Hanya berselang beberapa minggu saja, galeri fashion milik Ruth sudah kembali ramai seperti sedia kala. Perempuan cantik berambut cepak tersebut melebarkan senyumannya saat melihat sekeliling. Tidak ada raut cemberut atau mengajukan protes karena dulu ia selalu menolak retur produk dari para pelanggan. “Jangan bengong! Bantu aku melayani mereka,” Marissa menyenggol bahu Ruth hingga perempuan itu tersadar. Ia menoleh pada Marissa yang baru saja melewati dirinya dan membaur dengan pelanggan di depan sebuah manekin. “Kenapa bisa?” bisik Ruth setelah mendekat. Marissa menoleh, ia memanyunkan bibirnya lalu mengedikkan kedua bahu. “Buktinya bisa ‘kan?” jawab Marissa singkat. Ia terlihat sangat ramah saat melayani para pembeli yang menurut Ruth sangat cerewet itu. Marissa bersikap profesional seolah dirinya sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut. “Hem, bagus deh.” Ujar Ruth sambil mengangguk pelan. Waktu sudah menunjukkan jam 1 siang. Ruth melirik jarum jam di pergelangan tangan kir
Marissa terlihat pucat saat ia turun dari lantai atas. Perempuan itu tidak memiliki semangat seperti hari-hari sebelumnya, “Kamu sakit?” tanya Ruth ketika meletakkan dua piring berisi omelet di atas meja makan.“I’m fine,” jawabnya singkat sambil menarik kursi dan duduk di hadapan sepiring makanan yang baru saja dihidangkan oleh Ruth.Ia memijat pangkal hidungnya setelah mencium aroma yang menurut Marissa sangat menyengat. Tangannya meraih segelas air putih dan, “Hoek,” ia merasa mual dan buru-buru membekap mulutnya sendiri.Marissa beranjak dari tempat duduk, ia berlari kecil menuju kamar mandi yang berada di lantai dasar. Sementara Ruth, ia tidak bisa melakukan apapun selain melihat Marissa yang tengah bingung dengan sendirinya.“Kenapa dengannya?” Ruth mengernyitkan dahi dengan kelopak mata dipicingkan.Ruth menyusul Marissa, ia mengetuk pintu kamar mandi untuk memastikan jika sahabatnya itu baik-baik saja. “Marissa, are you ok?” Terdengar bunyi kran air dinyalakan, sepertinya Mar
Marissa duduk termenung, ia melihat luar jendela dengan sebuah tespek yang ada dalam genggaman tangannya. Garis dua. Ya, ia positif hamil setelah mencoba lari dari dekapan Deniz. ‘Aku harus bagaimana?’ (tanya Marissa dalam hati).Gurat wajahnya terlihat mengeras, meski mau marah rasanya akan sia-sia. Marissa menahannya, menahan semua emosi yang hampir saja meledak di ujung ubun-ubun. Perlahan ia meremas celana berbahan spandek yang dikenakan, tapi kenapa tak juga membuat gemuruh di dadanya bisa reda saat itu juga?“Aku antar ke dokter, ya?” sentuhan di pundaknya membuyarkan lamunan Marissa seketika. Ia yang semula bertarung dengan pikirannya sendiri, mendadak harus mengendalikan perasaannya. Tanpa menoleh, Marissa menggeleng lemah. Tatapannya nanar ke luar jendela seakan ia tidak ingin terusik oleh apapun.“Biar bisa memastikan jika kamu dan calon bayimu,” Marissa beranjak dari tempat duduknya, sehingga meninggalkan bunyi berdecit akibat pergesekan kaki kursi dengan lantai keramik
Untuk apa pulang, jika tidak ada ruang untuk berbagi. Gempitanya redam setelah apa yang diinginkannya terkabul dengan mudah, tapi kenapa Marissa seakan tidak suka. Ia meremas kertas yang beberapa waktu lalu sampai ke tangannya. “Marissa,”Lekas ia mengangkat tangan kanannya, menandakan jika Marissa tidak menerima bentuk protes atau apapun saat ini. Semesta memang lucu, ketika mempertemukan dua insan tanpa rasa menjadi sebuah asa. Begitu pula cara memisahkannya, hingga Marissa tidak bisa mengekspresikannya dengan tawa sekalipun. “Maafkan aku,” Ruth mundur kembali, ia berbalik arah dan meninggalkan Marissa dalam kesunyian. Ia sempat menoleh setelah berjalan beberapa langkah. Ruth melihatnya masih dalam posisi yang sama, Marissa mematung dengan tatapan yang— entah. Tanpa mediasi ataupun kehadirannya dalam persidangan. Pihak pengadilan langsung mengabulkan permohonan gugatan cerai yang dilayangkan beberapa waktu lalu, tapi kenapa Marissa tidak terlihat senang atau bahagia? ‘Kamu pas
Srettt ….!Suara kartu kredit unlimited digesek tanpa ragu. Ruth meniup napas dari arah mulut untuk meredam gejolak emosi yang tiba-tiba saja membuat kepalanya hampir meledak. Tagihan yang tertera di atas nota saat ia menghadap meja resepsionis rumah sakit mengharuskannya mendapatkan uang yang tidak sedikit dalam waktu singkat.“Berapa nomor aksesnya?” tanya Ruth seakan tidak memperdulikan kondisi Marissa yang menahan sakit. Dengan kesadaran yang sisa separuh, Marissa melirik pada tangan Ruth yang tengah memegang black card miliknya. “Cepat Marissa! Sudah tidak ada waktu lagi, demi bayi yang ada dalam kandunganmu.” Kata Ruth yang mendesaknya di hadapan perawat dan dokter obgyn.“Nona,” salah satu perawat mencoba untuk menghentikan aksi bar-bar Ruth yang dinilai anarkis pada pasien mereka.“Jangan sekalipun menghalangi! Kalau tidak, maka pasien ini urung melakukan tindakan operasi.” Ancam Ruth tidak main-main.“R-Ruth,” sepotong kata itu terdengar serak di dalam ruangan operasi.Ruth
“Ruth? Ruth Asmeer Khalif?” Deniz mengulang ucapan dari resepsionis rumah sakit dengan dahi berkerut.Ia menoleh ke samping di mana Sam tengah berdiri di sisinya. Sam menggeleng saat kedua mata mereka saling bersirobok. “Apa Tuan muda mengenalnya?” tanya Sam dengan setengah berbisik.Deniz menggeleng lemah, “Tidak.” Jawabnya singkat sambil memasang wajah penuh kekecewaan.Deniz tiba di kota Adana tepat menjelang malam hari, musim dingin sempat menunda penerbangannya ke kota tersebut hampir dua jam. Ia yang baru menginjakkan kaki ke kota wisata tersebut langsung menuju ke rumah sakit swasta dengan petunjuk Sam.“Bekukan!”“Tapi Tuan muda,”“Tidak ada kata— tapi. Kamu mau mereka menguras uangku begitu saja?” Deniz membalikkan badan dan langsung mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Sam.“Tidak Tuan, maafkan saya.” Sam menelan salivanya dengan pandangan tak tenang.Sam menghela napas perlahan setelah Deniz menurunkan jari telunjuk dari hadapannya. Ia melihat pria itu berkac
Hampir 6 tahun Marissa terbiasa hidup berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat yang lain. Sengaja ia memilih hidup terpisah dengan Ruth sejak kejadian di malam itu, Marissa mencoba peruntungan baru dalam kehidupannya.“Tapi kamu akan membutuhkan tenaga orang lain untuk membantu merawat putrimu,” saran Ruth waktu itu.“Tidak, aku bisa sendiri Ruth.” Jawabnya tanpa ragu sedikitpun.“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi dengan modal yang tidak seberapa besar ini, bagaimana kamu akan menghidupi putrimu Marissa?” “Aku bisa, tenang saja.” Ucapan Marissa seperti keputusan yang mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Dan Ruth pun tidak bisa berbuat apapun selain mengiyakan, lalu ia meninggalkan Marissa dan putrinya pada sebuah rumah kecil di pinggir kota Adana.“Huft, ….” Marissa memegang buku tabungan dengan helaan napas kuat.Perempuan itu duduk di meja makan setelah ia memeriksa nominal dalam rekeningnya. “Tinggal segini, aku harus mencari kerja tambahan.” Marissa bermonolog dengan dir
“Aku tidak berbohong kepadamu, kamu tahu itu bukan?” tatapannya begitu tajam, seakan ia tidak melepas mangsanya kali ini.“Deniz, di sini kita akan bersenang-senang. Kenapa kamu ingin mengerjai perempuan ini?” bisik pria yang duduk di tengah sofa atau lebih tepatnya berada tepat di samping Deniz.Tentu saja kedua pria yang datang bersama Deniz tidak mengetahui hubungan di antara mereka berdua. “Jangan keterlaluan begini,” lanjut pria tersebut masih dengan setengah berbisik.Meski tidak mendapatkan respon dari Deniz, setidaknya mereka berusaha untuk mencegah sikap Deniz yang dinilai sedikit keterlaluan. “Bukankah kamu sudah terbiasa menghadapi klien seperti kami karena ini adalah pekerjaanmu?” ujar Deniz yang tidak mengalihkan pandangan sedikitpun.Marissa menelan salivanya, ia terpaku sejenak. “Katakan, apa yang harus saya lakukan?” Raut wajahnya terlihat tidak santai, Marissa merasa sedang dijebak. Setelah proses pelarian yang dilakukannya, kenapa ia bertemu dengan Deniz di tempat