Hampir 6 tahun Marissa terbiasa hidup berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat yang lain. Sengaja ia memilih hidup terpisah dengan Ruth sejak kejadian di malam itu, Marissa mencoba peruntungan baru dalam kehidupannya.“Tapi kamu akan membutuhkan tenaga orang lain untuk membantu merawat putrimu,” saran Ruth waktu itu.“Tidak, aku bisa sendiri Ruth.” Jawabnya tanpa ragu sedikitpun.“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi dengan modal yang tidak seberapa besar ini, bagaimana kamu akan menghidupi putrimu Marissa?” “Aku bisa, tenang saja.” Ucapan Marissa seperti keputusan yang mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Dan Ruth pun tidak bisa berbuat apapun selain mengiyakan, lalu ia meninggalkan Marissa dan putrinya pada sebuah rumah kecil di pinggir kota Adana.“Huft, ….” Marissa memegang buku tabungan dengan helaan napas kuat.Perempuan itu duduk di meja makan setelah ia memeriksa nominal dalam rekeningnya. “Tinggal segini, aku harus mencari kerja tambahan.” Marissa bermonolog dengan dir
“Aku tidak berbohong kepadamu, kamu tahu itu bukan?” tatapannya begitu tajam, seakan ia tidak melepas mangsanya kali ini.“Deniz, di sini kita akan bersenang-senang. Kenapa kamu ingin mengerjai perempuan ini?” bisik pria yang duduk di tengah sofa atau lebih tepatnya berada tepat di samping Deniz.Tentu saja kedua pria yang datang bersama Deniz tidak mengetahui hubungan di antara mereka berdua. “Jangan keterlaluan begini,” lanjut pria tersebut masih dengan setengah berbisik.Meski tidak mendapatkan respon dari Deniz, setidaknya mereka berusaha untuk mencegah sikap Deniz yang dinilai sedikit keterlaluan. “Bukankah kamu sudah terbiasa menghadapi klien seperti kami karena ini adalah pekerjaanmu?” ujar Deniz yang tidak mengalihkan pandangan sedikitpun.Marissa menelan salivanya, ia terpaku sejenak. “Katakan, apa yang harus saya lakukan?” Raut wajahnya terlihat tidak santai, Marissa merasa sedang dijebak. Setelah proses pelarian yang dilakukannya, kenapa ia bertemu dengan Deniz di tempat
“Siapa kamu? Kenapa berani membentakku?” Mike yang semula terdiam kini membalas dengan tatapan yang dingin.Dengan langkah perlahan, Deniz menuruni anak tangga. Ia membuang rokok filter yang masih tersisa banyak, lalu berhenti tepat di hadapan Mike.“Kamu tidak perlu tahu siapa aku,” dengan santai Deniz menjawab.Sementara itu, kedua kolega bisnis yang sejak awal menemaninya telah pergi setelah kejadian Marissa yang dramatis. Kolega bisnis sekaligus teman baik Deniz itu sangat menyayangkan sikap Deniz yang berlebihan, hingga Deniz harus memberikan alasan pada yang tepat. “Aku mengenalnya, dia pantas mendapatkan semua itu.” Tetap saja Carlos dan temannya tidak membenarkan permasalahan pribadi yang terjadi di antara keduanya.“Ada masalah apa dengan Tuan? Kenapa repot-repot mengurusi urusan kami?” tanya Mike yang menyadari, jika pria di hadapannya adalah salah satu dari tamu yang telah memesan jasa— Marissa.“Jika ada kaitannya dengan perempuan itu, maka urusanmu akan menjadi urusanku.”
“Ke mana saja kalian, hah?!” cecar Ruth saat melihat Marissa dan Mike datang di waktu yang sama. Marissa berhenti di sebelah lemari brankas yang terdapat di sudut lorong rumah sakit, napasnya terlihat memburu. “Sorry, dia mabuk.” Jawab Mike sambil melirik ke arah Marissa. “Hah, kok bisa?” Ruth mengernyitkan dahinya, lalu menatap Mike dan Marissa secara bergantian. Bagi Ruth, saat ini bukan waktunya bercanda. Ia harus mendapatkan penjelasan yang tepat sebagai penebus rasa bersalah mereka. “Aku kerja sama dia malam ini, Ruth.” Sahut Marissa setelah napasnya kembali terkendali. “What?!” Ruth sedikit memekik. “Jangan terkejut seperti itu, kamu tahu kan kalau aku butuh duit.” Ujar Marissa yang merasa tidak melakukan kesalahan sedikitpun. “Kamu masih punya aku, Marissa. Bukankah kita sepakat akan mengurus Elizabeth bersama?” ia protes akan tindakan Marissa yang menurutnya sudah kelewat batas. “Aku masih sehat, Ruth. Aku bisa cari uang sendiri dan aku tidak mau merepotkan siapapun,”
Tangisnya memang sudah mengering, tapi rasa sesak di dada masih memenuhi ruang hati Marissa. Ia duduk di sebelah bed pasien sambil memegang tangan putrinya. Tatapan matanya kosong, bahkan ia tidak menyadari saat Ruth datang menyapa.“Mungkin ini adalah saatnya,” Ruth duduk di sampingnya, ia memegang pundak Marissa dengan lembut.Marissa menoleh dengan dahi berkerut, “Untuk ….?” tanya Marissa seiring dengan kedua alisnya yang saling bertautan.“Mengatakan yang sebenarnya pada, Deniz.” Jawab Ruth tanpa ragu.Marissa memalingkan wajahnya ke samping, lalu ia kembali menatap Ruth dengan sengit. “Jangan berharap untuk itu. Aku masih bisa mengurus putriku,” “Jangan keras kepala, Marissa. Ini juga kewajiban Deniz sebagai ayahnya, kamu tidak bisa melakukannya sendirian seperti ini terus menerus.” Kata Ruth agar Marissa berterus terang pada Deniz tentang putrinya— Elizabeth.Keduanya saling menatap dengan lekat, “Tidak akan pernah,” garis wajah Marissa terlihat mengeras. Perempuan itu merasaka
Kasur dan bantal yang empuk membuat Marissa terbuai dalam mimpinya, cukup lama. Ia begitu berat ketika hendak membuka kelopak matanya, “Shit,” gumam Marissa sambil memegang kepala bagian kanan.“Pelan-pelan saja, tidak perlu dipaksakan.” Suara berat itu membuat Marissa tergagap. Buru-buru ia mengumpulkan kesadaran penuh dan membetulkan posisi duduknya di atas ranjang berukuran king.“A-Aku di mana?” matanya melebar saat menatap ke arah mantan suaminya— Deniz Anzel Ghazy.“Kamu tidak mengucapkan terima kasih padaku?” Deniz duduk di sebuah kursi sofa dan menghadap tepat ke arah ranjang di mana Marissa masih berada di atasnya.Perempuan itu mengerutkan dahinya, “Untuk apa?” ia menarik selimutnya lebih tinggi sampai ke batas dada.“Kalau kamu tidak aku tolong, aku tidak tahu bagaimana keadaanmu sekarang ini. Tenang saja, aku tidak macam-macam denganmu.” Kata Deniz saat beranjak dari tempat duduknya, ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan yang dikenakan.Marissa bingung, ia
DUG!Marissa menendang tubuh Deniz, tepat di area pangkal pahanya. Pria itu mundur sambil memegang bagian yang sakit. Marissa pun bergegas beranjak dari tempat tidur sebelum Deniz menyerangnya kembali.“M-Marissa! Aduh!” pekik pria itu dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Marissa.“Sudah sin*ting kamu Deniz,” ucapnya dengan sedikit berteriak, Marissa menyambar kimono yang baru saja dilepas paksa oleh mantan suaminya.Marissa membuka pintu dengan kasar, lalu bergegas keluar dari dalam kamar. Ia menabrak Miriam yang tengah berjalan mendekat setelah mendengar kegaduhan.“Nona Marissa,” Miriam terkejut dengan kedatangan Marissa yang terburu-buru.Wajahnya berubah menjadi panik, “Miriam tolong aku kali ini saja. Biarkan aku pergi, aku mohon ….” ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “T-Tapi ada apa Nona?” tanya Miriam dengan mengeryitkan dahinya.“Tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Miriam. Aku, aku ….” “Tahan dia Miriam! Dia telah membawa kabur uangku,” Deniz be
“Sudah impas bukan?” Deniz mengernyitkan dahinya, ia menatap Marissa dengan penuh tanda tanya. “Aku tanya apa, kamunya jawab apa Marissa?” Deniz mengatur posisinya yang setengah duduk di atas ranjang. Ia melihat Marissa masih bergelung dengan selimut, perempuan yang sempat menjadi istrinya tersebut berbaring menghadap ke arahnya dengan ganjalan bantal di kepala. “Bukankah kamu memberiku uang untuk melakukan ini?” ia menatap Deniz tanpa takut sedikitpun.“Marissa,” gumam Deniz sambil menyugar rambutnya dengan jari tangan, pria itu gelisah.Deniz menghela napas dengan kasar setelah mengusap wajahnya, lalu ia menatap Marissa dengan perasaan bersalah. “Aku memintamu untuk rujuk, bukan membahas masalah yang lain.” “Oh itu,” Marissa merubah posisinya, ia kini telentang dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.“Kenapa cuma, oh? Apa tidak ada jawaban yang lain?” Deniz mendekat, pria itu merebahkan tubuhnya di samping Marissa.Deniz menopangkan sebelah tangannya di sisi kepa