatapnya dengan penuh kebencian."Kamu lanjutkan aja urusan kamu, Jeng. Biar mami yang ngurusin mereka. Untung mami jadi ikut. Dua hama ini memang harus dikasih pelajaran," ujar Bu Dahlia dengan wajah geram.Ajeng mengangguk. Dia berjalan menuju ke dalam rumah, tidak mempedulikan teriakan Nadia yang melarangnya. Kakinya sempat berhenti di dekat tangga, bimbang harus menuju ke kamar yang mana. "Maaf, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" Bi Diah mendekati Ajeng dengan takut sekaligus sungkan.Masih teringat dengan jelas bagaimana wanita itu sengaja menyajikan