Ini tentang perasaan yang awalnya hanya biasa saja. Semakin keadaan melarangnya untuk jatuh cinta, semakin hawa naf*su membuai hasrat yang selama ini ditahan. Terlalu munafik jika harus berbohong, sampai kapanpun takdir tidak akan pernah salah arah. “Mark,” panggil Deniz saat duduk sendiri di teras balkon yang menghadap halaman penthouse miliknya. “Ya, Tuan,” jawab Mark dengan cepat. Tangannya mengepal di atas paha dengan pandangan kosong, Deniz membiarkan kopinya dingin dengan sendirinya. Ia masih memikirkan kejadian tempo hari saat pertemuan terakhirnya dengan Marissa. Gadis itu masih kalah cantik jika dibandingkan dengan perempuan yang pernah dekat dengannya, termasuk adik dari Kevin Aldous Benneth— Catherine. “Sudah ada keputusan dari rumah sakit tentang pengajuan kemarin?” tanya Deniz tanpa menoleh. Ia memainkan jarinya seolah cemas, “Kenapa lama sekali?” lanjutnya yang seperti memutar sebuah pulpen di tangan. “Masih belum Tuan, mungkin masih proses.” Jawab Mark dengan angg
“Menyingkirlah dariku atau,” “Atau apa? Kau akan berteriak minta tolong?” jawab Deniz dengan sebelah alis terangkat. Marissa terpaksa menghentikan kalimatnya saat Deniz menyela, ia menatap pria itu dengan tanda tanya yang cukup besar. Kenapa mantan suaminya tersebut masih saja mengusik dirinya, meski mereka berdua telah berpisah sejak 6 tahun lalu. “Teriak lah yang kencang, aku tidak takut sedikitpun.” Ujar Deniz seolah menantang nyali Marissa. “Tidak perlu repot-repot mengusirku, Marissa. Aku akan pergi tanpa kau meminta padaku untuk kedua kalinya,” Deniz mengurai jarak di antara mereka, ia tidak melepas sedikitpun pandangan matanya dari Marissa. “Dasar pria aneh,” gerutu Marissa saat Deniz telah menjauh darinya. Ia menepuk pelan kedua lengannya seolah Marissa tengah membersihkan sesuatu yang baru saja menyentuh kulitnya. Tiba-tiba Deniz menghentikan langkahnya, ia menengok perlahan ke arah belakang. Marissa tergagap, untung saja ia bisa mengendalikan sikapnya agar tidak terlih
Glek! Ruth menelan salivanya, ia duduk seperti patung. Perempuan modis berambut cepak tersebut tidak menyerukan suara, hanya ekspresinya memperlihatkan keterkejutan. Sementara itu Marissa berdiri di samping jendela, lebih tepatnya ia menyandarkan sebelah pinggangnya ke arah meja. Wajahnya tertekuk lesu, ibu satu anak itu menghembuskan napas dengan kasar berulang-ulang. “S-Sudah aku bilang, terus terang saja sama Deniz jika Eliza adalah putrinya,” Ruth mengambil segelas air dan meminumnya, air itu perlahan tumpah dan mengenai baju yang dikenakan. Ruth tidak memungkiri jika saat ini dirinya bingung dan tidak bisa melakukan apapun, selain memberi saran pada Marissa untuk berterus terang pada ayah Elizabeth. “Ruth, aku mohon jangan membahas masalah itu saat ini.” Ujar Marissa dengan perasaan gelisah. “Jika tidak ada cara lain lagi, apa yang harus kamu lakukan? Kamu akan lebih bersalah andaikata menutupi identitas Eliza seumur hidup,” Ruth berbicara kembali setelah meletakkan gelasny
“Aku tidak bisa kembali ke rumah sakit, jika kamu tidak mengatakan kebenarannya,” Marissa tiba-tiba saja meraih kerahasiaan kemeja Mark, ia mencengkramnya dengan sangat kuat. Mark terkejut, ia belum siap menghadapi serangan dari mantan majikannya. Pria itu tidak melawan, ia membiarkan Marissa melakukan apapun padanya. Meskipun sebenarnya Mark tidak tahu, apa maksud dan tujuan Marissa saat ini. “Kenapa diam? JAWAB!” gertak Marissa dengan wajah marah. Mata indah itu berubah menjadi seperti monster yang siap menerkam mangsanya. Tapi Mark tidak gentar sedikitpun, ia tetap bungkam sampai Marissa menjelaskan apa yang diinginkan. Hingga beberapa detik kemudian, ia merasa Mark tidak bereaksi. Marissa melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar, sehingga tubuh Mark sedikit oleng ke belakang. “Duduk dulu Nona,” suara Mark membuat Marissa menoleh dengan cepat. Kedua alisnya saling bertautan, ia memandang Mark dengan tatapan tak suka. “Kamu menyuruhku duduk dalam keadaan seperti ini?” Mar
Diremasnya sisa tanah yang mulai tumbuh rumput yang meninggalkan jejak embun. Marissa tidak menangis, bersedih atau terpukul. Perempuan itu menunjukkan rasa kecewa yang mendalam saat Deniz membawa dirinya ke suatu tempat.Semula ia merasa heran, kenapa Mark mengarahkan kemudi mobilnya ke area pemakaman umum. Marissa menurunkan kaca mobil separuh, ia melihat jalanan yang dilaluinya dengan tanda tanya besar.‘Jangan-jangan ….?’ (tebaknya dalam hati).“Kamu sengaja membuat Joshua ma*ti di tangan Kevin bukan?” Marissa berdiri, lalu menunjuk Deniz tepat di depan wajahnya.Deniz tidak bergeming, ia berhasil menangkap tangan Marissa yang hampir saja melayangkan tamparan ke sisi wajahnya. “Jangan buru-buru menuduhku,” ucap Deniz dengan tatapan tajam.Marissa yang tidak bisa membendung emosinya sedikit melunak, ia pun menurunkan tangannya. “Lalu apa alasanmu dengan ini?” Marissa menunjuk makam Joshua yang terlihat masih baru, tanah dan bunga yang ditaburkan di atasnya masih basah dan segar.“K
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i