Kasur dan bantal yang empuk membuat Marissa terbuai dalam mimpinya, cukup lama. Ia begitu berat ketika hendak membuka kelopak matanya, “Shit,” gumam Marissa sambil memegang kepala bagian kanan.“Pelan-pelan saja, tidak perlu dipaksakan.” Suara berat itu membuat Marissa tergagap. Buru-buru ia mengumpulkan kesadaran penuh dan membetulkan posisi duduknya di atas ranjang berukuran king.“A-Aku di mana?” matanya melebar saat menatap ke arah mantan suaminya— Deniz Anzel Ghazy.“Kamu tidak mengucapkan terima kasih padaku?” Deniz duduk di sebuah kursi sofa dan menghadap tepat ke arah ranjang di mana Marissa masih berada di atasnya.Perempuan itu mengerutkan dahinya, “Untuk apa?” ia menarik selimutnya lebih tinggi sampai ke batas dada.“Kalau kamu tidak aku tolong, aku tidak tahu bagaimana keadaanmu sekarang ini. Tenang saja, aku tidak macam-macam denganmu.” Kata Deniz saat beranjak dari tempat duduknya, ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan yang dikenakan.Marissa bingung, ia
DUG!Marissa menendang tubuh Deniz, tepat di area pangkal pahanya. Pria itu mundur sambil memegang bagian yang sakit. Marissa pun bergegas beranjak dari tempat tidur sebelum Deniz menyerangnya kembali.“M-Marissa! Aduh!” pekik pria itu dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Marissa.“Sudah sin*ting kamu Deniz,” ucapnya dengan sedikit berteriak, Marissa menyambar kimono yang baru saja dilepas paksa oleh mantan suaminya.Marissa membuka pintu dengan kasar, lalu bergegas keluar dari dalam kamar. Ia menabrak Miriam yang tengah berjalan mendekat setelah mendengar kegaduhan.“Nona Marissa,” Miriam terkejut dengan kedatangan Marissa yang terburu-buru.Wajahnya berubah menjadi panik, “Miriam tolong aku kali ini saja. Biarkan aku pergi, aku mohon ….” ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “T-Tapi ada apa Nona?” tanya Miriam dengan mengeryitkan dahinya.“Tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Miriam. Aku, aku ….” “Tahan dia Miriam! Dia telah membawa kabur uangku,” Deniz be
“Sudah impas bukan?” Deniz mengernyitkan dahinya, ia menatap Marissa dengan penuh tanda tanya. “Aku tanya apa, kamunya jawab apa Marissa?” Deniz mengatur posisinya yang setengah duduk di atas ranjang. Ia melihat Marissa masih bergelung dengan selimut, perempuan yang sempat menjadi istrinya tersebut berbaring menghadap ke arahnya dengan ganjalan bantal di kepala. “Bukankah kamu memberiku uang untuk melakukan ini?” ia menatap Deniz tanpa takut sedikitpun.“Marissa,” gumam Deniz sambil menyugar rambutnya dengan jari tangan, pria itu gelisah.Deniz menghela napas dengan kasar setelah mengusap wajahnya, lalu ia menatap Marissa dengan perasaan bersalah. “Aku memintamu untuk rujuk, bukan membahas masalah yang lain.” “Oh itu,” Marissa merubah posisinya, ia kini telentang dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.“Kenapa cuma, oh? Apa tidak ada jawaban yang lain?” Deniz mendekat, pria itu merebahkan tubuhnya di samping Marissa.Deniz menopangkan sebelah tangannya di sisi kepa
“Kemana saja sih kamu?” tarik Ruth saat Marissa datang terlambat, lebih tepatnya sangat-sangat terlambat.“Apa aku sudah melewatkan sesuatu?” tanya Marissa dengan cemas, keringat dingin tiba-tiba merayap di beberapa titik pelipisnya.Ia tidak peduli meski Ruth sedang kesal padanya saat ini. Marissa hanya mengkhawatirkan kondisi putrinya yang sejak kemarin ditinggalkan begitu saja. Ada perasaan bersalah dalam diri Marissa, apalagi dalam situasi seperti ini, dirinya malah asyik berkencan dengan mantan suaminya.“Kenapa dia di sini?” Ruth memperhatikan pria berwajah dingin itu dengan seksama, lirikannya terlihat sangat pedas.“Aku akan cerita nanti, bagaimana kondisi putriku?” Marissa mendekat lalu berbisik pada Ruth agar Deniz tidak mendengarkan percakapan antara dirinya dan Ruth.Deniz berdiri dengan angkuh di belakang Marissa, ia seperti seorang bodyguard baginya. Pria itu tampak acuh tak acuh, meskipun dalam hatinya sangat ingin tahu tentang kabar istrinya yang menghilang 6 tahun lal
“Deniz, begini ….” Marissa duduk di sebelah mantan suaminya dengan wajah cemas. “Aku sudah terlalu lama pergi dan aku rasa, aku belum bisa ikut pulang bersamamu,” lanjutnya dengan suara bergetar. Deniz menatapnya dengan kerutan di kening, “Kenapa? Apa karena ada ayah dari gadis kecil itu atau kekasihmu?”“B-Bukan. Sudah berapa kali aku bilang, kalau aku tidak punya kekasih atau suami. Kenapa kamu terus saja mendesakku? Bukankah aku sudah melakukan apa yang kamu perintahkan? Belum puas juga kah?” jawaban panjang dari Marissa membuat Deniz menghembuskan napas panjang. Pria itu menutup layar tab yang baru saja dinyalakan. Ia meletakkan tab tersebut ke atas meja yang berada di samping tempat mereka duduk. “Aku butuh penjelasan yang spesifik,”“Aku sudah bicara jujur denganmu, aku harus menyelesaikan urusanku terlebih dahulu.” Tatapan Marissa begitu memelas. Sedangkan Deniz, ia memilih untuk menyandarkan punggungnya ke bantalan kursi yang ada di ruang tunggu. Kepalanya sedikit pusing
Brak!Sebuah kursi melayang tepat di samping dokter Ramon. Pria itu tidak bergeming sedikitpun, seakan ia sengaja untuk tidak menghindar dari amukan Sam— teman lamanya.“Teganya kau membunuh keluargaku? Apa salahku padamu hingga kau melakukan ini Ramon?” Sam mengarahkan jari telunjuknya pada dokter Ramon, ia menatap dokter tersebut dengan sengit.Deniz yang berdiri di samping pintu ruangan Alex hanya memandang tanpa melerai, bahkan ia pun mencegah Mark untuk melakukan hal itu. “Biarkan mereka menyelesaikan urusannya,” kata Deniz dengan setengah berbisik.Mark mengurungkan langkahnya dan kembali berdiri di samping Deniz, pria muda itu mengangguk tanda mengerti. “Baik, Tuan muda.” Jawabnya dengan sopan.“Kenapa diam? JAWAB!” Sam yang sudah tersulut emosi mendekat dan meraih kerah kemeja yang dikenakan oleh dokter Ramon. Tubuh dokter Ramon tertarik ke atas mengikuti tarikan Sam yang mencengkram erat bagian lehernya. Ia tetap bungkam dengan tatapan kosong, sepertinya gertakan dari Sam ti
Ini tentang perasaan yang awalnya hanya biasa saja. Semakin keadaan melarangnya untuk jatuh cinta, semakin hawa naf*su membuai hasrat yang selama ini ditahan. Terlalu munafik jika harus berbohong, sampai kapanpun takdir tidak akan pernah salah arah. “Mark,” panggil Deniz saat duduk sendiri di teras balkon yang menghadap halaman penthouse miliknya. “Ya, Tuan,” jawab Mark dengan cepat. Tangannya mengepal di atas paha dengan pandangan kosong, Deniz membiarkan kopinya dingin dengan sendirinya. Ia masih memikirkan kejadian tempo hari saat pertemuan terakhirnya dengan Marissa. Gadis itu masih kalah cantik jika dibandingkan dengan perempuan yang pernah dekat dengannya, termasuk adik dari Kevin Aldous Benneth— Catherine. “Sudah ada keputusan dari rumah sakit tentang pengajuan kemarin?” tanya Deniz tanpa menoleh. Ia memainkan jarinya seolah cemas, “Kenapa lama sekali?” lanjutnya yang seperti memutar sebuah pulpen di tangan. “Masih belum Tuan, mungkin masih proses.” Jawab Mark dengan angg
“Menyingkirlah dariku atau,” “Atau apa? Kau akan berteriak minta tolong?” jawab Deniz dengan sebelah alis terangkat. Marissa terpaksa menghentikan kalimatnya saat Deniz menyela, ia menatap pria itu dengan tanda tanya yang cukup besar. Kenapa mantan suaminya tersebut masih saja mengusik dirinya, meski mereka berdua telah berpisah sejak 6 tahun lalu. “Teriak lah yang kencang, aku tidak takut sedikitpun.” Ujar Deniz seolah menantang nyali Marissa. “Tidak perlu repot-repot mengusirku, Marissa. Aku akan pergi tanpa kau meminta padaku untuk kedua kalinya,” Deniz mengurai jarak di antara mereka, ia tidak melepas sedikitpun pandangan matanya dari Marissa. “Dasar pria aneh,” gerutu Marissa saat Deniz telah menjauh darinya. Ia menepuk pelan kedua lengannya seolah Marissa tengah membersihkan sesuatu yang baru saja menyentuh kulitnya. Tiba-tiba Deniz menghentikan langkahnya, ia menengok perlahan ke arah belakang. Marissa tergagap, untung saja ia bisa mengendalikan sikapnya agar tidak terlih
"Seberapa kaya dirimu, Mas?" tanya Marissa saat keduanya tengah menikmati semilir angin di teras balkon bungalow. Pemandangan laut telah menyihir mereka untuk tetap berlama-lama di waktu menjelang siang hari. Matahari bersinar cukup terik, tapi tidak mengusik ketenangan mereka sedikitpun. Bahkan sekarang keduanya tengah menikmati segelas jus nanas untuk Marissa dan segelas wine untuk, Deniz. Deniz memanyunkan bibirnya ketika mendengar pertanyaan dari, Marissa. "Sangat kaya," jawabnya kemudian menyesap minumannya dengan penuh perasaan. "Sebesar apa? Kenapa keluarga Ghazy bisa masuk ke jajaran pengusaha sukses di rate 10 orang terkaya di dunia?" Marissa penasaran, ia ingin mendapatkan satu kisah tentang keluarga Ghazy dari mulut suaminya sendiri. "Kamu tidak akan bisa menghitungnya, apalagi dengan jari-jari lentik itu." Deniz menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke laut lepas yang ada di hadapannya. Marissa mengarahkan bola matanya ke samping dengan bibir dilipat k
Kaki jenjang sehalus susu itu berlari kencang menghampiri ombak yang menggulung di bibir pantai. Saat kaki indahnya basah karena sapuan air laut, Marissa tergelak senang. Tawanya begitu lebar hingga kelopak matanya hanya terlihat bagaikan garis melengkung.Deniz tersenyum tipis saat melihat perempuan cantik yang sedang menari dan berputar lincah itu sedang melambaikan tangan ke arahnya. Deniz membalasnya, hingga menampilkan deretan gigi putih rapi miliknya. Ia memilih untuk menikmati panorama senja dengan siluet Marissa yang menawan di hamparan pasir putih, bahagia; itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.Setelah memuaskan diri dengan hanya menatap presensi Marissa di tepi laut, Deniz yang mengenakan setelan casual pun menggulung celananya hingga batas betis dan berniat untuk ikut bergabung dengan istrinya. Sepertinya berlarian di atas pasir dan mengejar perempuan menawan di depannya dengan sebuah godaan adalah hal yang sangat menyenangkan saat ini, hin
“Really?” Marissa masih mematung di tempat, bola matanya hampir lepas dengan decak kagum menjadi-jadi.“Kamu belum pernah naik pesawat?” tanya Deniz saat langkah kakinya berhenti tepat di samping, Marissa.Marissa menoleh cepat, ia dengan wajahnya yang tercengang namun bagi Deniz apa yang dilihatnya sungguh menggemaskan. “Ini jet pribadi, Mas.” Jawabnya sangat antusias.“Iya, terus?” Deniz memiringkan kepalanya, nampak dua alisnya saling bertautan.“Kalau naik pesawat di bandara-bandara gitu sih udah biasa, Mas. Marissa kan belum pernah ngerasain naik pesawat pribadi model begini, apalagi ini adalah milik suaminya aku.” Gestur wajahnya berubah-ubah saat menjelaskan, kadang kelopaknya memicing serius, lalu berubah menjadi datar kemudian tergelak senang.Deniz menikmati pemandangan di hadapannya seperti sebuah mukjizat, baginya Marissa bukan hanya sebagai obat dalam hidupnya, namun perempuan itu adalah anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya. “Milik aku itu juga milik kamu, Sayang
"Jangan telat minum obat, Deniz! Apalagi sengaja untuk lupa," canda dokter Sunny. "Tenang saja Dok, kan sudah ada alarm original buat ingetin aku." Jawab Deniz dengan senyum simpulnya. "Alarm original?" ulang dokter Sunny sambil mengernyitkan keningnya. Deniz melirik Marissa yang duduk di sebelahnya, "Ini alarm original ku, Dok." Senggol Deniz pada lengan istrinya yang sejak datang memilih untuk diam dan tidak banyak bicara. "Idih, apaan sih?" ujar Marissa malu-malu. "Tapi ada benarnya lho, sejak kalian kembali rujuk, aura Deniz berubah menjadi semacam lampu mercusuar yang menerangi lautan lepas." Kata dokter Sunny dengan antusias. "Jokes Anda sungguh terlalu Dokter, segala lampu mercusuar dibawa-bawa ...." Deniz tergelak. "Aku tidak bohong, Deniz. Kamu sebelum kembali dengannya, jangankan rutin melakukan fisioterapi ataupun medical check up. Untuk obat pun kamu sengaja tidak mau menebusnya, padahal dari segi finansial seorang CEO perusahaan manufaktur terbesar di dunia,
Satu bulan berlalu, sejak masa fisioterapi yang dilakukan Deniz di London kala itu. Kini Deniz aktif melakukan olahraga rutin seperti jogging ringan untuk membantu mempercepat proses pemulihannya. Semua perubahan drastis itu tidak lepas dari peran Marissa yang menyiapkan makanan sehat untuk menyeimbangkan asupan yang masuk ke dalam tubuh, Deniz. "Mas, diminum dulu jusnya." Marissa membawakan satu gelas jus jeruk segar setelah Deniz datang dengan keringat penuh membasah hampir di seluruh tubuhnya. "Makasih Sayang," lalu Deniz menghabiskan jus jeruk di tangannya seperti onta yang sedang berada di tengah gurun Sahara. "Hm ...." jawab Marissa bergumam, tentu saja di bibir berpoles warna pink nude itu tidak lepas menarik garis senyuman. "Oh ya, Mas mau sarapan apa? Aku masakin bentar ya, setelah ini Mas mandi dulu. Kita ada janji lho sama dokter Sunny, aku tidak ingin Mas terlambat untuk itu." Lanjut Marissa yang hendak pergi ke arah dapur. "Eeeh .... tunggu dulu, mau ke mana Sa
Genap 3 Minggu mereka menghabiskan waktu di London, Inggris. Marissa dengan sabarnya mendampingi Deniz dalam segi pengobatan dan juga kesembuhan mentalnya. Seperti hari ini di mana Marissa menghabiskan waktu setengah harinya melatih Deniz untuk berjalan meskipun masih dengan bantuan tongkat penyangga. Merasa lelah setelah berputar di taman rumah sakit, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke dalam ruangan. Tak putus kata semangat Marissa lontarkan, "Bagus Mas, ya, terus .... pelan-pelan, kalau capek kita bisa berhenti dulu." Marissa memegang pinggang Deniz dengan erat, sementara tangan kiri suaminya dilingkarkan pada bahunya agar mereka bisa berjalan secara beriringan. "Kalimat kamu itu, bisa diralat nggak sih?" sahut Deniz dengan napas sedikit tersengal karena menahan nyeri di bagian sendinya. "Kalimat aku? Bagian yang mananya, Mas?" tanya Marissa dengan dua alis menukik tajam. "Kalau kalimat itu terucap lagi dari bibir kamu, bisa-bisa orang menyangka kalau kamu itu lagi a
Marissa masih terjaga saat jarum jam di dinding menunjukkan angka 11 malam. Ia melihat Deniz sudah tertidur pulas sejak kepulangan mereka 4 jam yang lalu. Marissa membuka kacamata minusnya, lalu meletakkan ke samping lembaran dokumen yang baru saja ia pelajari, Marissa harus memenuhi konsekuensinya untuk membantu mengembalikan data perusahaan milik suaminya. seperti yang diketahui sebelumnya data perusahaan yang Deniz pimpin telah bocor, akibat beberapa akses perusahaan manufaktur yang dipegang terakses oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Dipijatnya pangkal hidung yang terasa nyeri, "Kenapa tingkat keamanannya tidak berlapis? Padahal perusahaan ini begitu besar. Selama ini mereka fokus ngerjain apa aja sih? Bisa-bisanya data investor, kolega serta pemilik saham bisa kecolongan seperti ini." Monolog Marissa dengan helaan napas berat. Langkah kakinya menuntun Marissa menuju dapur apartemen, ia membuka satu botol Tequila dan menuangkannya ke dalam gelas kristal. Otaknya harus ri
Di kursi belakang, Marissa merebahkan bobot tubuh Deniz di atas kursi penumpang. Ia meminta agar Sam memberi mereka waktu sebentar. Berbekal beberapa lembar uang yang diberikan Marissa, Sam pun memilih untuk menunggu dua anak manusia yang tengah terbakar gelora itu di sebuah Coffee Shop. Menyesap kopinya dengan penuh hati-hati, Sam hanya bisa bergumam kala melihat SUV berwarna hitam di tepi parkir tengah bergoyang secara perlahan. Bibirnya berjengit menarik senyuman, lalu menggeleng kecil saat memikirkan apa yang telah terjadi di dalam sana. Kepulan asap yang keluar dari arah pods yang dihembuskan oleh Sam membuat perasaannya sedikit lega. Hingga tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda mereka yang ada di dalam mobil akan menyerah. "Harap maklum, Sam. Mereka sudah menahannya cukup lama ...." monolog Sam pada dirinya sendiri. Dan suara geram tertahan itu berkali-kali lolos dari mulut Deniz saat Marissa mencari kepuasan di bawah sana. Dengan posisinya yang mendominasi di
"Sakit, Sayang ...." Peluh Deniz menetes dari keningnya, ia menahan bobot tubuhnya di tiang penyangga yang terdapat di kedua sisi tangannya. Hampir saja menyerah ketika dirinya sudah terlalu nyaman duduk di kursi roda. Penyakit tidak percaya dirinya muncul begitu saja saat dua kakinya tidak lagi mampu berpijak dengan tepat di atas lantai. "Ada aku, Mas. Jangan menyerah!" bisik Marissa sambil mengangkat sebelah tangan suaminya dan meletakkan di bahu agar Deniz tidak terjatuh. Deniz menggeleng lemah, deru napasnya tidak teratur. "Mas duduk dulu, istirahat lah! Aku ambil minum sebentar, Mas." Marissa pergi ke sudut ruang setelah mendudukkan Deniz di sebuah sofa untuk mengambil satu botol air mineral. "Jangan dipaksa, pelan-pelan saja Nyonya Sawyer." Ucap salah satu perawat yang menghampirinya. Marissa menoleh, ia terlihat sangat tegang. "Oh, i-iya." Kata Marissa sambil mengangguk ragu. "Butuh waktu, Nyonya harus bersabar saat mendampingi tuan Ghazy." Sambung perawat di ha