Ghavin berjalan tergesa menuju beranda samping untuk menerima panggilan. Panggilan yang sangat penting sampai ia harus menjauh agar tidak ada yang ikut mendengar.
Pernikahan kedua Ghavin bersama Dyra sudah terjadi dua jam lalu. Sekarang Dyra sah menjadi istri kedua Ghavin Pramana. Tapi meski waktu sudah berlalu selama itu, Dyra belum beranjak dari sofa—-masih tercenung dengan pikiran berkelana jauh tak tentu arah. Beralih ke stroller Megan, senyum tipis terukir kala melihat malaikat kecilnya sedang tertidur pulas. Bayi itu benar-benar cantik dan menggemaskan. Mewarisi hampir seratus persen paras papanya. Dyra yang mengandung serta melahirkan saja nyaris tidak kebagian. Hanya rambut Megan yang seperti miliknya, keriting ikal. “Kamu alasan mama melakukan ini, Nak. Mama berharap sudah menentukan keputusan yang tepat untuk masa depanmu,” ujar Dyra pelan. “Ghavin!” Teriakan dari arah pintu utama mengejutkan Dyra juga Megan yang langsung terbangun dan menangis. Bahkan Martin yang ada di sofa berbeda ikut terkejut, lantas buru-buru menggerakan kursi rodanya ke arah ruang tamu. “Risa!” Martin tidak suka cara menantu sulungnya yang dianggap tidak beretika. “Kau tidak perlu berteriak. Ini rumah, bukan hutan.” Mengabaikan kritikan Martin, Marissa bertolak pinggang di tengah ruang tamu. "Dimana Ghavin? Aku mencari suamiku.” Sama sekali tidak ada rasa hormat Marissa terhadap Martin—mertuanya. Wanita berhak tinggi itu masih membusungkan dada dengan dagu terangkat. "Kenapa tidak kau cari sendiri!” Begitu juga Martin yang terlihat tak acuh, sangat berbeda ketika bersama Dyra. Setelah itu Martin juga langsung kembali masuk meninggalkan Marissa. “Tua bangka merepotkan!” dengus Marissa kesal yang lagi-lagi diabaikan. Sempat mendengar teriakan Marissa, begitu orang di seberang sana paham apa yang diperintahkan, Ghavin lantas memutus panggilan, dan segera memastikan ke dalam khawatir terjadi ketegangan antara Marissa dengan sang ayah. Setidaknya saat melewati ruang tengah, Ghavin lega melihat Dyra membawa Megan ke kamarnya. Sedangkan Martin sudah menunggu di dekat sofa. “Kita harus pergi sekarang. Bukankah acaramu sudah selesai?” “Aku harus kembali ke kantor. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum aku selesaikan.” Ghavin bicara jujur. Keduanya sudah bertemu di sofa panjang ruang tengah, tapi sayangnya Martin lagi-lagi harus menyaksikan minimnya adab Marissa terhadap suaminya. Selalu bicara ketus, dan tidak mau dibantah. “Tidak bisa! Kau harus pergi denganku!” Marissa tetap bersikeras memaksa. “Tunggu sebentar, ada yang ingin aku jelaskan pada kalian.” Ghavin sudah akan bangkit, tapi pertanyaan Marissa menahannya. “Kalian siapa?” Marissa bertanya dengan alis mengkerut. “Kau dan Dyra. Tunggulah sebentar. Aku panggilkan dia.” Ghavin masih sangat lembut dan tenang saat berbicara pada Marissa. Sikap yang terkadang membuat Martin kesal, putranya terlalu baik untuk Marissa yang tidak tahu diri. Tidak ingin membuang waktu, Ghavin bergegas menuju kamar Dyra. “Puas Papa sekarang sudah kembali menjadikan Dyra menantu?” hardik Marissa begitu tinggal hanya berdua dengan Martin. “Papa selalu menganggapku buruk, dan tidak layak untuk Ghavin, bukan? Padahal buktinya aku juga memikirkan kebahagiaan kalian. Terbukti sekarang aku merelakan suamiku menikah lagi. Karena aku sadar belum bisa memberinya keturunan.” Melihat Marissa memasang wajah memelas—mencari simpati, Martin sama sekali tidak terpancing. Hanya diam menatap dingin Marissa yang masih menunjukkan kesedihan palsu. Di kamar, Dyra bersyukur Megan bisa kembali tertidur setelah menghabiskan setengah botol susu. Dyra baru selesai menutup pembatas di ranjang Megan ketika Ghavin masuk. Sempat terkejut, tapi dengan cepat Dyra bisa menguasai diri. "Apa dia tidur lagi?" Meski enggan, tapi pada akhirnya Dyra menjawab dengan anggukan kepala. “Bisa bicara di luar?” Melihat Dyra kembali mengangguk, Ghavin lantas berjalan keluar lebih dulu. “Semua demi kamu, Nak. Mama akan berusaha sabar.” Menyiapkan diri menghadapi kemungkinan yang bisa saja terjadi, Dyra mendesak nafas kasar sekali sebelum ikut berjalan keluar. ********** “Selamat kau tidak jadi mantan menantu di keluarga ini,” sarkas Marissa menyambut kedatangan Dyra. “Tapi walaupun suamiku sudah menikahimu, jangan harap bisa bersaing denganku.” Nada sinis Marissa hanya Dyra balas dengan senyum kaku. Bersaing dengan Marissa sesuatu yang sangat mustahil bisa Dyra lakukan, ia juga sangat sadar diri. Mereka bak bumi dan langit. Tidak hanya berparas cantik, fashionable, dan glamor, Marissa juga memiliki karir yang cemerlang sebagai modeling. Sedangkan dirinya, hanya wanita rumahan yang tak ragu mengenakan daster usang. Sekalipun ia berusaha keras, sudah pasti tidak akan bisa setara dengan Marissa. “Risa! Jaga bicaramu!” tegas Martin tidak suka melihat cara bicara Marissa yang dianggap terlalu sombong. “Kenapa? Karena dia menantu kesayangan Papa?” Bukannya menurut, Marissa malah semakin meninggikan suara. “Risa.” Kali ini Ghavin yang menegur. Walaupun dengan suara pelan tapi penuh penegasan. Tidak hanya Marissa, Dyra yang berada di jarak cukup jauh saja ikut merasakan atmosfer yang berbeda sesaat Ghavin bersuara. Pria itu memang sangat mengintimidasi dengan pembawaan yang tenang. “Kau lupa sedang bicara dengan siapa?” Mendapat pembelaan Ghavin, Martin menatap kesal Marissa yang balas melirik sinis. Dua orang dewasa yang tidak pernah bisa akur setiap kali bertemu. Kondisi yang sebenarnya tidak asing lagi Dyra lihat, hanya saja dengan statusnya yang sekarang, timbul perasaan tidak tenang. Ia tahu Marissa tidak akan pernah berhenti menghardik dirinya. “Diam, dan dengarkan ini baik-baik.” Setelah memperingatkan Marissa, Ghavin beralih pada Dyra yang dianggap juga berhak ikut menyimak. “Kedepannya aku akan berusaha memperlakukan kalian dengan adil.” Ghavin mulai menjelaskan perannya sebagai suami dari dua istri, sekaligus ayah pengganti Megan. “Dengarkan dulu.” Ghavin melarang Marissa yang hendak melontarkan protes. “Tunjuk dimana saja rumah yang kau mau jika kau ingin tinggal di rumah baru. Karena mulai besok, Dyra beserta Papa akan tinggal di rumah yang sudah aku siapkan.” Ghavin menatap Dyra sebentar sebelum lanjut bicara. “Rumah ini terlalu banyak menyimpan kenangan mama dan Ghava. Aku lakukan ini demi kesehatan mental Papa, agar tidak lagi merasa bersalah dengan apa yang sudah terjadi. Hanya itu.” Kendati menekan ujung kalimatnya, tapi pandangan Ghavin penuh arti ketika kembali menatap Dyra. Sedangkan Dyra tidak peduli apapun yang Ghavin jelaskan, ia juga tidak berharap pria itu bisa mengerti dirinya. Dengan tidak lagi tinggal di rumah itu saja, ia sudah sangat bersyukur. Dyra percaya menjauh dari semua hal yang mengingatkan Ghava bisa menyembuhkan luka hatinya atas kepergian pria itu yang mendadak. Dyra juga sedang berusaha menerima takdir yang sekarang telah mengikatnya dengan pria yang tidak pernah diinginkan. “Aku akan tetap tinggal di rumah lama.” Marissa menjawab ketus, kesal ternyata Ghavin sudah menyiapkan tempat tinggal untuk Dyra. “Tapi sebagai gantinya, dalam sepekan kau harus bersamaku lima hari, baru sisanya kau bisa bersama Megan.” “Tidak! Itu tidak benar, Risa.” Ghavin meluruskan. “Tapi kenapa? Bukankah pernikahan kalian hanya karena kau menuruti permintaan Papa? Apa kau juga berniat melakukan tanggung jawabmu pada Dyra?!” Marissa bersungut-sungut, merasa Ghavin melanggar kesepakatan mereka. Tidak tahu perjanjian apa yang sebelumnya disepakati pasangan itu, tetapi ketika Marissa mencemaskan sesuatu yang Dyra anggap tidak mungkin, rasanya sangat tidak nyaman. Pernikahannya dengan Ghavin hanya karena Megan, tidak lebih. Tapi sayangnya ketika akan ikut bicara, suara Ghavin lebih dulu terdengar. “Pernikahanku dengan Dyra memang hanya karena kami ingin tetap bersama Megan. Tapi walaupun begitu, Dyra juga sudah menjadi tanggung jawabku. Apa yang aku berikan padamu, dia juga akan mendapatkan hak yang sama.” Kali ini tidak hanya Marissa yang terkejut, tapi juga Dyra. Tidak tahan hanya menyimak, Dyra akhirnya angkat bicara. “Tidak perlu Mas melakukan itu! Cukup hanya menjadi ayah pengganti Megan. Sedangkan kita tetap dua orang asing.” Dyra menegaskan “Tidak bisa Dyra. Aku menikahimu secara sah, dengan begitu aku berkewajiban memberikanmu hak yang sama seperti Marissa.” “Kenapa bisa seperti itu?” Tidak terima, Marissa melayangkan protes. “Kau hanya mengatakan akan mengambil alih tanggung jawab Megan. Bukankah terlalu berlebihan jika kau juga memperdulikan ibunya!” “Ghavin.. .” Martin menyela, sepertinya ia cukup terkejut setelah mendengar ucapan Marissa. “Jangan buat papa pusing, apa yang sebenarnya kalian sepakati?” “Ghavin mengatakan pernikahan ini atas keinginan Papa yang tidak bisa jauh dari Megan, dan aku menyetujuinya karena dia bilang tidak lebih dua tahun.” “Ghavin!” Kali ini Martin membentak putranya, dan disertai tatapan marah. Melihat reaksi Martin, Marissa menyunggingkan senyum licik."Astaga! Mas Ghavin!" Dyra seketika duduk. Sebelumnya posisi Dyra berbaring membelakangi pintu, tapi ternyata Ghavin yang tidak tahu sejak kapan datangnya sudah berdiri di dekat ranjang, dan ketika membalik badan Dyra pun terkejut. “Sedang apa disini?” Dyra buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Namun, Ghavin tak bergeming, bahkan saat melihat keterkejutan Dyra. Dyra lantas menghidupkan lampu kamar menggunakan remot, dan ketika tahu penampilan Ghavin yang tak biasa, alisnya mengkerut dalam. Melihat Ghavin berdiri layaknya patung, pun dengan tatapan terkunci padanya, Dyra berubah gelisah. Ia merasa terancam. “A-anda apa?” ujarnya gugup. Selain aneh, Ghavin juga tampak berantakan. Tidak seperti biasanya yang selalu rapi. Kemeja putih yang Ghavin kenakan terburai keluar, dasi sudah melonggar tidak beraturan. Sedangkan rambutnya acak-acakan seperti tersapu angin beliung. Ghavin terlihat sangat kacau. Semakin mengherankan lagi ketika tiba-tiba langsung berbalik badan dan p
Pagi itu ketiga kalinya Dyra mengajak Megan jalan-jalan pagi. Selain ingin mendapatkan udara segar, mereka juga masih perlu pengenal lingkungan baru. Tinggal di perumahan elit, Dyra bersyukur memilih tetangga yang ramah. Lingkungan sehat yang membuatnya nyaman, dan tentunya tidak ada yang tahu jika ia merupakan istri kedua Ghavin Pramana. Begitu memasuki pagar rumahnya, Dyra melihat Martin masih tercenung di dekat kolam ikan. Padahal matahari sudah tidak bagus untuk pria itu tetap ada di sana. Dyra pun segera mendorong stroller Megan mendekati sang mertua. “Papa belum masuk?” "Papa sengaja menunggu kalian," kilah Martin setelah kepergong merenung. "Kalau begitu kita masuk sekarang." Dyra lantas membuka kunci rem pada roda Martin, dan setelahnya pria itu menarik tuas di atas roda kanan. Melihat Martin bisa dengan mudah menggerakkan kursi rodanya memasuki rumah, Dyra pun segera menyusul bersama stroller bayinya. “Apa dia belum bangun?” Sesampainya di ruang tengah dan bisa melihat
Sesekali Dyra mengalihkan pandangan dari layar televisi di depannya untuk memastikan Ghavin yang masih serius dengan ponselnya. Pria itu benar-benar tidak pergi kemanapun. Ghavin sepertinya memang sengaja mengambil cuti. Tapi bukan itu yang Dyra pikirkan sekarang, melainkan keputusan Ghavin untuk menceraikan Marissa masih sangat tidak terduga. Dyra malah jadi resah, merasa sudah pasti dirinya menjadi penyebab hancurnya pernikahan itu yang dulu sempat membuat iri banyak orang. Walaupun sebenarnya selama ini ia tidak tahu pasti kehidupan macam apa yang telah Ghavin jalani bersama Marissa sang Modeling. Hingga perceraian menjadi pilihan akhir."Akan ada tamu yang datang.” Pernyataan Ghavin berhasil menyentak Dyra. “Galih dan Bella sebentar lagi sampai." Dyra yang sempat tertegun lantaran tidak mendengar jelas apa yang Ghavin sampaikan, segera mengangguk “Apa yang kau pikirkan?” Ternyata Ghavin cukup peka melihat Dyra seperti orang linglung.“Kenapa Mas ingin menceraikan Mbak Marissa?" T
“Tak kusangka kau bisa selapang dada ini melihat suamimu menikah lagi.” Melihat Romi sengaja menyindir dirinya, Marissa hanya menatap sinis pria itu yang sekarang sedang tersenyum menyebalkan. “Atau sebenarnya kau sedang menyiapkan kejutan untuk mereka?” Rupanya Romi tidak begitu saja percaya dengan kesediaan Marissa dipoligami. Mengingat Marissa bukanlah wanita spik malaikat yang akan terima miliknya diambil wanita lain. Apalagi bukan hanya berparas tampan dengan pesona yang mampu menghipnotis semua mata wanita, Ghavin juga memiliki banyak harta. Akan terlihat janggal jika Marissa seterbuka sekarang atas kehadiran wanita lain dalam rumah tangganya. Enggan menanggapi serius cibiran Romi, Marissa malah menyunggingkan senyum misterius sebelum menyesap minumannya dengan elegan. “Kau akan tahu nanti.” “Apa kau berniat menyingkirkan wanita itu juga?” Romi menatap curiga. Marissa benar-benar bisa sangat tidak terduga apalagi jika kediamannya terusik. “Cih! Kau bersikap seolah aku p
“Untuk apa mereka datang?”Martin mendesak putranya yang masih bergeming setelah kepergian Dyra ke kamar membawa Megan.“Mengundangku dan Dyra ke acara anniversary Paman Darwin.” Ghavin menjawab apa adanya.“Ingat Ghavin! Baik dulu maupun sekarang, papa tidak pernah menyukainya." Martin mengingatkan. Curiga kedatangan Bella bukan saja karena ingin menyampaikan undangan pribadi orang tuanya, melainkan ada alasan lain. “Papa tahu dia masih sangat keras kepala untuk bisa menjadi bagian keluarga kita."“Dia sudah menjadi bagian keluarga kita setelah Galih menikahinya, Pa.” Ghavin yang paham siapa yang Martin bicarakan, balik mengingatkan agar sang ayah tidak lagi berpikir buruk pada mantan kekasih kembarannya itu. "Aku percaya Galih bisa menjaganya."Akan tetapi Martin tetap memiliki firasat buruk, tidak bisa begitu saja mempercayai Bella. "Papa hanya merasa perlu mengingatkanmu. Jangan sampai nanti kamu menyesal telah mengabaikan peringatan papa hari ini."Ghavin pilih tidak menjawab, mel
Terhenyak dengan suara Ghavin yang ternyata sedang berjalan ke arahnya, Martin buru-buru mengusap sudut matanya sebelum bulir beling terjun bebas.“Papa pikir kamu sudah berangkat, Vin.” Dengan senyum haru, Martin menanti kedatangan putra bersama cucu tersayangnya."Setelah ini, Pa. Dyra masih di kamar mandi.”Jawaban singkat Ghavin tak urung semakin menambah keharuan di hati Martin. “Malam ini mungkin aku akan pulang terlambat.” Ghavin memberitahu agar sang ayah bisa tidur lebih awal. Sebenarnya Ghavin tahu, selama menikah dengan Dyra, Martin sering menunggu kepulangannya.“Kau akan menemui Marissa?” Martin menebak jika Ghavin berniat lebih dulu pulang ke rumah istri pertamanya.“Tidak. Hari ini aku akan sangat sibuk. Ada beberapa pertemuan penting yang tidak bisa aku tinggalkan.” “Ingat. Kamu harus bisa membagi waktu, Nak.” Martin kembali mengingatkan tidak hanya perusahaan dan Marissa, Ghavin juga memiliki tanggung jawab yang sama pada Dyra beserta Megan.“Aku sudah membuat keput
“Tapi aku tidak!” Bella dengan cepat menegaskan. “Sekarang aku hanya ingin melihat mereka semua hancur. Sehancur-hancurnya.” Bella sangat serius dengan ucapannya.“Kau yakin?” Romi memastikan. “Apa aku terlihat sedang main-main?” Romi segera menggeleng, tidak ingin menambah kekesalan sang adik. “Pernikahan kedua Ghavin menyadarkan aku, selama ini dia memang tidak sekalipun menganggapku ada.” Bella berusaha menenangkan hati dengan berulang kali mengatur nafas. “Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar untukku bersabar, Kak. Tapi apa yang aku dapatkan? Dia justru menjadikan janda kembarannya istri kedua.” Suara Bella bergetar di akhir kalimat.Tentu saja Romi belum lupa, bagaimana hancurkan Bella ketika dulu Ghavin pilih menikahi Marissa, bahkan Bella yang patah hati nyaris mengakhiri hidup. Hatinya ikut sakit melihat kehancuran sang adik kala itu. Sebagai seorang kakak, ia merasa bertanggung jawab untuk membalas kesakitan yang Bella rasakan.“Kau tenang saja, aku yang akan membalas
“Wanita tidak tahu diri! Janda genit! Setelah suamimu mati sekarang kau rebut suami putriku! Kenapa! Tidak ada lagi yang menghangatkan ranjangmu, iya! Dan kau takut dibuang keluarga ini! Untuk itu kau menggoda mantan atasanmu!” Sushmita langsung melontarkan cacian sesaat pintu dibuka.Momen yang langsung dimanfaatkan begitu tahu siapa yang menyambut kedatangannya. Sushmita memang sengaja datang untuk melabrak Dyra, dan ketika wanita itu yang membuka pintu untuknya, darah Sushmita seketika mendidih panas.“Aku tidak merebut Mas Ghavin, Buk.” Dyra coba meluruskan meski sebenarnya masih sangat tidak menduga Sushmita yang datang. “Semua ini—”“---apa yang ingin kau katakan! Hanya karena Tuan Martin yang memintamu menjadi istri kedua Ghavin, begitu? Atau kau ingin menunjukkan padaku hanya kau menantu kebangganya, iya!” Suara lantang Sushmita masih mendominasi. “Kau benar-benar membuatku muak! Sejak dulu aku sudah peringatkan Risa untuk menjaga suaminya dari bet
“Wanita tidak tahu diri! Janda genit! Setelah suamimu mati sekarang kau rebut suami putriku! Kenapa! Tidak ada lagi yang menghangatkan ranjangmu, iya! Dan kau takut dibuang keluarga ini! Untuk itu kau menggoda mantan atasanmu!” Sushmita langsung melontarkan cacian sesaat pintu dibuka.Momen yang langsung dimanfaatkan begitu tahu siapa yang menyambut kedatangannya. Sushmita memang sengaja datang untuk melabrak Dyra, dan ketika wanita itu yang membuka pintu untuknya, darah Sushmita seketika mendidih panas.“Aku tidak merebut Mas Ghavin, Buk.” Dyra coba meluruskan meski sebenarnya masih sangat tidak menduga Sushmita yang datang. “Semua ini—”“---apa yang ingin kau katakan! Hanya karena Tuan Martin yang memintamu menjadi istri kedua Ghavin, begitu? Atau kau ingin menunjukkan padaku hanya kau menantu kebangganya, iya!” Suara lantang Sushmita masih mendominasi. “Kau benar-benar membuatku muak! Sejak dulu aku sudah peringatkan Risa untuk menjaga suaminya dari bet
“Tapi aku tidak!” Bella dengan cepat menegaskan. “Sekarang aku hanya ingin melihat mereka semua hancur. Sehancur-hancurnya.” Bella sangat serius dengan ucapannya.“Kau yakin?” Romi memastikan. “Apa aku terlihat sedang main-main?” Romi segera menggeleng, tidak ingin menambah kekesalan sang adik. “Pernikahan kedua Ghavin menyadarkan aku, selama ini dia memang tidak sekalipun menganggapku ada.” Bella berusaha menenangkan hati dengan berulang kali mengatur nafas. “Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar untukku bersabar, Kak. Tapi apa yang aku dapatkan? Dia justru menjadikan janda kembarannya istri kedua.” Suara Bella bergetar di akhir kalimat.Tentu saja Romi belum lupa, bagaimana hancurkan Bella ketika dulu Ghavin pilih menikahi Marissa, bahkan Bella yang patah hati nyaris mengakhiri hidup. Hatinya ikut sakit melihat kehancuran sang adik kala itu. Sebagai seorang kakak, ia merasa bertanggung jawab untuk membalas kesakitan yang Bella rasakan.“Kau tenang saja, aku yang akan membalas
Terhenyak dengan suara Ghavin yang ternyata sedang berjalan ke arahnya, Martin buru-buru mengusap sudut matanya sebelum bulir beling terjun bebas.“Papa pikir kamu sudah berangkat, Vin.” Dengan senyum haru, Martin menanti kedatangan putra bersama cucu tersayangnya."Setelah ini, Pa. Dyra masih di kamar mandi.”Jawaban singkat Ghavin tak urung semakin menambah keharuan di hati Martin. “Malam ini mungkin aku akan pulang terlambat.” Ghavin memberitahu agar sang ayah bisa tidur lebih awal. Sebenarnya Ghavin tahu, selama menikah dengan Dyra, Martin sering menunggu kepulangannya.“Kau akan menemui Marissa?” Martin menebak jika Ghavin berniat lebih dulu pulang ke rumah istri pertamanya.“Tidak. Hari ini aku akan sangat sibuk. Ada beberapa pertemuan penting yang tidak bisa aku tinggalkan.” “Ingat. Kamu harus bisa membagi waktu, Nak.” Martin kembali mengingatkan tidak hanya perusahaan dan Marissa, Ghavin juga memiliki tanggung jawab yang sama pada Dyra beserta Megan.“Aku sudah membuat keput
“Untuk apa mereka datang?”Martin mendesak putranya yang masih bergeming setelah kepergian Dyra ke kamar membawa Megan.“Mengundangku dan Dyra ke acara anniversary Paman Darwin.” Ghavin menjawab apa adanya.“Ingat Ghavin! Baik dulu maupun sekarang, papa tidak pernah menyukainya." Martin mengingatkan. Curiga kedatangan Bella bukan saja karena ingin menyampaikan undangan pribadi orang tuanya, melainkan ada alasan lain. “Papa tahu dia masih sangat keras kepala untuk bisa menjadi bagian keluarga kita."“Dia sudah menjadi bagian keluarga kita setelah Galih menikahinya, Pa.” Ghavin yang paham siapa yang Martin bicarakan, balik mengingatkan agar sang ayah tidak lagi berpikir buruk pada mantan kekasih kembarannya itu. "Aku percaya Galih bisa menjaganya."Akan tetapi Martin tetap memiliki firasat buruk, tidak bisa begitu saja mempercayai Bella. "Papa hanya merasa perlu mengingatkanmu. Jangan sampai nanti kamu menyesal telah mengabaikan peringatan papa hari ini."Ghavin pilih tidak menjawab, mel
“Tak kusangka kau bisa selapang dada ini melihat suamimu menikah lagi.” Melihat Romi sengaja menyindir dirinya, Marissa hanya menatap sinis pria itu yang sekarang sedang tersenyum menyebalkan. “Atau sebenarnya kau sedang menyiapkan kejutan untuk mereka?” Rupanya Romi tidak begitu saja percaya dengan kesediaan Marissa dipoligami. Mengingat Marissa bukanlah wanita spik malaikat yang akan terima miliknya diambil wanita lain. Apalagi bukan hanya berparas tampan dengan pesona yang mampu menghipnotis semua mata wanita, Ghavin juga memiliki banyak harta. Akan terlihat janggal jika Marissa seterbuka sekarang atas kehadiran wanita lain dalam rumah tangganya. Enggan menanggapi serius cibiran Romi, Marissa malah menyunggingkan senyum misterius sebelum menyesap minumannya dengan elegan. “Kau akan tahu nanti.” “Apa kau berniat menyingkirkan wanita itu juga?” Romi menatap curiga. Marissa benar-benar bisa sangat tidak terduga apalagi jika kediamannya terusik. “Cih! Kau bersikap seolah aku p
Sesekali Dyra mengalihkan pandangan dari layar televisi di depannya untuk memastikan Ghavin yang masih serius dengan ponselnya. Pria itu benar-benar tidak pergi kemanapun. Ghavin sepertinya memang sengaja mengambil cuti. Tapi bukan itu yang Dyra pikirkan sekarang, melainkan keputusan Ghavin untuk menceraikan Marissa masih sangat tidak terduga. Dyra malah jadi resah, merasa sudah pasti dirinya menjadi penyebab hancurnya pernikahan itu yang dulu sempat membuat iri banyak orang. Walaupun sebenarnya selama ini ia tidak tahu pasti kehidupan macam apa yang telah Ghavin jalani bersama Marissa sang Modeling. Hingga perceraian menjadi pilihan akhir."Akan ada tamu yang datang.” Pernyataan Ghavin berhasil menyentak Dyra. “Galih dan Bella sebentar lagi sampai." Dyra yang sempat tertegun lantaran tidak mendengar jelas apa yang Ghavin sampaikan, segera mengangguk “Apa yang kau pikirkan?” Ternyata Ghavin cukup peka melihat Dyra seperti orang linglung.“Kenapa Mas ingin menceraikan Mbak Marissa?" T
Pagi itu ketiga kalinya Dyra mengajak Megan jalan-jalan pagi. Selain ingin mendapatkan udara segar, mereka juga masih perlu pengenal lingkungan baru. Tinggal di perumahan elit, Dyra bersyukur memilih tetangga yang ramah. Lingkungan sehat yang membuatnya nyaman, dan tentunya tidak ada yang tahu jika ia merupakan istri kedua Ghavin Pramana. Begitu memasuki pagar rumahnya, Dyra melihat Martin masih tercenung di dekat kolam ikan. Padahal matahari sudah tidak bagus untuk pria itu tetap ada di sana. Dyra pun segera mendorong stroller Megan mendekati sang mertua. “Papa belum masuk?” "Papa sengaja menunggu kalian," kilah Martin setelah kepergong merenung. "Kalau begitu kita masuk sekarang." Dyra lantas membuka kunci rem pada roda Martin, dan setelahnya pria itu menarik tuas di atas roda kanan. Melihat Martin bisa dengan mudah menggerakkan kursi rodanya memasuki rumah, Dyra pun segera menyusul bersama stroller bayinya. “Apa dia belum bangun?” Sesampainya di ruang tengah dan bisa melihat
"Astaga! Mas Ghavin!" Dyra seketika duduk. Sebelumnya posisi Dyra berbaring membelakangi pintu, tapi ternyata Ghavin yang tidak tahu sejak kapan datangnya sudah berdiri di dekat ranjang, dan ketika membalik badan Dyra pun terkejut. “Sedang apa disini?” Dyra buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Namun, Ghavin tak bergeming, bahkan saat melihat keterkejutan Dyra. Dyra lantas menghidupkan lampu kamar menggunakan remot, dan ketika tahu penampilan Ghavin yang tak biasa, alisnya mengkerut dalam. Melihat Ghavin berdiri layaknya patung, pun dengan tatapan terkunci padanya, Dyra berubah gelisah. Ia merasa terancam. “A-anda apa?” ujarnya gugup. Selain aneh, Ghavin juga tampak berantakan. Tidak seperti biasanya yang selalu rapi. Kemeja putih yang Ghavin kenakan terburai keluar, dasi sudah melonggar tidak beraturan. Sedangkan rambutnya acak-acakan seperti tersapu angin beliung. Ghavin terlihat sangat kacau. Semakin mengherankan lagi ketika tiba-tiba langsung berbalik badan dan p
Ghavin berjalan tergesa menuju beranda samping untuk menerima panggilan. Panggilan yang sangat penting sampai ia harus menjauh agar tidak ada yang ikut mendengar. Pernikahan kedua Ghavin bersama Dyra sudah terjadi dua jam lalu. Sekarang Dyra sah menjadi istri kedua Ghavin Pramana. Tapi meski waktu sudah berlalu selama itu, Dyra belum beranjak dari sofa—-masih tercenung dengan pikiran berkelana jauh tak tentu arah. Beralih ke stroller Megan, senyum tipis terukir kala melihat malaikat kecilnya sedang tertidur pulas. Bayi itu benar-benar cantik dan menggemaskan. Mewarisi hampir seratus persen paras papanya. Dyra yang mengandung serta melahirkan saja nyaris tidak kebagian. Hanya rambut Megan yang seperti miliknya, keriting ikal. “Kamu alasan mama melakukan ini, Nak. Mama berharap sudah menentukan keputusan yang tepat untuk masa depanmu,” ujar Dyra pelan. “Ghavin!” Teriakan dari arah pintu utama mengejutkan Dyra juga Megan yang langsung terbangun dan menangis. Bahkan Martin yang ada