“Siapa kamu? Kenapa berani membentakku?” Mike yang semula terdiam kini membalas dengan tatapan yang dingin.Dengan langkah perlahan, Deniz menuruni anak tangga. Ia membuang rokok filter yang masih tersisa banyak, lalu berhenti tepat di hadapan Mike.“Kamu tidak perlu tahu siapa aku,” dengan santai Deniz menjawab.Sementara itu, kedua kolega bisnis yang sejak awal menemaninya telah pergi setelah kejadian Marissa yang dramatis. Kolega bisnis sekaligus teman baik Deniz itu sangat menyayangkan sikap Deniz yang berlebihan, hingga Deniz harus memberikan alasan pada yang tepat. “Aku mengenalnya, dia pantas mendapatkan semua itu.” Tetap saja Carlos dan temannya tidak membenarkan permasalahan pribadi yang terjadi di antara keduanya.“Ada masalah apa dengan Tuan? Kenapa repot-repot mengurusi urusan kami?” tanya Mike yang menyadari, jika pria di hadapannya adalah salah satu dari tamu yang telah memesan jasa— Marissa.“Jika ada kaitannya dengan perempuan itu, maka urusanmu akan menjadi urusanku.”
“Ke mana saja kalian, hah?!” cecar Ruth saat melihat Marissa dan Mike datang di waktu yang sama. Marissa berhenti di sebelah lemari brankas yang terdapat di sudut lorong rumah sakit, napasnya terlihat memburu. “Sorry, dia mabuk.” Jawab Mike sambil melirik ke arah Marissa. “Hah, kok bisa?” Ruth mengernyitkan dahinya, lalu menatap Mike dan Marissa secara bergantian. Bagi Ruth, saat ini bukan waktunya bercanda. Ia harus mendapatkan penjelasan yang tepat sebagai penebus rasa bersalah mereka. “Aku kerja sama dia malam ini, Ruth.” Sahut Marissa setelah napasnya kembali terkendali. “What?!” Ruth sedikit memekik. “Jangan terkejut seperti itu, kamu tahu kan kalau aku butuh duit.” Ujar Marissa yang merasa tidak melakukan kesalahan sedikitpun. “Kamu masih punya aku, Marissa. Bukankah kita sepakat akan mengurus Elizabeth bersama?” ia protes akan tindakan Marissa yang menurutnya sudah kelewat batas. “Aku masih sehat, Ruth. Aku bisa cari uang sendiri dan aku tidak mau merepotkan siapapun,”
Tangisnya memang sudah mengering, tapi rasa sesak di dada masih memenuhi ruang hati Marissa. Ia duduk di sebelah bed pasien sambil memegang tangan putrinya. Tatapan matanya kosong, bahkan ia tidak menyadari saat Ruth datang menyapa.“Mungkin ini adalah saatnya,” Ruth duduk di sampingnya, ia memegang pundak Marissa dengan lembut.Marissa menoleh dengan dahi berkerut, “Untuk ….?” tanya Marissa seiring dengan kedua alisnya yang saling bertautan.“Mengatakan yang sebenarnya pada, Deniz.” Jawab Ruth tanpa ragu.Marissa memalingkan wajahnya ke samping, lalu ia kembali menatap Ruth dengan sengit. “Jangan berharap untuk itu. Aku masih bisa mengurus putriku,” “Jangan keras kepala, Marissa. Ini juga kewajiban Deniz sebagai ayahnya, kamu tidak bisa melakukannya sendirian seperti ini terus menerus.” Kata Ruth agar Marissa berterus terang pada Deniz tentang putrinya— Elizabeth.Keduanya saling menatap dengan lekat, “Tidak akan pernah,” garis wajah Marissa terlihat mengeras. Perempuan itu merasaka
Kasur dan bantal yang empuk membuat Marissa terbuai dalam mimpinya, cukup lama. Ia begitu berat ketika hendak membuka kelopak matanya, “Shit,” gumam Marissa sambil memegang kepala bagian kanan.“Pelan-pelan saja, tidak perlu dipaksakan.” Suara berat itu membuat Marissa tergagap. Buru-buru ia mengumpulkan kesadaran penuh dan membetulkan posisi duduknya di atas ranjang berukuran king.“A-Aku di mana?” matanya melebar saat menatap ke arah mantan suaminya— Deniz Anzel Ghazy.“Kamu tidak mengucapkan terima kasih padaku?” Deniz duduk di sebuah kursi sofa dan menghadap tepat ke arah ranjang di mana Marissa masih berada di atasnya.Perempuan itu mengerutkan dahinya, “Untuk apa?” ia menarik selimutnya lebih tinggi sampai ke batas dada.“Kalau kamu tidak aku tolong, aku tidak tahu bagaimana keadaanmu sekarang ini. Tenang saja, aku tidak macam-macam denganmu.” Kata Deniz saat beranjak dari tempat duduknya, ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan yang dikenakan.Marissa bingung, ia
DUG!Marissa menendang tubuh Deniz, tepat di area pangkal pahanya. Pria itu mundur sambil memegang bagian yang sakit. Marissa pun bergegas beranjak dari tempat tidur sebelum Deniz menyerangnya kembali.“M-Marissa! Aduh!” pekik pria itu dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Marissa.“Sudah sin*ting kamu Deniz,” ucapnya dengan sedikit berteriak, Marissa menyambar kimono yang baru saja dilepas paksa oleh mantan suaminya.Marissa membuka pintu dengan kasar, lalu bergegas keluar dari dalam kamar. Ia menabrak Miriam yang tengah berjalan mendekat setelah mendengar kegaduhan.“Nona Marissa,” Miriam terkejut dengan kedatangan Marissa yang terburu-buru.Wajahnya berubah menjadi panik, “Miriam tolong aku kali ini saja. Biarkan aku pergi, aku mohon ….” ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “T-Tapi ada apa Nona?” tanya Miriam dengan mengeryitkan dahinya.“Tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Miriam. Aku, aku ….” “Tahan dia Miriam! Dia telah membawa kabur uangku,” Deniz be
“Sudah impas bukan?” Deniz mengernyitkan dahinya, ia menatap Marissa dengan penuh tanda tanya. “Aku tanya apa, kamunya jawab apa Marissa?” Deniz mengatur posisinya yang setengah duduk di atas ranjang. Ia melihat Marissa masih bergelung dengan selimut, perempuan yang sempat menjadi istrinya tersebut berbaring menghadap ke arahnya dengan ganjalan bantal di kepala. “Bukankah kamu memberiku uang untuk melakukan ini?” ia menatap Deniz tanpa takut sedikitpun.“Marissa,” gumam Deniz sambil menyugar rambutnya dengan jari tangan, pria itu gelisah.Deniz menghela napas dengan kasar setelah mengusap wajahnya, lalu ia menatap Marissa dengan perasaan bersalah. “Aku memintamu untuk rujuk, bukan membahas masalah yang lain.” “Oh itu,” Marissa merubah posisinya, ia kini telentang dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.“Kenapa cuma, oh? Apa tidak ada jawaban yang lain?” Deniz mendekat, pria itu merebahkan tubuhnya di samping Marissa.Deniz menopangkan sebelah tangannya di sisi kepa
“Kemana saja sih kamu?” tarik Ruth saat Marissa datang terlambat, lebih tepatnya sangat-sangat terlambat.“Apa aku sudah melewatkan sesuatu?” tanya Marissa dengan cemas, keringat dingin tiba-tiba merayap di beberapa titik pelipisnya.Ia tidak peduli meski Ruth sedang kesal padanya saat ini. Marissa hanya mengkhawatirkan kondisi putrinya yang sejak kemarin ditinggalkan begitu saja. Ada perasaan bersalah dalam diri Marissa, apalagi dalam situasi seperti ini, dirinya malah asyik berkencan dengan mantan suaminya.“Kenapa dia di sini?” Ruth memperhatikan pria berwajah dingin itu dengan seksama, lirikannya terlihat sangat pedas.“Aku akan cerita nanti, bagaimana kondisi putriku?” Marissa mendekat lalu berbisik pada Ruth agar Deniz tidak mendengarkan percakapan antara dirinya dan Ruth.Deniz berdiri dengan angkuh di belakang Marissa, ia seperti seorang bodyguard baginya. Pria itu tampak acuh tak acuh, meskipun dalam hatinya sangat ingin tahu tentang kabar istrinya yang menghilang 6 tahun lal
“Deniz, begini ….” Marissa duduk di sebelah mantan suaminya dengan wajah cemas. “Aku sudah terlalu lama pergi dan aku rasa, aku belum bisa ikut pulang bersamamu,” lanjutnya dengan suara bergetar. Deniz menatapnya dengan kerutan di kening, “Kenapa? Apa karena ada ayah dari gadis kecil itu atau kekasihmu?”“B-Bukan. Sudah berapa kali aku bilang, kalau aku tidak punya kekasih atau suami. Kenapa kamu terus saja mendesakku? Bukankah aku sudah melakukan apa yang kamu perintahkan? Belum puas juga kah?” jawaban panjang dari Marissa membuat Deniz menghembuskan napas panjang. Pria itu menutup layar tab yang baru saja dinyalakan. Ia meletakkan tab tersebut ke atas meja yang berada di samping tempat mereka duduk. “Aku butuh penjelasan yang spesifik,”“Aku sudah bicara jujur denganmu, aku harus menyelesaikan urusanku terlebih dahulu.” Tatapan Marissa begitu memelas. Sedangkan Deniz, ia memilih untuk menyandarkan punggungnya ke bantalan kursi yang ada di ruang tunggu. Kepalanya sedikit pusing