Tangisnya memang sudah mengering, tapi rasa sesak di dada masih memenuhi ruang hati Marissa. Ia duduk di sebelah bed pasien sambil memegang tangan putrinya. Tatapan matanya kosong, bahkan ia tidak menyadari saat Ruth datang menyapa.“Mungkin ini adalah saatnya,” Ruth duduk di sampingnya, ia memegang pundak Marissa dengan lembut.Marissa menoleh dengan dahi berkerut, “Untuk ….?” tanya Marissa seiring dengan kedua alisnya yang saling bertautan.“Mengatakan yang sebenarnya pada, Deniz.” Jawab Ruth tanpa ragu.Marissa memalingkan wajahnya ke samping, lalu ia kembali menatap Ruth dengan sengit. “Jangan berharap untuk itu. Aku masih bisa mengurus putriku,” “Jangan keras kepala, Marissa. Ini juga kewajiban Deniz sebagai ayahnya, kamu tidak bisa melakukannya sendirian seperti ini terus menerus.” Kata Ruth agar Marissa berterus terang pada Deniz tentang putrinya— Elizabeth.Keduanya saling menatap dengan lekat, “Tidak akan pernah,” garis wajah Marissa terlihat mengeras. Perempuan itu merasaka
Kasur dan bantal yang empuk membuat Marissa terbuai dalam mimpinya, cukup lama. Ia begitu berat ketika hendak membuka kelopak matanya, “Shit,” gumam Marissa sambil memegang kepala bagian kanan.“Pelan-pelan saja, tidak perlu dipaksakan.” Suara berat itu membuat Marissa tergagap. Buru-buru ia mengumpulkan kesadaran penuh dan membetulkan posisi duduknya di atas ranjang berukuran king.“A-Aku di mana?” matanya melebar saat menatap ke arah mantan suaminya— Deniz Anzel Ghazy.“Kamu tidak mengucapkan terima kasih padaku?” Deniz duduk di sebuah kursi sofa dan menghadap tepat ke arah ranjang di mana Marissa masih berada di atasnya.Perempuan itu mengerutkan dahinya, “Untuk apa?” ia menarik selimutnya lebih tinggi sampai ke batas dada.“Kalau kamu tidak aku tolong, aku tidak tahu bagaimana keadaanmu sekarang ini. Tenang saja, aku tidak macam-macam denganmu.” Kata Deniz saat beranjak dari tempat duduknya, ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan yang dikenakan.Marissa bingung, ia
DUG!Marissa menendang tubuh Deniz, tepat di area pangkal pahanya. Pria itu mundur sambil memegang bagian yang sakit. Marissa pun bergegas beranjak dari tempat tidur sebelum Deniz menyerangnya kembali.“M-Marissa! Aduh!” pekik pria itu dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Marissa.“Sudah sin*ting kamu Deniz,” ucapnya dengan sedikit berteriak, Marissa menyambar kimono yang baru saja dilepas paksa oleh mantan suaminya.Marissa membuka pintu dengan kasar, lalu bergegas keluar dari dalam kamar. Ia menabrak Miriam yang tengah berjalan mendekat setelah mendengar kegaduhan.“Nona Marissa,” Miriam terkejut dengan kedatangan Marissa yang terburu-buru.Wajahnya berubah menjadi panik, “Miriam tolong aku kali ini saja. Biarkan aku pergi, aku mohon ….” ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “T-Tapi ada apa Nona?” tanya Miriam dengan mengeryitkan dahinya.“Tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Miriam. Aku, aku ….” “Tahan dia Miriam! Dia telah membawa kabur uangku,” Deniz be
“Sudah impas bukan?” Deniz mengernyitkan dahinya, ia menatap Marissa dengan penuh tanda tanya. “Aku tanya apa, kamunya jawab apa Marissa?” Deniz mengatur posisinya yang setengah duduk di atas ranjang. Ia melihat Marissa masih bergelung dengan selimut, perempuan yang sempat menjadi istrinya tersebut berbaring menghadap ke arahnya dengan ganjalan bantal di kepala. “Bukankah kamu memberiku uang untuk melakukan ini?” ia menatap Deniz tanpa takut sedikitpun.“Marissa,” gumam Deniz sambil menyugar rambutnya dengan jari tangan, pria itu gelisah.Deniz menghela napas dengan kasar setelah mengusap wajahnya, lalu ia menatap Marissa dengan perasaan bersalah. “Aku memintamu untuk rujuk, bukan membahas masalah yang lain.” “Oh itu,” Marissa merubah posisinya, ia kini telentang dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.“Kenapa cuma, oh? Apa tidak ada jawaban yang lain?” Deniz mendekat, pria itu merebahkan tubuhnya di samping Marissa.Deniz menopangkan sebelah tangannya di sisi kepa
“Kemana saja sih kamu?” tarik Ruth saat Marissa datang terlambat, lebih tepatnya sangat-sangat terlambat.“Apa aku sudah melewatkan sesuatu?” tanya Marissa dengan cemas, keringat dingin tiba-tiba merayap di beberapa titik pelipisnya.Ia tidak peduli meski Ruth sedang kesal padanya saat ini. Marissa hanya mengkhawatirkan kondisi putrinya yang sejak kemarin ditinggalkan begitu saja. Ada perasaan bersalah dalam diri Marissa, apalagi dalam situasi seperti ini, dirinya malah asyik berkencan dengan mantan suaminya.“Kenapa dia di sini?” Ruth memperhatikan pria berwajah dingin itu dengan seksama, lirikannya terlihat sangat pedas.“Aku akan cerita nanti, bagaimana kondisi putriku?” Marissa mendekat lalu berbisik pada Ruth agar Deniz tidak mendengarkan percakapan antara dirinya dan Ruth.Deniz berdiri dengan angkuh di belakang Marissa, ia seperti seorang bodyguard baginya. Pria itu tampak acuh tak acuh, meskipun dalam hatinya sangat ingin tahu tentang kabar istrinya yang menghilang 6 tahun lal
“Deniz, begini ….” Marissa duduk di sebelah mantan suaminya dengan wajah cemas. “Aku sudah terlalu lama pergi dan aku rasa, aku belum bisa ikut pulang bersamamu,” lanjutnya dengan suara bergetar. Deniz menatapnya dengan kerutan di kening, “Kenapa? Apa karena ada ayah dari gadis kecil itu atau kekasihmu?”“B-Bukan. Sudah berapa kali aku bilang, kalau aku tidak punya kekasih atau suami. Kenapa kamu terus saja mendesakku? Bukankah aku sudah melakukan apa yang kamu perintahkan? Belum puas juga kah?” jawaban panjang dari Marissa membuat Deniz menghembuskan napas panjang. Pria itu menutup layar tab yang baru saja dinyalakan. Ia meletakkan tab tersebut ke atas meja yang berada di samping tempat mereka duduk. “Aku butuh penjelasan yang spesifik,”“Aku sudah bicara jujur denganmu, aku harus menyelesaikan urusanku terlebih dahulu.” Tatapan Marissa begitu memelas. Sedangkan Deniz, ia memilih untuk menyandarkan punggungnya ke bantalan kursi yang ada di ruang tunggu. Kepalanya sedikit pusing
Brak!Sebuah kursi melayang tepat di samping dokter Ramon. Pria itu tidak bergeming sedikitpun, seakan ia sengaja untuk tidak menghindar dari amukan Sam— teman lamanya.“Teganya kau membunuh keluargaku? Apa salahku padamu hingga kau melakukan ini Ramon?” Sam mengarahkan jari telunjuknya pada dokter Ramon, ia menatap dokter tersebut dengan sengit.Deniz yang berdiri di samping pintu ruangan Alex hanya memandang tanpa melerai, bahkan ia pun mencegah Mark untuk melakukan hal itu. “Biarkan mereka menyelesaikan urusannya,” kata Deniz dengan setengah berbisik.Mark mengurungkan langkahnya dan kembali berdiri di samping Deniz, pria muda itu mengangguk tanda mengerti. “Baik, Tuan muda.” Jawabnya dengan sopan.“Kenapa diam? JAWAB!” Sam yang sudah tersulut emosi mendekat dan meraih kerah kemeja yang dikenakan oleh dokter Ramon. Tubuh dokter Ramon tertarik ke atas mengikuti tarikan Sam yang mencengkram erat bagian lehernya. Ia tetap bungkam dengan tatapan kosong, sepertinya gertakan dari Sam ti
Ini tentang perasaan yang awalnya hanya biasa saja. Semakin keadaan melarangnya untuk jatuh cinta, semakin hawa naf*su membuai hasrat yang selama ini ditahan. Terlalu munafik jika harus berbohong, sampai kapanpun takdir tidak akan pernah salah arah. “Mark,” panggil Deniz saat duduk sendiri di teras balkon yang menghadap halaman penthouse miliknya. “Ya, Tuan,” jawab Mark dengan cepat. Tangannya mengepal di atas paha dengan pandangan kosong, Deniz membiarkan kopinya dingin dengan sendirinya. Ia masih memikirkan kejadian tempo hari saat pertemuan terakhirnya dengan Marissa. Gadis itu masih kalah cantik jika dibandingkan dengan perempuan yang pernah dekat dengannya, termasuk adik dari Kevin Aldous Benneth— Catherine. “Sudah ada keputusan dari rumah sakit tentang pengajuan kemarin?” tanya Deniz tanpa menoleh. Ia memainkan jarinya seolah cemas, “Kenapa lama sekali?” lanjutnya yang seperti memutar sebuah pulpen di tangan. “Masih belum Tuan, mungkin masih proses.” Jawab Mark dengan angg