hayooo gimana jadinya mama Monika sama Rafael
Plak!Mama Monika kembali menampar Rafael, di sisi pipi yang sama hingga membuat Rafael terpaksa memiringkan wajahnya karena tamparannya begitu keras.Bukannya kapok dengan tamparan pertama sebelumnya tamaparan itu malah membuatnya semakin memanas, dia juga bersemangat untuk berperang dengan wanita ini karene memang sejak awal mama Monikalah yang terlebih dahulu memulai semua drama ini.Dia yang menyeret Rafael ke sini dan berniat memutar balikkan fakta dan berusaha menyalahkan Rafael karena tidak becus menjadi suami atas perselingkuhan anaknya. Entah logika macam apa itu tapi jika wanita ini ingin menjatuhkan Rafael maka tidak akan semudah itu.Mungkin wanita ini berpikir Rafael akan sama seperti Abimanyu yang bisa dengan mudah diajak untuk bekerja sama tanpa memikirkan untung rugi tapi Rafael berbeda. Dia memiliki sifat yang jauh lebih keras dan tak tersentuh.Kini mata mama Monika sudah memerah dan melotot tajam seakan akan bisa keluar kapan saja. Tatapannya setajam pisau dan itu me
Drtt Drtt DrttSuara dering dari hpnya yang ada di saku celananya membuat lamunan Rafael buyar. Dia masih setia berdiri di rooftop dengan beberapa botol soda di sampingnya. Pria tampan yang biasanya sangat rapi itu kini terlihat sangat kacau.Rafael awalnya ingin mengabaikan panggilan telpon itu karena memang dia pikir itu dari mamanya akan tetapi tiba tiba dia punya firasat kalau itu panggilan dari orang yang sudah Rafael tunggu tunggu sejak berjam jam tadi.Dengan gerakan cepat, Rafael meraih saku celananya untuk mengambil hpnya. Dia melihat dengan segera siapa nama yang tertera di sana. Rafael tak dapat lagi mendeskripsikan betapa dia merasa lega saat melihat nama Morgan di sana.Tanpa berlama lama lagi, Rafael langsung menggeser layar hpnya dan berbicara dengan Morgan dengan nada tak sabaran. “Bagaimana, kau sudah mencari tau?” Rafael berdiri tegak dengan pikiran yang terfokus sepenuhnya pada Morgan karena pria ini memang satu satunya harapannya.Dulu, Rafael terbiasa melakukannya
“Ma….” Suara Rafael sangat pelan hampir tak terdengar. Wajahnya terlihat begitu syok namun dia tetap berusaha terlihat tenang.Mayang menatap putranya itu dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan. Ada rasa kekecewaan dan kepedihan yang mendalam tersirat melalui sorot matanya.Sangat berat rasanya Rafael melihat cinta pertamanya, wanita yang sangat dia sayangi ini terlihat sesedih ini. Tanpa sadar Rafael mengepalkan tangannya emosi, tak henti hentinya dia berandai andai dalam pikirannya.Andai saja mamanya tidak menikah dengan papanya, andai saja semua ini tidak terjadi, andai saja papanya tidak seligkuh dulu andai saja mamanya tau semua hal ini, andai saja mamanya punya sifat curiga dan tidak terlalu gampang percaya dengan orang lain, andai saja.Namun semua itu hanya khayalannya, kini dia harus menghadapi kenyataan pahit yang ada di depan matanya sendiri.“M-ma aku bisa jelas—PLAK!Sebuah tamparan mendarat lagi di pipi kanan Rafael. Tak puas mendapat 2 tamparan dari mama mert
“MA!” Suara Rafael meninggi saat mengucapkannya. Ada rasa benci dan emosi yang dalam saat dia mendengar kata kata itu keluar dari mulut mamanya. Diantara semua manusia kenapa harus papanya sendiri? Orang yang paling Rafael benci yang tak akan pernah dia maafkan?“Kenapa? Kamu sulit menerima fakta itu? Kau anak kandungnya Rafael, kau punya sifat yang sama persis seperti papamu.” Napas Mayang terkecat saat mengucapkannya, dia memegang dadanya saat rasa sakit dari masa lalu yang belum sembuh itu kembali menghujamnya mengingatkan MAyang betapa sakit hatinya dia dengan semua ini sampai detik ini walau Abimanyu sudah meminta maaf berkali kali.“Mama….mama sudah merasakan itu semua Raf, mama tau bagaimana rasanya menjadi Monika dan mama tak akan pernah membiarkan kamu melakukan hal yang sama pada istrimu seperti apa yang mama alami dulu.” Mayang benar benar tak tau menau tentang apa yang terjadi, tapi rasa kecewanya dengan Rafael nyata adanya.Arghhh!! Rafael saat ingin berteriak saat ini dan
4 bulan kemudianSeorang pria dengan gaya pakaian casual dan rambut yang tertata sangat rapi berjalan dengan penuh wibawa melewati kerumunan orang orang yang tengah meliuk liukkan tubuhnya di lantai dansa.Suara musik yang begitu menggema, membuat Rafael sangat tak nyaman. Pria itu mengecek kembali hpnya untuk mengecek kembali pesan yang dikirim oleh Morgan.“Benar VVIP 1,” gumam pria tampan yang pakaiannya paling mencolok di sana. Rafael celingak celinguk di depan tangga, harusnya dia naik lift tapi sepertinya hanya tangga ini jalan satu satunya menuju ke area VVIP.Dengan langkah cepat dan sedikit tidak sabaran, Rafael berjalan menaiki satu persatu anak tangga yang ada di sana. Langkah kakinya yang lebar membuatnya dengan cepat sampai di lantai atas gedung itu.Sebuah lorong dengan gaya mewah dan penerangan yang cukup minim terpampang nyata di depannya. Ada beberapa pintu yang berisi tulisan di sana dan benar saja semua pintu itu bertuliskan ‘VVIP’Dengan perasaan lega, Rafael berjal
Seluruh mata terfokus ke arah pria tampan yang tengah berjalan membelah kerumunan. Tuan Muda Keluarga Adijaya yang paling tersohor berjalan tanpa rasa ragu di tengah tengah pesta besar yang diadakan keluarganya.Beberapa sorot mata secara terang terangan menunujukkan rasa kagumnya pada Rafael walau tau pesta ini adalah pesta perayaan untuk calon pewaris Keluarga Adijaya yang akan segera lahir.“Raf, kamu terlihat sangat cocok dengan setelan itu.” Rafael berhenti saat mamanya berdiri di depannya dengan mata yang terharu, ada beberapa bulir air mata di pelupuk matanya. Mayang sedang menahan tangisnya karena tak menyangka pada akhirnya kesabarannya selama beberapa bulan ini membuahkan hasil.Walau banyak kesalahan yang Rafael berbuat pria itu mau bertanggung jawab dan kini sudah menyadari kesalahannya dan menyadari betapa beruntungnya dia memiliki Monika sebagai istrinya. “Nak…terimakasih kamu sudah mau mendengarkan mama.” Rafael hanya tersenyum kaku saat mamanya mengatakannya, dia tidak
Suara isak tangis dari Marco, pria yang diketahui sebagai supir pribadi Monika itu membuat semua orang syok bukan main. Pria itu memeluk wanita yang persis seperti Monika itu dengan perut yang juga besar tanpa peduli ada semua orang yang menyaksikannya di sini.Marco hanya peduli dengan dunianya sendiir, yaitu Monika yang tiba tiba terjatuh dari tangga saat dia hendak berjalan medekat tiba-tiba semua orang berteriak meneriakkan nama Monika dan Marco dengan sigap langsung berlari.Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri Monikanya, Monika kesayangannya sudah tergeletak dengan darah yang mengucur dari kedua pahanya dan mengotori gaun putihnya.Dunia Marco langsung berhenti berputar, jika begini akhirnya tak ada gunanya dia hidup. “Monika….sayang lihat aku…sayang bangunlah.” Teriakan Marco semakin membuat keadaan memanas dengan bisik bisik dari para tamu yang hadir di sana.“Monikaaa……..sayang…..tidak! Kau tidak boleh meninggalkanku seperti ini, dan anak ki
“S-sayang….a-pa maksudmu?” Monika meremas gaun yang dia pakai saat Rafael mengucapkan itu. wajahnya sudah pucat pasi menatap mamanya yang juga mematung di sana dan Marco yang berani beraninya menatapnya dengan tatapan yang penuh rasa khawatir.Sial!Marco adalah perusak segalanya.“Rafael! Apa maksudmu bisa menjelaskannya? Ini hanya kesalah pahaman. Marco khawatir karena mengira wanita ini Monika lagi pula siapa yang menyuruhnya memakai pakaian yang persis seperti Monika?” Suara Erina meninggi saat mengucapkannya tapi sangat kentara kalau dia tengah tegang hingga tak sadar suaranya sedikit bergetar.“Ah benar! Mama bilang kalau Marco supir pribadku ini sudah sangat lama melayaniku kan? Kalau begitu Marco, kamu pasti sangat kahwatir tadi hingga tak sadar apa yang kamu ucapkan, bukan?” Monika berucap dengan nada yang dibuat buat seperti orang polos lalu mendelik Marco dengan mata tajamnya, berharap dia mengiyakan saja dan segera enyah dari sini sebelum Monika yang bertindak sendiri.Maya
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak