Ghavin berjalan tergesa menuju beranda samping untuk menerima panggilan. Panggilan yang sangat penting sampai ia harus menjauh agar tidak ada yang ikut mendengar.
Pernikahan kedua Ghavin bersama Dyra sudah terjadi dua jam lalu. Sekarang Dyra sah menjadi istri kedua Ghavin Pramana. Tapi meski waktu sudah berlalu selama itu, Dyra belum beranjak dari sofa—-masih tercenung dengan pikiran berkelana jauh tak tentu arah. Beralih ke stroller Megan, senyum tipis terukir kala melihat malaikat kecilnya sedang tertidur pulas. Bayi itu benar-benar cantik dan menggemaskan. Mewarisi hampir seratus persen paras papanya. Dyra yang mengandung serta melahirkan saja nyaris tidak kebagian. Hanya rambut Megan yang seperti miliknya, keriting ikal. “Kamu alasan mama melakukan ini, Nak. Mama berharap sudah menentukan keputusan yang tepat untuk masa depanmu,” ujar Dyra pelan. “Ghavin!” Teriakan dari arah pintu utama mengejutkan Dyra juga Megan yang langsung terbangun dan menangis. Bahkan Martin yang ada di sofa berbeda ikut terkejut, lantas buru-buru menggerakan kursi rodanya ke arah ruang tamu. “Risa!” Martin tidak suka cara menantu sulungnya yang dianggap tidak beretika. “Kau tidak perlu berteriak. Ini rumah, bukan hutan.” Mengabaikan kritikan Martin, Marissa bertolak pinggang di tengah ruang tamu. "Dimana Ghavin? Aku mencari suamiku.” Sama sekali tidak ada rasa hormat Marissa terhadap Martin—mertuanya. Wanita berhak tinggi itu masih membusungkan dada dengan dagu terangkat. "Kenapa tidak kau cari sendiri!” Begitu juga Martin yang terlihat tak acuh, sangat berbeda ketika bersama Dyra. Setelah itu Martin juga langsung kembali masuk meninggalkan Marissa. “Tua bangka merepotkan!” dengus Marissa kesal yang lagi-lagi diabaikan. Sempat mendengar teriakan Marissa, begitu orang di seberang sana paham apa yang diperintahkan, Ghavin lantas memutus panggilan, dan segera memastikan ke dalam khawatir terjadi ketegangan antara Marissa dengan sang ayah. Setidaknya saat melewati ruang tengah, Ghavin lega melihat Dyra membawa Megan ke kamarnya. Sedangkan Martin sudah menunggu di dekat sofa. “Kita harus pergi sekarang. Bukankah acaramu sudah selesai?” “Aku harus kembali ke kantor. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum aku selesaikan.” Ghavin bicara jujur. Keduanya sudah bertemu di sofa panjang ruang tengah, tapi sayangnya Martin lagi-lagi harus menyaksikan minimnya adab Marissa terhadap suaminya. Selalu bicara ketus, dan tidak mau dibantah. “Tidak bisa! Kau harus pergi denganku!” Marissa tetap bersikeras memaksa. “Tunggu sebentar, ada yang ingin aku jelaskan pada kalian.” Ghavin sudah akan bangkit, tapi pertanyaan Marissa menahannya. “Kalian siapa?” Marissa bertanya dengan alis mengkerut. “Kau dan Dyra. Tunggulah sebentar. Aku panggilkan dia.” Ghavin masih sangat lembut dan tenang saat berbicara pada Marissa. Sikap yang terkadang membuat Martin kesal, putranya terlalu baik untuk Marissa yang tidak tahu diri. Tidak ingin membuang waktu, Ghavin bergegas menuju kamar Dyra. “Puas Papa sekarang sudah kembali menjadikan Dyra menantu?” hardik Marissa begitu tinggal hanya berdua dengan Martin. “Papa selalu menganggapku buruk, dan tidak layak untuk Ghavin, bukan? Padahal buktinya aku juga memikirkan kebahagiaan kalian. Terbukti sekarang aku merelakan suamiku menikah lagi. Karena aku sadar belum bisa memberinya keturunan.” Melihat Marissa memasang wajah memelas—mencari simpati, Martin sama sekali tidak terpancing. Hanya diam menatap dingin Marissa yang masih menunjukkan kesedihan palsu. Di kamar, Dyra bersyukur Megan bisa kembali tertidur setelah menghabiskan setengah botol susu. Dyra baru selesai menutup pembatas di ranjang Megan ketika Ghavin masuk. Sempat terkejut, tapi dengan cepat Dyra bisa menguasai diri. "Apa dia tidur lagi?" Meski enggan, tapi pada akhirnya Dyra menjawab dengan anggukan kepala. “Bisa bicara di luar?” Melihat Dyra kembali mengangguk, Ghavin lantas berjalan keluar lebih dulu. “Semua demi kamu, Nak. Mama akan berusaha sabar.” Menyiapkan diri menghadapi kemungkinan yang bisa saja terjadi, Dyra mendesak nafas kasar sekali sebelum ikut berjalan keluar. ********** “Selamat kau tidak jadi mantan menantu di keluarga ini,” sarkas Marissa menyambut kedatangan Dyra. “Tapi walaupun suamiku sudah menikahimu, jangan harap bisa bersaing denganku.” Nada sinis Marissa hanya Dyra balas dengan senyum kaku. Bersaing dengan Marissa sesuatu yang sangat mustahil bisa Dyra lakukan, ia juga sangat sadar diri. Mereka bak bumi dan langit. Tidak hanya berparas cantik, fashionable, dan glamor, Marissa juga memiliki karir yang cemerlang sebagai modeling. Sedangkan dirinya, hanya wanita rumahan yang tak ragu mengenakan daster usang. Sekalipun ia berusaha keras, sudah pasti tidak akan bisa setara dengan Marissa. “Risa! Jaga bicaramu!” tegas Martin tidak suka melihat cara bicara Marissa yang dianggap terlalu sombong. “Kenapa? Karena dia menantu kesayangan Papa?” Bukannya menurut, Marissa malah semakin meninggikan suara. “Risa.” Kali ini Ghavin yang menegur. Walaupun dengan suara pelan tapi penuh penegasan. Tidak hanya Marissa, Dyra yang berada di jarak cukup jauh saja ikut merasakan atmosfer yang berbeda sesaat Ghavin bersuara. Pria itu memang sangat mengintimidasi dengan pembawaan yang tenang. “Kau lupa sedang bicara dengan siapa?” Mendapat pembelaan Ghavin, Martin menatap kesal Marissa yang balas melirik sinis. Dua orang dewasa yang tidak pernah bisa akur setiap kali bertemu. Kondisi yang sebenarnya tidak asing lagi Dyra lihat, hanya saja dengan statusnya yang sekarang, timbul perasaan tidak tenang. Ia tahu Marissa tidak akan pernah berhenti menghardik dirinya. “Diam, dan dengarkan ini baik-baik.” Setelah memperingatkan Marissa, Ghavin beralih pada Dyra yang dianggap juga berhak ikut menyimak. “Kedepannya aku akan berusaha memperlakukan kalian dengan adil.” Ghavin mulai menjelaskan perannya sebagai suami dari dua istri, sekaligus ayah pengganti Megan. “Dengarkan dulu.” Ghavin melarang Marissa yang hendak melontarkan protes. “Tunjuk dimana saja rumah yang kau mau jika kau ingin tinggal di rumah baru. Karena mulai besok, Dyra beserta Papa akan tinggal di rumah yang sudah aku siapkan.” Ghavin menatap Dyra sebentar sebelum lanjut bicara. “Rumah ini terlalu banyak menyimpan kenangan mama dan Ghava. Aku lakukan ini demi kesehatan mental Papa, agar tidak lagi merasa bersalah dengan apa yang sudah terjadi. Hanya itu.” Kendati menekan ujung kalimatnya, tapi pandangan Ghavin penuh arti ketika kembali menatap Dyra. Sedangkan Dyra tidak peduli apapun yang Ghavin jelaskan, ia juga tidak berharap pria itu bisa mengerti dirinya. Dengan tidak lagi tinggal di rumah itu saja, ia sudah sangat bersyukur. Dyra percaya menjauh dari semua hal yang mengingatkan Ghava bisa menyembuhkan luka hatinya atas kepergian pria itu yang mendadak. Dyra juga sedang berusaha menerima takdir yang sekarang telah mengikatnya dengan pria yang tidak pernah diinginkan. “Aku akan tetap tinggal di rumah lama.” Marissa menjawab ketus, kesal ternyata Ghavin sudah menyiapkan tempat tinggal untuk Dyra. “Tapi sebagai gantinya, dalam sepekan kau harus bersamaku lima hari, baru sisanya kau bisa bersama Megan.” “Tidak! Itu tidak benar, Risa.” Ghavin meluruskan. “Tapi kenapa? Bukankah pernikahan kalian hanya karena kau menuruti permintaan Papa? Apa kau juga berniat melakukan tanggung jawabmu pada Dyra?!” Marissa bersungut-sungut, merasa Ghavin melanggar kesepakatan mereka. Tidak tahu perjanjian apa yang sebelumnya disepakati pasangan itu, tetapi ketika Marissa mencemaskan sesuatu yang Dyra anggap tidak mungkin, rasanya sangat tidak nyaman. Pernikahannya dengan Ghavin hanya karena Megan, tidak lebih. Tapi sayangnya ketika akan ikut bicara, suara Ghavin lebih dulu terdengar. “Pernikahanku dengan Dyra memang hanya karena kami ingin tetap bersama Megan. Tapi walaupun begitu, Dyra juga sudah menjadi tanggung jawabku. Apa yang aku berikan padamu, dia juga akan mendapatkan hak yang sama.” Kali ini tidak hanya Marissa yang terkejut, tapi juga Dyra. Tidak tahan hanya menyimak, Dyra akhirnya angkat bicara. “Tidak perlu Mas melakukan itu! Cukup hanya menjadi ayah pengganti Megan. Sedangkan kita tetap dua orang asing.” Dyra menegaskan “Tidak bisa Dyra. Aku menikahimu secara sah, dengan begitu aku berkewajiban memberikanmu hak yang sama seperti Marissa.” “Kenapa bisa seperti itu?” Tidak terima, Marissa melayangkan protes. “Kau hanya mengatakan akan mengambil alih tanggung jawab Megan. Bukankah terlalu berlebihan jika kau juga memperdulikan ibunya!” “Ghavin.. .” Martin menyela, sepertinya ia cukup terkejut setelah mendengar ucapan Marissa. “Jangan buat papa pusing, apa yang sebenarnya kalian sepakati?” “Ghavin mengatakan pernikahan ini atas keinginan Papa yang tidak bisa jauh dari Megan, dan aku menyetujuinya karena dia bilang tidak lebih dua tahun.” “Ghavin!” Kali ini Martin membentak putranya, dan disertai tatapan marah. Melihat reaksi Martin, Marissa menyunggingkan senyum licik."Astaga! Mas Ghavin!" Dyra seketika duduk. Sebelumnya posisi Dyra berbaring membelakangi pintu, tapi ternyata Ghavin yang tidak tahu sejak kapan datangnya sudah berdiri di dekat ranjang, dan ketika membalik badan Dyra dibuat terkejut setengah mati. “Sedang apa disini?” Dyra buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Namun, Ghavin tak bergeming, bahkan saat melihat keterkejutan Dyra. Dyra lantas menghidupkan lampu kamar menggunakan remot, dan ketika tahu penampilan Ghavin yang tak biasa, alisnya mengkerut dalam. Melihat Ghavin berdiri layaknya patung, pun dengan tatapan terkunci padanya, Dyra berubah gelisah. Ia merasa terancam. “A-ada apa?” ujarnya gugup. Selain aneh, Ghavin juga tampak berantakan. Tidak seperti biasanya yang selalu rapi. Kemeja putih yang Ghavin kenakan terburai keluar, dasi sudah melonggar tidak beraturan. Sedangkan rambutnya acak-acakan seperti tersapu angin beliung. Ghavin terlihat sangat kacau. Semakin mengherankan lagi ketika tiba-tiba langsung
Pagi itu ketiga kalinya Dyra mengajak Megan jalan-jalan pagi. Selain ingin mendapatkan udara segar, mereka juga masih perlu mengenal lingkungan baru. Tinggal di perumahan elit, Dyra bersyukur memilih tetangga yang ramah. Lingkungan sehat yang membuatnya nyaman, dan tentunya tidak ada yang tahu dirinya istri kedua Ghavin Pramana. Begitu memasuki pagar rumahnya, Dyra melihat Martin masih ada di dekat kolam ikan. Padahal matahari mulai terik untuk pria itu tetap ada di sana. Dyra segera mendorong stroller Megan mendekati sang mertua. “Papa, sudah waktunya sarapan?” Martin yang terhenyak segera menoleh "Papa sengaja menunggu kalian," kilahnya tidak ingin Dyra tahu dirinya sedang merenung. "Kalau begitu kita masuk sekarang." Dyra lantas membuka kunci rem pada roda di kursi roda Martin, dan setelahnya pria itu menarik tuas di atas roda kanan untuk jalan sendiri memasuki rumah. Melihat Martin bisa dengan mudah menggerakkan kursi rodanya, Dyra menyusul bersama stroller bayinya. “Apa
Sesekali Dyra mengalihkan pandangan dari layar televisi untuk memastikan Ghavin apakah masih serius dengan ponselnya. Ternyata pria itu benar-benar tidak pergi kemanapun. Ghavin sepertinya memang sengaja mengambil cuti. Tapi bukan itu yang Dyra pikirkan sekarang, melainkan keputusan Ghavin yang ingin bercerai dari Marissa masih sangat mengejutkan baginya. Mengingat hubungan keduanya selama ini terlihat baik-baik saja, meski belum memiliki keturunan. Dyra malah jadi resah, menganggap sudah pasti dirinya penyebab hancurnya pernikahan Ghavin dengan Marissa yang sempat membuat iri banyak orang. Tidak hanya itu, ia juga akan tersudut lantaran keputusan itu Ghavin certuskan tidak lama setelah pernikahan mereka dilakukan. “Akan ada yang datang.” Ghavin tiba-tiba bicara untuk memberitahu Dyra, tapi sayangnya Dyra yang sedang sibuk berpikir mengabaikannya. “Ada yang mengusik pikirkanmu?” Ghavin menatap heran Dyra yang masih merenung. “Hah?” Dyra terkesiap, dan seketika berubah gugup saat
“Untuk apa mereka datang?” Martin mendesak putranya yang masih bergeming, setelah kepergian Dyra ke kamar membawa Megan. “Mengundangku dan Dyra ke acara anniversary Paman Darwin.” Ghavin menjawab apa adanya. “Ingat Ghavin! Sejak dulu papa tidak pernah menyukai wanita itu. Kau tetap harus berhati-hati." Martin mengingatkan. Curiga kedatangan Bella bukan saja karena ingin menyampaikan undangan pribadi orang tuanya, melainkan ada alasan lain. “Papa tahu dia masih sangat keras kepala untuk bisa menjadi bagian keluarga kita." “Dia sudah menjadi bagian keluarga kita setelah Galih menikahinya, Pa.” Ghavin balik mengingatkan agar sang ayah segera menyingkirkan pikiran buruk terhadap mantan kekasih kembarannya. "Aku percaya Galih bisa menjaganya." Walaupun faktanya memang benar Bella telah menjadi bagian keluarga besar Pramana setelah dinikahi sang keponakan, tetap saja Martin tidak bisa tenang. Dua kali pernah kehilangan orang tersayang membuatnya berpikir kritis terhadap keturunan Darwi
Ghavin mendadak urung membuka pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Ia pilih mengintip Dyra yang masih menggantikan pakaian Megan setelah selesai dimandikan. Mendengar samar-samar suara Dyra menyanyikan lagu anak-anak, tanpa sadar Ghavin menyunggingkan senyum tipis. Kendati tidak jelas lagu apa yang sedang Dyra senandungkan, tapi rasanya Ghavin masih ingin lebih lama lagi mencuri dengar. Ghavin hanya masih tidak menyangka, Dyra—-wanita cerdas yang dulu pernah menjadi sekretaris pribadinya itu, sekarang memilih mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga. Benar-benar wanita rumahan yang mengurus putrinya seorang sendiri, tanpa bantuan pengasuh. Ketika dulu mendengar Ghava sering memuji Dyra, Ghavin menganggap adik yang hanya berbeda lima menit darinya itu terlalu bucin. Sehingga dengan mudah terperdaya oleh wanitanya. Tapi ternyata baru saja sehari tinggal bersama, Ghavin membuktikan sendiri perlakuan Dyra saat melayani bukan hanya dirinya, tapi juga sang ayah beserta putri kecil me
“Maaf telah merepotkan. Mas bisa berangkat sekarang.” Setelah sempat dibuat panik tidak menemukan putri kecilnya di ranjang, Dyra bicara ketus saat mengambil Megan dari tangan Ghavin. Sebenarnya Dyra hanya kesal, Ghavin membawa Megan tanpa memberi tahu dirinya lebih dahulu. Sedangkan di kamar tadi, ia kebingungan mengetahui ranjang putrinya kosong. Terlalu banyak kehilangan orang-orang yang disayangi, membuat Dyra berpikir paranoid. Hanya karena tidak menemukan Megan di tempat sebelumnya, ia bisa sangat kacau—akal sehat mendadak tidak bekerja. Dyra tahu saat itu Ghavin sudah pergi ke kantor, sedangkan Martin seperti biasa berada di beranda samping, mencari udara segar setelah sarapan. “Aku bisa berangkat kapan saja.” Ghavin mengingatkan. Ia hanya tidak suka Dyra bicara ketus padanya. “Aku pemimpin mereka jika kau lupa.” Ghavin tersinggung, menganggap Dyra tidak suka ia membawa Megan. Melihat kesalahpahaman terjadi di antara putra dan menantunya, Martin berniat meluruskan. Tapi terny
Marissa berjalan tergesa memasuki lobby perusahaan G2 Group. Semua karyawan yang berpapasan dengannya langsung menundukkan kepala. Selain dikenal sebagai supermodel, Marissa yang merupakan istri Ghavin Pramana memang tidak pernah lepas dari sorotan banyak mata. Tidak hanya memiliki body goal, paras yang cantik, tapi juga minus sombong dan arogan. Terbukti, setiap karyawan suaminya yang menyapa tidak ada satupun yang mendapat balasan. Marissa selalu menunjukkan wajah angkuh dengan tatapan lurus ke depan. “Dimana suamiku?” Marissa bertanya lugas begitu berdiri di depan meja sekretaris Ghavin. “Pak Ghavin belum datang, Nyonya. Mungkin sebentar lagi.” Mendengar itu, Marissa lantas berlalu begitu saja menuju ruangan Ghavin yang tinggal beberapa langkah lagi. Marissa merasa perlu memastikan bagaimana respon Ghavin setelah kepulangannya yang tiba-tiba semalam, sedangkan dirinya tidak ada di rumah. Kabar pernikahan kedua Ghavin dengan iparnya memang tidak dirahasiakan, sehingga sampai deti
“Wanita tidak tahu diri! Janda genit! Setelah suamimu mati sekarang kau rebut suami putriku! Kenapa! Tidak ada lagi yang menghangatkan ranjangmu, iya! Dan kau takut dibuang keluarga ini! Untuk itu kau menggoda mantan atasanmu!” Sushmita langsung melontarkan cacian sesaat pintu dibuka. Momen yang langsung dimanfaatkan begitu tahu siapa yang menyambut kedatangannya. Sushmita memang sengaja datang untuk melabrak Dyra, dan ketika wanita itu yang membuka pintu untuknya, darah Sushmita seketika mendidih panas. “Aku tidak merebut Mas Ghavin, Buk.” Dyra coba meluruskan meski sebenarnya masih sangat tidak menduga Sushmita yang datang. “Semua ini—” “---cih! Kau berani membela diri rupanya hanya karena Tuan Martin memintamu menjadi istri kedua Ghavin. Kau ingin menunjukkan padaku hanya kau menantu kebanggaannya, begitu!” Suara lantang Sushmita masih mendominasi. “Kau benar-benar membuatku muak! Sejak dulu aku sudah peringatkan Risa untuk menjaga suaminya dari betina macam dirimu! Dan ternya
Dyra masih bertanya-tanya saat melihat Ghavin membuka topeng setelah turun dari mobilnya, dan sepertinya tidak tahu sedang diperhatikan. Sebenarnya bukan dari mana suaminya itu pergi yang Dyra cemaskan, melainkan melihat banyaknya noda darah di jaket denim yang Ghavin kenakan memunculkan berbagai dugaan buruk di kepala.Baru ketika sudah membuka pintu kaca, Ghavin yang sejak tadi berjalan menunduk terkejut mengetahui keberadaan Dyra. “Sayang! Sejak kapan kau disini?” Ghavin berusaha tetap tenang meski sebenarnya was-was Dyra akan takut padanya.“Kenapa bisa ada banyak darah disini? Apa Mas terluka?” Alih-alih menjawab, Dyra malah melontarkan pertanyaan yang membuat Ghavin ragu untuk langsung menjawab. Terlebih ketika tahu, tidak hanya tangan Dyra yang bergetar saat meraba jaketnya yang banyak noda darah, tetapi juga disertai bulir bening yang ikut merangsek keluar. Ghavin jadi tahu Dyra sedang mencemaskan dirinya.Dyra terlalu takut membayangkan sesuatu yang buruk menimpa suaminya. M
“Boleh aku masuk?” Dyra langsung meringis mual, dan tiba-tiba kakinya reflek bergerak mundur satu langkah. Dari jarak kurang lebih dua meter saja, aroma alkohol sudah sangat menyengat ketika Romi bicara. Tidak tahu berapa banyak pria itu menegakkan cairan perusak akal sehat. Tapi yang pasti, sekarang Dyra mendadak mual. Ia benci aroma itu. “Tidak! Kau sedang mabuk, dan aku tidak suka!” tolak Dyra tegas. Ia juga sudah akan menutup pintu tapi dengan cepat Romi menahannya. “Setidaknya hargai perjuanganku mencari tempat tinggalmu.” “Itu urusanmu!” Dyra mendorong Romi agar menjauh. Namun, ketika hendak kembali menutup pintu, Romi bisa lebih dulu menyelinap dan akhirnya berhasil masuk. “Kau!” Dyra berubah tegang sambil susah payah menelan salivanya melihat Romi terus mengikis jarang diantara mereka. “Stop! Berhenti disana! Atau aku akan memanggil pelayan untuk mengusirmu!” Tapi peringatan Dyra sama sekali tidak Romi hiraukan. Kakinya tetap melangkah maju. Sampai kemudian.. “B
“Apa sudah merasa lebih baik?” Galih bertanya seraya menoleh Bella yang memungunginya. Seharian hanya berbaring seperti orang sakit, Galih merasa seluruh tubuhnya seperti remuk redam. Tidak tahu kenapa Bella hari itu benar-benar manja padanya, bukan hanya melarangnya pergi ke kantor, tapi juga minta ditemani berbaring. Benar-benar hanya berbaring, seperti dua orang dewasa yang tidak punya keinginan kesenangan duniawi. “Belum. Kepalaku masih pusing setiap aku membuka mata.” Jawaban yang sudah beberapa kali Galih dengar sejak siang. “Ini jelas ada yang tidak beres. Aku panggilkan dokter.” Tidak bisa menahan diri lagi, Galih bicara sambil beranjak turun dari ranjang. Kali ini Bella tidak lagi melarang suaminya meninggalkan ranjang. Setelah berjam-jam berada di situasi yang tidak biasa, ia juga mulai curiga. Tidak lama Galih kembali datang, dan langsung memberitahu Bella. “Dokter akan datang sebentar lagi.” Bella hanya mengangguk. Bahkan mengintip pun tidak dilakukan saat me
“Bagaimana kau hidup sebelum datang ke kota untuk menjadi sekretarisku?” Memijat pelan punggung Dyra yang duduk di atas pengakuannya—menatap gelapnya malam lewat kaca jendela yang sudah dibuka, Ghavin masih belum percaya mereka bisa sedekat sekarang.“Dua tahun setelah pertemuan kita, ibuku meninggal. Sampai akhirnya nenek dari mendiang ayahku datang. Mengajakku tinggal bersamanya di kampung berbeda.” Dyra menghela nafas panjang lebih dulu sebelum lanjut bercerita.Setelah ibunya meninggal, Dyra sempat berhenti sekolah lantaran harus bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tidak banyak yang bisa ia lakukan, karena untuk melakukan pekerjaan berat juga tenaganya belum mampu. Dyra bekerja di warung kecil yang pemiliknya merupakan teman baik sang ibu. Ia akan mendapat makan tiga kali sehari serta sedikit uang setelah seharian bekerja.Tidak hanya mencuci piring, Dyra juga ditugaskan mengantar pesanan pelanggan yang tidak bisa datang ke warung. Berun
“Lumpuhkan anak buahnya yang paling berpengaruh. Jika dia tidak mau diajak berdamai, habisi tanpa melibatkan orang terdekatnya.” Ghavin langsung memberi ultimatum. “Mas.” Mendengar suara Dyra baru melewati pintu membawa nampan, Ghavin seketika bangkit dan langsung memutus panggilan bahkan ketika orang di seberang sana masih bicara. “Aku buatkan kopi untukmu.“ Dyra bicara sambil berjalan mendekati meja kerja suaminya. Ghavin lantas berjalan memutar setelah meletakkan ponsel ke atas meja. “Terima kasih.” Begitu sudah berdiri di depan Dyra, ia ambil alih nampan dari tangan sang istri dan memindahkanya ke atas meja kerjanya. Setelahnya membawa tubuh Dyra ke dalam pelukannya. “Maafkan aku.” “Maaf untuk apa lagi?” Dyra pura-pura tidak tahu. Sambil membalas pelukan Ghavin, Dyra tengah menghirup dalam-dalam aroma maskulin lelakinya. Ia sedang berdamai dengan keadaan. Meleburkan kemarahan pada orang-orang serakah yang telah merebut miliknya lewat pelukan hangat Ghavin. Sekarang Dyr
Setelah pria bertopeng itu menemui dirinya dan mengatakan ada dipihaknya untuk menghancurkan G2 Group khususnya keturunan Pramana, sebenarnya Romi tidak percaya begitu saja. Sebelum mengetahui wajah dibalik topeng itu, ia merasa belum tenang. Karena selain misterius, pria itu bisa saja hanya ingin menjebaknya dengan membuat tak tik licik. Karena itu begitu mendapat informasi pria bertopeng tinggal di tengah hutan, Romi dengan beberapa anak buahnya langsung meluncur malam itu juga. Mereka tidak peduli meski harus memasuki hutan saat hari sudah pagi. Setelah melakukan pengintaian, dan tidak melihat pergerakan dari dalam rumah gubuk tersebut, Romi langsung bergerak. Naasnya, setelah melubangi pintu dengan banyak timas panas, sebelum akhirnya jebol oleh tendangan salah satu anak buah Romi, ternyata di dalam tidak ada siapapun. Rumah itu hanya gubuk reyot yang tak terawat. Sempat terkejut saat diberitahu ada mayat di dekat gubuk, Romi justru semakin terkejut saat tahu mayat itu tiba-tib
Dyra membalas tindakan kasar Marissa dengan menancapkan tumit heelsnya di kaki wanita itu yang seketika mengaduh kesakitan, sehingga cengkraman rambutnya pun terlepas.“Sayang.. apa kau terluka?” Sushmita panik memastikan kaki depan putrinya yang memerah. “Kau sangat keterlaluan! Wanita sialan! Tidak tahu diri!” Sushmita mengumpat marah pada Dyra.Tapi Dyra tidak peduli. Ia yang sudah kembali tenang hanya mengibaskan rambut ke belakang. “Seharusnya kalimat itu aku ucapkan untuk kalian!” Kali ini Dyra tidak bisa menahan diri lagi. Bahkan belum juga Marissa berdiri dengan sempurna, Dyra bergerak cepat melayangkan tamparan keras di pipi Marissa. “Itu untuk keluguan palsumu!” Plak! Tamparan kedua Dyra berikan di pipi Marissa yang lain. “ Dan itu untukmu yang sudah merebut apa yang seharusnya menjadi milikku.”Murka putrinya mendapat dua tamparan secara bersamaan, Sushmita mendorong kuat Dyra hingga terjatuh di dekat meja sofa.“Kau sadar dengan apa yang sudah kau katakan, Jalang?” Sushmit
Galih masih memperhatikan puluhan heels yang tersusun rapi di lemari besar di depannya, dan kedua daun pintunya sudah dibuka lebar. Kendati matanya masih menyusuri satu-persatu heels koleksi sang istri, tapi hati kecilnya terus berharap apa yang dicari tidak ada disana. Dalam kata lain pemilik heels di video itu bukanlah istrinya. Kalimat yang sering Bella katakan ketika marah melihat Ghava bersama Dyra dulu, memicu berspekulasi negatif dalam dirinya. Sehingga dugaan itu muncul mengingat heels seperti bagian hidup Bella yang glamor.“Besar harapanku bukan kau yang melakukannya. Karena sekalipun itu kau, aku pasti akan memihak mereka, dan membuatmu mendapat balasan yang sepadan.”Namun, di tengah kondisi harap-harap cemas, Galih dikejutkan dengan kemunculan Bella yang berlari menuju kamar mandi. Tadinya Galih mengabaikan, menganggap sang istri tengah terdesak oleh hajatnya, tapi ternyata ia tetap panik saat mendengar suara… “Apa kau sakit?” Galih membantu memijat tengkuk Bella yang m
Sebagai pria sejati yang memegang teguh ucapannya, hari itu setelah lebih dari sepuluh tahun Ghavin kembali datang mencari gadis kecilnya. Namun ternyata, setelah sepuluh tahun berlalu, banyak perubahan yang membuatnya bingung, dan menganggap telah tersesat. Setelah menemukan palang pembatas yang diyakini menjadi tempat pertemuan pertama mereka dulu, Ghavin pilih mengambil jalan lurus menurut ingatannya. Akan tetapi sampai tiba di ujung jalan, Ghavin tidak menemukan lagi deretan hunian sederhana tempat tinggal gadisnya. Sekarang hanya ada satu bangunan dan menghadap jalan raya—membelakangi dirinya. Tidak tahu harus bertanya pada siapa, mengingat tidak ada siapapun disana, Ghavin akhirnya memutuskan mendatangi bangunan tersebut yang ternyata kios buah. “Permisi..” Begitu mendekat Ghavin segera bertanya pada pemilik buah yang seketika bangkit dari kursinya.“Mau buah yang mana, Dek?” Sushmita berpikir saat itu Ghavin datang untuk membeli dagangannya. Tapi ternyata kekecewaan yang ia d