"Kamu yang serius kalau ngomong. Ngapain malem-malem begini ke hutan? Kamu nggak lagi menjebak aku, kan?" tanya Sander curiga.Meskipun begitu, dia tetap melajukan mobilnya sesuai dengan arahan dari Rita."Orang normal pasti nggak akan mengajak pria asing pergi ke hutan malam-malam begini. Tapi sayangnya aku udah nggak normal lagi," ucap Rita. Wanita itu memalingkan wajahnya ke arah jendela, fokus melihat pemandangan di luar mobil.Sander jadi merasa tak enak. Dia terdengar seperti sedang menuduh wanita itu."Maaf, aku nggak bermaksud apa-apa. Cuma, melihat kelakuan kamu di kantor CV waktu itu...""Percaya nggak kalau kubilang aku disuruh oleh Ansel? Bukan, lebih tepatnya dipaksa?"Sander menatap Rita sekilas sebelum kembali fokus ke depan."Kalau aku belum tahu kelakuan Ansel sih, udah jelas aku nggak akan percaya. Kamu kelihatan sangat menyukai Ansel dan cemburumu begitu besar waktu melihat Ajeng dekat sama dia."Rita terkekeh sinis."Percayalah, aku sebenarnya juga nggak mau bertin
Sander bukanlah pria yang naif, yang tidak pernah pergi ke klub malam dan mencoba sedikit saja maksiat di usianya yang masih remaja dulu, meskipun tidak sampai kebablasan melakukan seks bebas dan memakai narkoba.Dia tahu bagaimana kehidupan malam yang liar. Dari yang masih kategori normal sampai yang menjijikkan, dia sudah melihatnya. Tapi, yang dia lihat saat ini benar-benar berada di level yang lain.Hampir saja mulutnya mengumpat kalau saja tangannya tidak disenggol. Dia menoleh untuk mendapati Rita yang tengah melotot memberinya peringatan. Mulutnya langsung terkunci rapat, jempolnya terangkat, lalu dia kembali melihat pemandangan liar di dalam rumah itu.Ada beberapa gadis dan dua laki-laki muda dengan kondisi telanjang bulat yang diletakkan di atas meja panjang, dikelilingi oleh banyak sekali orang yang tengah mabuk sambil berjoget. Namun, ada beberapa yang masih sadar, salah satunya pria bule berambut pirang yang Sander yakini adalah David Foster.Para korban yang berada di at
"Bisa tolong jelaskan dengan lebih detail maksud rencananya gimana?" tanya Ajeng dengan wajah menuntut."Nggak! Aku tetap nggak mengijinkan kamu untuk mengikuti rencana itu." Evan menatap Jack dengan wajah tegas. "Aku punya hak untuk menolak. Istriku sedang hamil. Nggak mungkin aku mengorbankan istri dan calon anakku untuk masuk ke sarang bajingan kayak mereka. Lebih baik aku menyembunyikan dia sejauh mungkin. Kalian sudah nggak waras?""Mas?" Ajeng bingung kenapa suaminya bisa meledak-ledak seperti itu sampai berdiri dengan kedua tangan terkepal.Dahlia dan Albert bahkan mendekat karena suara bentakan Evan begitu keras."Ada apa ini?" tanya Albert dengan kening berkerut."Eh, nggak ada apa-apa kok, Pi. Mas Evan cuma lagi emosi aja karena masalah pekerjaan," jawab Ajeng dengan cepat sambil menarik tangan suaminya agar kembali duduk.Untungnya Evan mampu menahan amarahnya dan menuruti Ajeng untuk kembali duduk."Pekerjaan mana yang masih membuat kamu kesulitan? Bilang sama papa. Besok
"Kalian dengar, kan? Kalian dengar sendiri bagaimana dampaknya buat Rita dan pamannya Ajeng? Dan kalian dengan teganya mau mengumpankan istriku untuk memancing mereka? Bagaimana kalau dia dibawa ke tempat itu, brengsek!" Evan kembali meledak-ledak."Whoa, whoa, whoa, chill out, Bro! Chill out! Kita tentu saja tidak akan benar-benar menempatkan istrimu ke dalam rencana itu," sahut Brad sambil ikut berdiri dengan kedua tangan terangkat di depan dada.Evan menatap pria berambut pirang itu. "Maksudnya gimana? Dan kamu ini siapa kok ikut-ikutan sejak tadi?""Ah, aku adalah Bradley Smith, panggil saja aku Brad. Aku adalah bodyguard Nyonya Elena Reeves, sekaligus sahabat terbaik dan satu-satunya Nathan. Aku ke sini untuk membantumu menangkap David."Nathan yang mendengar itu langsung mendengkus lalu memutar mata. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun."Oke. Terus maksudnya dengan rencana tadi apa? Kalian bilang istriku harus menjadi umpan, tapi tidak benar-benar menjadi umpan. Aku nggak
"Maaf menunggu lama, Tuan. Saya tadi sudah tidur." Bi Diah tergopoh-gopoh menghampiri mereka dengan mata sayu dan memerah, terlihat sekali masih sangat mengantuk.Evan mengangguk. "Kunci di kamar Ella, baru dipasang atau sudah lama?"Wanita itu mengernyitkan alis. Entah karena masih linglung atau sedang mengingat-ingat."Setelah Rudi datang ke sini dengan pria bule itu, Tuan. Dulu memang Non Ella dan Rudi sempat cekcok. Saya kurang begitu paham dengan masalahnya, tapi saya mendengar tentang Non Ella yang sudah muak dan ingin berhenti. Beliau sudah tidak tahan lagi. Begitu katanya."Evan menaikkan sebelah alisnya. "Terus? Rudi jawabnya gimana?"Wanita itu kembali berpikir. "Rudi marah besar, Tuan. Non Ella sampai dipukul kok. Terus dia mencengkeram dagunya Non Ella, lalu bilang 'Kamu harus mati kalau sampai bocorin soal ini', gitu Tuan.""Itu pas Ella udah dioperasi di Singapura atau belum?" Sekarang Evan mulai curiga dengan kematian Ella."Sudah, Tuan. Non Ella sebenarnya malah kelih
Ansel masih merasa sedikit pusing ketika mereka sudah sampai di Jakarta dan sebentar lagi sampai di rumah Ella. Berpesta selama seminggu penuh tidak membuat tubuhnya layu atau kantung mata menghitam. Dia justru terlihat segar. "Ada masalah apa?" David bersuara ketika melihat percekcokan antara Johan dan pria yang menunggui rumah Ella.Sopir menghentikan mobil tak jauh dari mereka, membuat Ansel bisa melihat wajah Johan yang terlihat geram, sedangkan wajah Pak Asep terlihat tenang di balik pagar. Nadia dengan pakaian minim melipat tangan di depan dada dan sesekali menghentakkan sebelah kakinya.Gadis seperti Nadia benar-benar tidak menarik bagi Ansel. Terlihat sekali murahan dan gampangan. Tapi dia penasaran juga rasa gadis itu seperti apa. Sebelum merasakan Ajeng, dia akan berpetualang sepuasnya dengan banyak wanita di pesta David."Sepertinya pemilik rumah tidak mengijinkan Johan untuk masuk ke sana, Mister," jawab sopir yang berusia 30-an itu."Pemilik? Bukankah pemiliknya sudah m
"Ah! Ansel!"Evan menatap layar laptop di hadapannya dengan wajah datar, lalu mendengkus. "Really?""Oh, mungkin dia sedang...improvisasi. You know, biar Ansel lebih percaya," sahut Brad, lalu menaikkan alis ketika suara desahan saling bersahutan terdengar semakin keras dan intens."Mereka menodai kamarku, brengsek! Apa tadi dia bilang? Aku ini laki-laki bangsat? Kalau dia ada di depanku, sudah aku tendang mulut kurang ajarnya itu!" bentak Evan berapi-api dengan dada panas luar biasa.Sebuah pelukan lembut di pinggangnya membuatnya kembali sadar dan api cemburu itu perlahan surut."Mas, kan bukan aku yang ada di sana," ujar Ajeng dengan lembut.Selama sesaat, Evan sempat terbawa emosi. Dia sedikit lupa dan terbawa suasana ketika melihat wajah yang benar-benar mirip dengan Ajeng berada di layar laptop yang lain. Sangat mirip tanpa cela, sampai-sampai otaknya sedikit terdistorsi dengan menganggap bahwa yang bersama dengan Ansel memang benar istrinya.Evan memejamkan mata untuk menenangk
"Ansel, kamu udah tahu belum kalau novel buatan Ella lagi viral sekarang? Baru seminggu diposting di platform novel online aja udah ratusan ribu yang baca," tanya Ajeng ketika mereka baru saja selesai makan siang.Ansel menghentikan gerakan tangannya yang ingin mengambil teko plastik berisi es jeruk. Keningnya mengernyit."Novel? Aku nggak tahu." Dia beralih menatap David yang langsung mengangguk."Tahu nggak sih, Sel? Aku shock banget loh waktu membaca novel itu. Semua tokoh memakai nama asli, kecuali aku sama Mas Evan. Tapi kalau Ella udah meninggal, siapa ya yang memposting novel itu? Jangan-jangan Rudi," lanjut Ajeng."Rudi?" tanya David bingung."Rudi alias Johan. Johan Rudiyana. Dia kan kekasih Ella sejak kuliah dulu, bahkan setelah Ella menikah sama Mas Evan. Udah pasti Rudi dong pelakunya. Dia sama Ella kan udah kayak suami istri. Siapa lagi yang bisa mengakses ponsel Ella kalau bukan Rudi? Mas Evan? Dia nggak pernah mencampuri urusan pribadi Ella selama menikah."Meskipun tid
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug