Ajeng meringis malu ketika mereka kembali menjadi pusat perhatian. Pengunjung mall yang ada di sekitar mereka semuanya menoleh."Mas, jangan begini. Malu dilihat banyak orang," tegur Ajeng dengan lembut.Entah kenapa Evan justru semakin mengeratkan pelukannya. Pria itu bahkan menciumi puncak kepala Ajeng berkali-kali, seolah-olah mereka baru saja bertemu setelah sekian tahun berpisah.Lama-lama dia terkikik geli karena Evan kini beralih menciumi kening dan pipinya. "Sayang, kamu kenapa sih? Tadi pagi kan udah. Kayak baru ketemu aja.""Jaga sikap kamu, Van. Mama nggak ngajarin kamu untuk mengumbar kemesraan di tempat umum. Ini bukan Jerman ya." Gantian Dahlia yang menegur Evan dengan wajah datar sambil melipat tangan di depan dada.Untung Nathan dengan sigap langsung menghalangi pandangan orang-orang dengan tubuhnya yang tinggi dan besar, sedangkan Dahlia menghalangi pandangan orang-orang dari dalam restoran."Kok kamu bisa ada di sini? Waktunya kerja loh, Mas. Kamu udah berapa hari am
Ajeng tidur siang dengan sangat tidak nyenyak. Perkataan Dimas di mall tadi terus saja terngiang-ngiang di benaknya sampai-sampai terbawa ke alam mimpi.Dia membuka mata karena sudah tidak tahan lagi. Percakapan sebelum pulang ke rumah tadi membuatnya benar-benar gelisah."Ella itu nggak seperti yang kamu lihat. Dia rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, meskipun itu terlalu ekstrim dan nggak sepadan sama penyebabnya. Dulu, aku kaget waktu Ella lagi menemui aku dan membahas soal kebiasaan burukku selingkuh di belakang kamu, tiba-tiba aja Ansel datang.""Jadi kamu ngaku kalau kamu memang suka selingkuh sejak kita menikah dulu?""Lebih tepatnya sebelum aku mengenal kamu, yang notabene sengaja dikenalkan sama Ella ke kamu demi menjalankan misinya, aku emang udah terbiasa gonta-ganti perempuan. Maafkan aku, Jeng. Aku bersumpah selalu pake pengaman setiap kali berhubungan sama kamu, jadi kamu nggak perlu khawatir. Kecuali pas malam pertama kita.""Kamu memang bajingan, Dim
Perasaan Evan tidak tenang setelah meeting terakhir selesai. Dia bahkan meminta Siska untuk membatalkan makan malam dengan rekan bisnis dari perusahaan makanan ringan. Lagipula dia tidak terlalu suka dengan sekretaris perusahaan itu yang menurutnya genit dan tidak profesional.Evan tidak akan segan-segan untuk memutuskan hubungan kerja sama mereka jika sampai sekretaris itu berbuat ulah. Moodnya tidak sedang dalam kondisi bisa diajak bercanda setelah mendengarkan saran dari Jack Reeves tadi."Pak, sekretaris dari PT Goodfood sedang ada di lobby," lapor Siska melalui telepon.Dia langsung berdecak. Sudah dia duga perempuan itu tidak profesional. Hanya gara-gara mereka pernah dekat semasa SMA dulu, wanita itu mengira bahwa mereka masih bisa mengulang masa lalu. Padahal, Evan dulu dekat dengan perempuan itu karena terpaksa. Guru mengharuskan mereka untuk berada dalam satu kelompok."Suruh satpam untuk mengusir dia. Kalau dia memberontak, bilang saja kalau aku akan membatalkan kerjasama d
"Jeng, kemarilah."Ajeng yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di dalam kamar rawat inap salah satu rumah sakit swasta terkenal langsung berhenti. Ponsel masih menempel di telinga kanannya."Evan nggak bisa dihubungi, El. Sepertinya lagi meeting deh. Duh, aku belum ijin juga kalau ada urusan mendadak," kata Ajeng dengan wajah tak enak."Sini, Jeng," panggil Ella lagi.Melihat kondisi sahabatnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit, Ajeng langsung bergegas mendekati Ella. Dia menyambut tangan Ella yang sejak tadi terulur."Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit? Kanker darah itu bukan penyakit yang bisa disepelekan. Kenapa kamu nggak bilang sama Evan?" omel Ajeng dengan wajah jengkel.Ajeng dan Ella adalah sahabat sejak kuliah dan sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Orangtua Ella bahkan sudah menganggap Ajeng seperti anak mereka sendiri."Menikahlah dengan Mas Evan, Jeng."Sayang sekali, rumah orang tua Ella lumayan jauh dari rumah yang ditempati oleh Ella dan Evan. Tidak mu
Mata Ajeng melotot ngeri sambil melambai-lambaikan tangan dengan cepat. "Nggak, Tante. Ella cuma bercanda kok. Dia lagi melantur," elak Ajeng sambil menggeleng. Tatapan Evan berubah menjadi dingin, menusuk Ajeng hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Mana mungkin dia mau menjadi istri kedua pria dingin seperti kulkas itu? Apalagi Evan adalah big boss di perusahaan tempat dia bekerja. "Ella, mami minta penjelasan." Tante Dahlia, ibu mertua Ella, menarik tangan Ajeng dan menyeretnya menuju ke ranjang yang ditempati oleh Ella. Padahal Ajeng ingin segera kabur dari rumah sakit dan menenangkan diri dengan tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Tapi kehadiran wanita berusia setengah abad itu mengacaukan semuanya. Ella tersenyum ketika melihat cengkeraman tangan ibu mertuanya di pergelangan tangan Ajeng. Sementara Evan menatap sang istri dingin. "Jelaskan kenapa kamu sampai terbaring tak berdaya di rumah sakit ini? Kenapa nggak mengabari aku, malah dia yang lebih dulu tahu?" tunt
Selama beberapa detik, Ajeng hanya diam di tempatnya. Mencerna perkataan Evan yang terdengar seperti dialog dalam sebuah drama. "Apa kamu tuli?" Bentakan Evan menyadarkan Ajeng. Dia sedikit mundur ketika melihat tatapan Evan yang dipenuhi dengan kebencian dan amarah. "Cepat tandatangani perjanjian pranikah ini dan kita menikah. Aku nggak mau menunda-nunda pengobatan istriku lagi." "Kamu gila, Van? Kalian memang pasangan gila. Kenapa kamu malah setuju dengan permintaan Ella?" cecar Ajeng. "Kamu pikir aku mau menikahi kamu? Kalau bukan karena Ella yang mengancam akan membiarkan bayi kami celaka karena penyakitnya nggak diobati, aku nggak akan sudi menikahi kamu." Ajeng tahu Evan sangat mencintai Ella. Bahkan pria itu begitu setia dan tidak mencari wanita lain hanya karena berbulan-bulan tidak dilayani di atas ranjang seperti kata Ella. Tapi tetap saja, perkataan itu menyakiti hatinya. Seolah-olah Ajeng sengaja menawarkan diri dan memaksa Ella agar Evan mau menikah denganny
"Hari ini kamu cantik banget, Jeng. Meskipun sederhana, kamu masih kelihatan seperti memakai kebaya mewah," ucap Ella dengan wajah semringah.Memang kebaya yang dia pakai harganya ratusan juta. Entahlah, Ajeng merasa Ella sengaja menyindirnya. Orang dengan ekonomi pas-pasan seperti dirinya pastilah tidak akan mampu membeli kebaya mahal hanya untuk akad nikah yang berlangsung selama beberapa menit saja."Kamu kok nggak kelihatan senang, Jeng?" tanya Ella heran.Seharusnya Ajeng yang bertanya pada Ella. Kenapa wanita itu justru terlihat bahagia padahal suaminya akan menikah dengan sahabatnya sendiri? Dunia macam apa yang ditinggali oleh Ajeng sekarang? Jangan-jangan ini semua hanyalah mimpi. Mungkin dia sudah mulai gila karena berhalusinasi."Kamu sama Evan kelihatan cocok banget. Nggak salah aku memilih kamu sebagai istrinya," lanjut Ella sambil memegang kedua tangannya dengan senyum bahagia.Ajeng semakin tidak bisa berkata-kata. Apakah Ella sudah berubah menjadi gila karena penyakitn
Selama seharian, Ajeng tidak melihat Evan di mana pun. Mungkin pria itu langsung pergi ke rumah yang ditinggalinya bersama Ella. "Hah, syukurlah. Lebih bagus lagi kalau nggak usah kembali lagi ke sini. Besok, aku masuk kerja seperti biasa. Menjenguk Ella, pulang, istirahat sendirian di rumah ini. Ah, nikmatnya hidup," ucapnya menghibur diri. Setelah ini dia harus lebih sering mengunjungi Ella. Jangan sampai sahabatnya itu berpikir macam-macam. "Sudah lapar, Nyonya? Saya baru saja selesai masak." Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan tersenyum. "Perkenalkan, saya Bi Marni. Saya ke sini di jam-jam tertentu saja Nyonya. Pagi dan sore. Nyonya mau makan sekarang? Dari tadi siang belum makan apa-apa, pasti lapar lho." Ajeng mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya dan Bi Marni. "Boleh deh, Bi. Kebetulan saya lapar banget. Panggil saya Ajeng aja, Bi. Saya masih muda kok dipanggil Nyonya." Ajeng duduk di meja makan dan mengambi