"Ansel benar-benar gila! Tapi kenapa dia bisa punya benda-benda kayak ginian? Dapat uang darimana?" gumam Sander sambil terus mengamati ruang kerja yang juga merangkap sebagai ruang untuk mengawasi.Dia melihat setiap monitor dan mengumpat kasar karena mengenali setiap ruangan yang terpampang di layar. Kamar Ajeng, kamar mandinya, dan kamar di rumah Dennis yang beberapa bulan kemarin sempat ditinggali oleh Ajeng. Tangannya buru-buru mengeluarkan ponsel dan merekam setiap monitor satu persatu. Ada ruangan lain yang tidak dia kenali. Tapi dia menebak bahwa itu adalah kamar perempuan juga.Ponselnya beralih pada ratusan atau bahkan mungkin ribuan foto yang menempel di dinding."Benar-benar psikopat nih anak. Kurang ajar!" umpatnya dengan marah.Semua foto Ajeng dengan berbagai pose ada di sana. Foto yang diam-diam diambil melalui kamera tersembunyi. Kalau saja dia tidak sedang mengumpulkan bukti, dia ingin sekali melepas semua foto itu dan mengobrak-abrik ruangan ini. Kalau perlu, dia a
"Maaf sudah mengganggu waktumu. Tapi ada hal penting yang harus aku katakan padamu."Evan mengangguk. Tersenyum pada Jack Reeves yang mendadak mengajaknya, lebih tepatnya memaksa, untuk makan siang di restoran yang ada di Palace Hotel. "Tidak apa-apa. Jika kamu yang langsung berbicara denganku seperti ini alih-alih Nathan, pasti ada hal yang benar-benar penting."Setelah mendapatkan telepon dari Nathan mengenai kemungkinan David Foster sudah pernah masuk ke rumah Ella bersama Johan, Evan menjadi was-was.Dia langsung memerintahkan Raka untuk mengecek CCTV rumah itu sejak Ella berangkat ke Singapura untuk menjalani operasi."Aku sudah mengirimkan beberapa karyawan Security Black ke rumah mantan istrimu untuk berjaga-jaga di sana. Tenang saja, khusus untukmu, aku memberikan karyawan berkualitas tinggi yang langsung kubawa dari US. Sebagai balas budiku pada kakak iparmu, Sander, karena telah membantuku mempelajari pasar di negara ini.""Terima kasih banyak. Kirim juga beberapa karyawanmu
"Mood-mu sudah membaik? Bagaimana perasaanmu?" tanya Dahlia setelah mereka selesai makan siang di restoran yang ada di mall.Ajeng yang baru saja menghabiskan semangkok kecil es krim rasa melon mendesah nikmat."Sudah membaik, Mi. Makasih banyak sudah menemani Ajeng di saat-saat seperti ini. Mami memang mertua terbaik di dunia."Dahlia mencibir, namun kemudian terkekeh. "Mami kesepian gara-gara papimu dan Evan sibuk bekerja. Meskipun papimu sebenarnya sudah bisa menikmati masa pensiunnya setelah Evan memegang perusahaan, tapi memang dasar papimu itu nggak betah menganggur. Ada saja yang dia kerjakan.""Sekarang Ajeng yang akan menemani mami. Nanti kalau cucu mami udah lahir, mami nggak akan kesepian lagi."Di saat Ajeng dan Dahlia sibuk mengobrol, berbeda dengan Nathan. Pria itu sibuk dengan ponsel sekaligus mengawasi sekitarnya. Terkadang berkomunikasi dengan seseorang melalui ear phone.Nathan tidak mau mengambil resiko kecolongan meskipun kemungkinan besar Ansel dan David sedang ti
Ajeng meringis malu ketika mereka kembali menjadi pusat perhatian. Pengunjung mall yang ada di sekitar mereka semuanya menoleh."Mas, jangan begini. Malu dilihat banyak orang," tegur Ajeng dengan lembut.Entah kenapa Evan justru semakin mengeratkan pelukannya. Pria itu bahkan menciumi puncak kepala Ajeng berkali-kali, seolah-olah mereka baru saja bertemu setelah sekian tahun berpisah.Lama-lama dia terkikik geli karena Evan kini beralih menciumi kening dan pipinya. "Sayang, kamu kenapa sih? Tadi pagi kan udah. Kayak baru ketemu aja.""Jaga sikap kamu, Van. Mama nggak ngajarin kamu untuk mengumbar kemesraan di tempat umum. Ini bukan Jerman ya." Gantian Dahlia yang menegur Evan dengan wajah datar sambil melipat tangan di depan dada.Untung Nathan dengan sigap langsung menghalangi pandangan orang-orang dengan tubuhnya yang tinggi dan besar, sedangkan Dahlia menghalangi pandangan orang-orang dari dalam restoran."Kok kamu bisa ada di sini? Waktunya kerja loh, Mas. Kamu udah berapa hari am
Ajeng tidur siang dengan sangat tidak nyenyak. Perkataan Dimas di mall tadi terus saja terngiang-ngiang di benaknya sampai-sampai terbawa ke alam mimpi.Dia membuka mata karena sudah tidak tahan lagi. Percakapan sebelum pulang ke rumah tadi membuatnya benar-benar gelisah."Ella itu nggak seperti yang kamu lihat. Dia rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, meskipun itu terlalu ekstrim dan nggak sepadan sama penyebabnya. Dulu, aku kaget waktu Ella lagi menemui aku dan membahas soal kebiasaan burukku selingkuh di belakang kamu, tiba-tiba aja Ansel datang.""Jadi kamu ngaku kalau kamu memang suka selingkuh sejak kita menikah dulu?""Lebih tepatnya sebelum aku mengenal kamu, yang notabene sengaja dikenalkan sama Ella ke kamu demi menjalankan misinya, aku emang udah terbiasa gonta-ganti perempuan. Maafkan aku, Jeng. Aku bersumpah selalu pake pengaman setiap kali berhubungan sama kamu, jadi kamu nggak perlu khawatir. Kecuali pas malam pertama kita.""Kamu memang bajingan, Dim
Perasaan Evan tidak tenang setelah meeting terakhir selesai. Dia bahkan meminta Siska untuk membatalkan makan malam dengan rekan bisnis dari perusahaan makanan ringan. Lagipula dia tidak terlalu suka dengan sekretaris perusahaan itu yang menurutnya genit dan tidak profesional.Evan tidak akan segan-segan untuk memutuskan hubungan kerja sama mereka jika sampai sekretaris itu berbuat ulah. Moodnya tidak sedang dalam kondisi bisa diajak bercanda setelah mendengarkan saran dari Jack Reeves tadi."Pak, sekretaris dari PT Goodfood sedang ada di lobby," lapor Siska melalui telepon.Dia langsung berdecak. Sudah dia duga perempuan itu tidak profesional. Hanya gara-gara mereka pernah dekat semasa SMA dulu, wanita itu mengira bahwa mereka masih bisa mengulang masa lalu. Padahal, Evan dulu dekat dengan perempuan itu karena terpaksa. Guru mengharuskan mereka untuk berada dalam satu kelompok."Suruh satpam untuk mengusir dia. Kalau dia memberontak, bilang saja kalau aku akan membatalkan kerjasama d
"Jeng, kemarilah."Ajeng yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di dalam kamar rawat inap salah satu rumah sakit swasta terkenal langsung berhenti. Ponsel masih menempel di telinga kanannya."Evan nggak bisa dihubungi, El. Sepertinya lagi meeting deh. Duh, aku belum ijin juga kalau ada urusan mendadak," kata Ajeng dengan wajah tak enak."Sini, Jeng," panggil Ella lagi.Melihat kondisi sahabatnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit, Ajeng langsung bergegas mendekati Ella. Dia menyambut tangan Ella yang sejak tadi terulur."Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit? Kanker darah itu bukan penyakit yang bisa disepelekan. Kenapa kamu nggak bilang sama Evan?" omel Ajeng dengan wajah jengkel.Ajeng dan Ella adalah sahabat sejak kuliah dan sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Orangtua Ella bahkan sudah menganggap Ajeng seperti anak mereka sendiri."Menikahlah dengan Mas Evan, Jeng."Sayang sekali, rumah orang tua Ella lumayan jauh dari rumah yang ditempati oleh Ella dan Evan. Tidak mu
Mata Ajeng melotot ngeri sambil melambai-lambaikan tangan dengan cepat. "Nggak, Tante. Ella cuma bercanda kok. Dia lagi melantur," elak Ajeng sambil menggeleng. Tatapan Evan berubah menjadi dingin, menusuk Ajeng hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Mana mungkin dia mau menjadi istri kedua pria dingin seperti kulkas itu? Apalagi Evan adalah big boss di perusahaan tempat dia bekerja. "Ella, mami minta penjelasan." Tante Dahlia, ibu mertua Ella, menarik tangan Ajeng dan menyeretnya menuju ke ranjang yang ditempati oleh Ella. Padahal Ajeng ingin segera kabur dari rumah sakit dan menenangkan diri dengan tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk. Tapi kehadiran wanita berusia setengah abad itu mengacaukan semuanya. Ella tersenyum ketika melihat cengkeraman tangan ibu mertuanya di pergelangan tangan Ajeng. Sementara Evan menatap sang istri dingin. "Jelaskan kenapa kamu sampai terbaring tak berdaya di rumah sakit ini? Kenapa nggak mengabari aku, malah dia yang lebih dulu tahu?" tunt