VOTE FOR NEXTTTT
“Mayang dengarkan aku!” Erina langsung menarik tangan Mayang dengan kasar untuk membuatnya mengadap dirinya dan berhenti menatap Rafael yang barusaja mengatakan seluruh kebenaran.“HEY! APA APAAN INI!” Beberapa pengawal langsung menarik Erina menjauh dari Mayang dan Rafael atas kode yang diberikan Rafael. “MPHHHHH!” pekiknya ketika pengawal itu membekap mulutnya.“Sudah aku katakan sejak awal, kau dilarang berbicara sebelum aku izinkan, biarkan ini menjadi antara aku dan mamaku, paham?” Dengan gaya khasnya yang arogan Rafael mengatakan kata kata itu hingga membuat wajah Erina langsung memerah. Dia menatap nanar ke arah Rafael dan Mayang.Semua ketakutannya akhirnya terjadi.“Sayang…. Dengar—“Berhenti di sana jangan mendekat!” Mayang mengangkat tangannya tanpa menoleh ke arah Abimanyu yang berniat akan berjalan mendekat ke arahnya.Hening saat Rafael selesai mengucapkan semuanya dan Mayang masih berusaha memproses semuanya.Wanita malang itu langsung menatap ke arah menantu kesayangann
“A-apa? Me-nyuap dokter? Omong kosong apa yang sedang kau katakan Rafael Nathan Adijaya? Apa ini etika yang diajarkan padamu sejak kecil hah? Menelantarkan istrimu sendiri dan memfitnahnya agar aku bisa lepas tanggung jawab?” Seluruh tubuh Erina bergetar saat mengucapkannya.Bibirnya kelu untuk berucap tapi dia berusaha berteriak walau nada suaranya bergetar karena cemas. Ekspresi wajahnya sangat menyeramkan, jauh berbeda dengan wajah anggun yang biasanya dia perlihatkan sehari hari, saat Rafael tetap saja sama. Pria itu jarang bisa tersulut emosinya bahkan di situasi segenting ini dia bisa tenang saat keempat orang lainnya yang ada di sana sudah kesusahan untuk bernapas dan berdiri.“M-mama….Aku…aku sungguh tidak mengerti apa yang terjadi di sini. M-mama yang bilang kan kalau suamiku itu menyayangiku sejak awal? T-tapi apa ini? Kenapa suamiku berubah menjadi seperti ini? Apa yang sudah aku lakukan?” Monika langsung berakting lagi untuk mendapat perhatian dan simpati dari Mayang.Tapi,
Suara robekan kertas memecah suasana yang awalnya kacau balau berubah menjadi hening. Kedua jemari tangan Mayang bergetar saat wanita itu membuka amplop lain yang diberikan Rafael.Tidak! Dia masih menyangkal semuanya sampai detik tadi. Tapi, ekspresi dan kecemasan di wajah menantu dan besannya membuat Mayang mau tak mau berperang untuk menghadapi pahitnya kenyataan.Sebelum mengambil kertas itu dari dalam amplop, Mayang mengambil waktu sejenak untuk menoleh ke arah Rafael, Monika dan Erina. Ketiga orang yang menjadi pusat kekacauan malam ini.Saking beratnya beban mental yang dirasakan Mayang saat ini, dia bahkan tak merasa terganggu sedikitpun dengan fakta bahwa Rafael, putranya sudah menyiapkan surat cerai yang sudah lengkap hanya tinggal ditanda tangani saja untuk masalah ini.Itu menandakan pria ini sudah menyiapkannya sejak dulu, atau mungkin 4 bulan ini selama dia diam saja, Rafael pasti sedang mengerjaakan ini entah benar atau tidaknya Mayang masih belum bisa berpikir dengan je
PLAK!!Tangan kekar milik Tuan Wardana menampar keras pipi kanan istrinya, Erina. Semua orang yang ada di rumah sakit itu mematung seketia, kecuali Mayang yang terbaring lemah dengan bibir yang pucat.Keadaan yang awalnya sunyi kini berubah menjadi semakin mencekam semenjak kehadiran Tuan Wardana yang tak lain adalah papa Monika. Pria itu barusaja datang dari dinasnya ke luar negeri dan mendapatkan telpon mendadak dari istrinya yang langsung menangis hebat melalui telpon mengatakan kalau Keluarga Adijaya sudah mempermalukan harkat dan martabat Keluarga Wardana.Walau mendengar masalah terjadi, pria itu tetap berusaha tenang. Dia langsung memesan tiket pulang tanpa membuat asumsi berlebihan di kepalanya mengingat sampai kapanpun Tuan Wardana tak akan pernah melupakan pengorbanan Tuan Adijaya dengan memberikannya suntikan dana dan juga saham dari rumah sakitnya. Semuanya dia lakukan untuk menolongnya dulu, dan kali ini dia tak ingin gegabah.Oleh karena itulah Tuan Wardana langsung pulan
Rafael menenteng begitu banyak barang sambil berjalan dengan terburu-buru. Pria tampan itu tampak rapi dengan setelan jas berwarna biru dongker dengan warna pita yang matching dengan pakaiannya menambah aura bos yang dipancarkan pria itu.Walau sudah berusia cukup matang, 35 tahun tapi tak sedikit banyak wanita muda jatuh hati dan kepincut dengan pesona pewaris satu satunya Adijaya Corp itu. Kini, pria tampan itu berjalan terburu-buru, kaca mata hitam bertengger di wajahnya. Dan dibelakang pria itu ada sekitar 7 pengawal yang mengekor sambil membawa tas belanja juga.Setelah mengabaikan salam dari pegawai di resepsionis dengan berlalu cepat tanpa menoleh, kini Rafael sudah ada di dalam lift di sebuah apartement termewah di Singapura. Suara sepatu kulitnya yang bersentuhan dengan lantai lift memenuhi lift itu.Butuh waktu sekitar 2 menit untuk sampai di lantai 34 dan Rafael bahkan tak kuasa untuk menunggu 1 detik lebih lama lagi, terbukti dari betapa cepatnya ketukan sepatunya sembari
15 menit kemudian, suara desarah dan erangan memenuhi ruangan apartemen mewah itu. Rafael memposisikan Chalista dengan nyaman di bawah kungkungannya dan mulai melancarkan aksinya untuk menyalurkan rasa rindu dan gairah yang sudah memuncak sampai di ubun ubun kepalanya.Sejujurnya kepala Rafael hampir pusing, pusing karena melihat betapa cantik dan seksi Chalista di matanya. Mulai dari kulitnya yang bercahaya dan eksotis dan juga seluruh lekuk tubuh bahkan aroma khas wanita itu membuat Rafael hampir kehilangan akal.Chalista diluar dugaan terlihat semakin cantik dan auranya semakin terlihat saat dia hamil, tak seperti kebanyakan wanita hamil yang mungkin malas bergerak atau malas merawat diri tapi Chalista berbeda. Dia merasa merawat tubuhnya juga berarti merawat bayi yang ada di dalam kandungannya.Oleh karena itulah dia rutin ke salon dan ketempat tempat kecantikan untuk menjaga penampilannya tetap menawan. Namun diluar fisik, sesuatu yang dapat dilihat, aura kecantikan Chalsita meman
Di apartement itu, suasana kini begitu hening. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyelimuti tubuh Chalista, membuat kulitnya sedikit menggigil. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Rafael yang duduk tepat di sampingnya. Tubuh keduanya bahkan masih polos, tanpa sehelai benang yang menutupi.Sementara di tangan kanan Chalista, dia memegang hpnya yang terus berbunyi dam bergetar. Nama ‘mama’ muncul di sana dan Chalista sudah menunjukkannya sejak tadi pada suaminya itu dan sepertinya bukan hanya CHalista yang perlu waktu lama untuk memproses semuanya karena ternyata Rafael juga sama. Dia mematung sebentar seperti berpikir bagaimana jalan keluar dari masalah ini.Karena tak kunjung mendapat jawaban. Chalista membuka mulutnya. “Aku sudah beberapa kali mengabaikan panggilan dari mama dan…jika aku terus mengabaikannya mama bisa bisa curiga dengan apa yang aku lakukan di sini,” ucap Chalista memberitahu Rafael yang sbeenarnya. Itu lebih terdengar seperti Chalista ingin memberitahu Rafael kalau d
“Sir, I’m sorry you can’t go inside, the doctor is doing the process.” Kilatan amarah di mata Rafael mampu membuat beberapa pegawai dari rumah sakit itu menunduk. Mereka semua sedang ada di apartement Chalista, sesuai apa yang Rafael rencakan dia sudah menyiapkan persalinan Chalista dan semua dokter yang ada untuk melakukannya di apartemen bukan di rumah sakit karena takut menimbulkan rumor.Rafael terlihat sangat kacau. Rambutnya tidak lagi rapi, kancing atas kemejanya sudah terlepas dan dasinya juga sudah tidak lagi pada tempatya. Setelah mendengar kabar kalau istrinya, Chalista akan segera melahirkan Rafael yang awalnya ada di Jepang, langsung terbang kembali ke Singapura tanpa basa basi lagi.Masalah utamanya adalah jadwal kelahirannya yang maju beberapa hari. Rafael yang memang sangat sibuk akhir akhir ini sempat syok saat diberikan kabar tersebut tapi karena Chalista adalah fokus utama di hidupnya Rafael meninggalkan semuanya dan kembali lagi ke Singapura.Tapi, saat dia sampai
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak