"Aku nggak terima! Rumah ini punya Ella, jadi otomatis jatuh ke tangan Tante Puspa begitu dia meninggal! Aku masih punya hak atas rumah ini karena Ella nggak punya anak!" teriak Nadia sambil berdiri.Ajeng menghela nafas panjang. Dia menoleh ke belakang dan memberi kode pada Nathan untuk mendekat."Kamu urusi mereka ya sama Mami. Aku mau ke kamar Ella dulu," pinta Ajeng sambil melirik ke arah Johan yang hanya diam, sedangkan Nadia menatapnya dengan penuh kebencian."Kamu lanjutkan aja urusan kamu, Jeng. Biar mami yang ngurusin mereka. Untung mami jadi ikut. Dua hama ini memang harus dikasih pelajaran," ujar Bu Dahlia dengan wajah geram.Ajeng mengangguk. Dia berjalan menuju ke dalam rumah, tidak mempedulikan teriakan Nadia yang melarangnya. Kakinya sempat berhenti di dekat tangga, bimbang harus menuju ke kamar yang mana. "Maaf, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" Bi Diah mendekati Ajeng dengan takut sekaligus sungkan.Masih teringat dengan jelas bagaimana wanita itu sengaja menyajikan
Ajeng mengabaikan sekotak pengaman dan bergegas mengambil ponsel yang ada di samping benda itu. Wajahnya berkerut jijik. Tiba-tiba teringat dengan hubungan Ella dan Johan.Apakah Evan mendengar kedua insan itu ketika sedang memadu kasih? Ugh, membayangkan saja sudah membuatnya mual sekaligus miris. "Jeng? Sudah dapat yang kamu cari?" Suara ibu mertuanya mengagetkan Ajeng. Dia sampai terlonjak dan hampir saja menjatuhkan ponsel Ella."Mami! Kok nggak bilang-bilang kalau mau menyusul ke sini? Ajeng kaget tahu," protesnya dengan wajah cemberut.Bu Dahlia terkekeh kecil dan meminta maaf. Wanita itu masuk ke dalam kamar dan membelalak ketika melihat isi di dalamnya."Sebentar, ini kamar Ella? Jadi mereka pisah ranjang selama ini?"Ajeng mengangguk. Kamar Ella memang sangat luas. Sama luasnya dengan kamar Evan, tapi lebih feminin."Untunglah kalau Evan nggak pernah menyentuh Ella selama ini. Mami jadi nggak perlu takut Evan ketularan penyakit. Apalagi dia udah menghamili kamu. Bisa berba
Sander dan Mark masuk ke rumah Dennis begitu pintu dibukakan oleh Ninik, pembantu yang masih terlihat muda dan polos. Tidak seperti gadis-gadis jaman sekarang yang sudah terkontaminasi oleh tren yang sedang viral di media sosial."Di mana Dennis?" tanya Mark tanpa basa-basi."Anu, Tuan. Orangnya terpaksa diikat sama Pak Suroto biar nggak mengamuk-ngamuk lagi," jawab Ninik dengan logat medok khas Malang."Kok bisa ngamuk? Awalnya gimana?" tanya Sander penasaran.Ninik terus membimbing mereka menuju ke lantai dua. Sander heran, bagaimana dua orang ini bisa menyeret pamannya menaiki lantai dua dengan kondisi seperti itu?"Kami sendiri nggak tahu, Tuan. Tiba-tiba saja Tuan Dennis mengamuk setelah sebelumnya pulang sendirian. Wajahnya merah banget. Beliau naik ke lantai dua dan berteriak-teriak, setelah itu turun lagi menuju ke dapur untuk mengambil pisau dapur," jawab Ninik dengan suara bergetar.Sepertinya gadis itu trauma, namun terpaksa harus bertahan karena mencari pekerjaan di jaman
"Ansel benar-benar gila! Tapi kenapa dia bisa punya benda-benda kayak ginian? Dapat uang darimana?" gumam Sander sambil terus mengamati ruang kerja yang juga merangkap sebagai ruang untuk mengawasi.Dia melihat setiap monitor dan mengumpat kasar karena mengenali setiap ruangan yang terpampang di layar. Kamar Ajeng, kamar mandinya, dan kamar di rumah Dennis yang beberapa bulan kemarin sempat ditinggali oleh Ajeng. Tangannya buru-buru mengeluarkan ponsel dan merekam setiap monitor satu persatu. Ada ruangan lain yang tidak dia kenali. Tapi dia menebak bahwa itu adalah kamar perempuan juga.Ponselnya beralih pada ratusan atau bahkan mungkin ribuan foto yang menempel di dinding."Benar-benar psikopat nih anak. Kurang ajar!" umpatnya dengan marah.Semua foto Ajeng dengan berbagai pose ada di sana. Foto yang diam-diam diambil melalui kamera tersembunyi. Kalau saja dia tidak sedang mengumpulkan bukti, dia ingin sekali melepas semua foto itu dan mengobrak-abrik ruangan ini. Kalau perlu, dia a
"Maaf sudah mengganggu waktumu. Tapi ada hal penting yang harus aku katakan padamu."Evan mengangguk. Tersenyum pada Jack Reeves yang mendadak mengajaknya, lebih tepatnya memaksa, untuk makan siang di restoran yang ada di Palace Hotel. "Tidak apa-apa. Jika kamu yang langsung berbicara denganku seperti ini alih-alih Nathan, pasti ada hal yang benar-benar penting."Setelah mendapatkan telepon dari Nathan mengenai kemungkinan David Foster sudah pernah masuk ke rumah Ella bersama Johan, Evan menjadi was-was.Dia langsung memerintahkan Raka untuk mengecek CCTV rumah itu sejak Ella berangkat ke Singapura untuk menjalani operasi."Aku sudah mengirimkan beberapa karyawan Security Black ke rumah mantan istrimu untuk berjaga-jaga di sana. Tenang saja, khusus untukmu, aku memberikan karyawan berkualitas tinggi yang langsung kubawa dari US. Sebagai balas budiku pada kakak iparmu, Sander, karena telah membantuku mempelajari pasar di negara ini.""Terima kasih banyak. Kirim juga beberapa karyawanmu
"Mood-mu sudah membaik? Bagaimana perasaanmu?" tanya Dahlia setelah mereka selesai makan siang di restoran yang ada di mall.Ajeng yang baru saja menghabiskan semangkok kecil es krim rasa melon mendesah nikmat."Sudah membaik, Mi. Makasih banyak sudah menemani Ajeng di saat-saat seperti ini. Mami memang mertua terbaik di dunia."Dahlia mencibir, namun kemudian terkekeh. "Mami kesepian gara-gara papimu dan Evan sibuk bekerja. Meskipun papimu sebenarnya sudah bisa menikmati masa pensiunnya setelah Evan memegang perusahaan, tapi memang dasar papimu itu nggak betah menganggur. Ada saja yang dia kerjakan.""Sekarang Ajeng yang akan menemani mami. Nanti kalau cucu mami udah lahir, mami nggak akan kesepian lagi."Di saat Ajeng dan Dahlia sibuk mengobrol, berbeda dengan Nathan. Pria itu sibuk dengan ponsel sekaligus mengawasi sekitarnya. Terkadang berkomunikasi dengan seseorang melalui ear phone.Nathan tidak mau mengambil resiko kecolongan meskipun kemungkinan besar Ansel dan David sedang ti
Ajeng meringis malu ketika mereka kembali menjadi pusat perhatian. Pengunjung mall yang ada di sekitar mereka semuanya menoleh."Mas, jangan begini. Malu dilihat banyak orang," tegur Ajeng dengan lembut.Entah kenapa Evan justru semakin mengeratkan pelukannya. Pria itu bahkan menciumi puncak kepala Ajeng berkali-kali, seolah-olah mereka baru saja bertemu setelah sekian tahun berpisah.Lama-lama dia terkikik geli karena Evan kini beralih menciumi kening dan pipinya. "Sayang, kamu kenapa sih? Tadi pagi kan udah. Kayak baru ketemu aja.""Jaga sikap kamu, Van. Mama nggak ngajarin kamu untuk mengumbar kemesraan di tempat umum. Ini bukan Jerman ya." Gantian Dahlia yang menegur Evan dengan wajah datar sambil melipat tangan di depan dada.Untung Nathan dengan sigap langsung menghalangi pandangan orang-orang dengan tubuhnya yang tinggi dan besar, sedangkan Dahlia menghalangi pandangan orang-orang dari dalam restoran."Kok kamu bisa ada di sini? Waktunya kerja loh, Mas. Kamu udah berapa hari am
Ajeng tidur siang dengan sangat tidak nyenyak. Perkataan Dimas di mall tadi terus saja terngiang-ngiang di benaknya sampai-sampai terbawa ke alam mimpi.Dia membuka mata karena sudah tidak tahan lagi. Percakapan sebelum pulang ke rumah tadi membuatnya benar-benar gelisah."Ella itu nggak seperti yang kamu lihat. Dia rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, meskipun itu terlalu ekstrim dan nggak sepadan sama penyebabnya. Dulu, aku kaget waktu Ella lagi menemui aku dan membahas soal kebiasaan burukku selingkuh di belakang kamu, tiba-tiba aja Ansel datang.""Jadi kamu ngaku kalau kamu memang suka selingkuh sejak kita menikah dulu?""Lebih tepatnya sebelum aku mengenal kamu, yang notabene sengaja dikenalkan sama Ella ke kamu demi menjalankan misinya, aku emang udah terbiasa gonta-ganti perempuan. Maafkan aku, Jeng. Aku bersumpah selalu pake pengaman setiap kali berhubungan sama kamu, jadi kamu nggak perlu khawatir. Kecuali pas malam pertama kita.""Kamu memang bajingan, Dim