Vote for next, thank you semuaaa
15 menit kemudian, suara desarah dan erangan memenuhi ruangan apartemen mewah itu. Rafael memposisikan Chalista dengan nyaman di bawah kungkungannya dan mulai melancarkan aksinya untuk menyalurkan rasa rindu dan gairah yang sudah memuncak sampai di ubun ubun kepalanya.Sejujurnya kepala Rafael hampir pusing, pusing karena melihat betapa cantik dan seksi Chalista di matanya. Mulai dari kulitnya yang bercahaya dan eksotis dan juga seluruh lekuk tubuh bahkan aroma khas wanita itu membuat Rafael hampir kehilangan akal.Chalista diluar dugaan terlihat semakin cantik dan auranya semakin terlihat saat dia hamil, tak seperti kebanyakan wanita hamil yang mungkin malas bergerak atau malas merawat diri tapi Chalista berbeda. Dia merasa merawat tubuhnya juga berarti merawat bayi yang ada di dalam kandungannya.Oleh karena itulah dia rutin ke salon dan ketempat tempat kecantikan untuk menjaga penampilannya tetap menawan. Namun diluar fisik, sesuatu yang dapat dilihat, aura kecantikan Chalsita meman
Di apartement itu, suasana kini begitu hening. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyelimuti tubuh Chalista, membuat kulitnya sedikit menggigil. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Rafael yang duduk tepat di sampingnya. Tubuh keduanya bahkan masih polos, tanpa sehelai benang yang menutupi.Sementara di tangan kanan Chalista, dia memegang hpnya yang terus berbunyi dam bergetar. Nama ‘mama’ muncul di sana dan Chalista sudah menunjukkannya sejak tadi pada suaminya itu dan sepertinya bukan hanya CHalista yang perlu waktu lama untuk memproses semuanya karena ternyata Rafael juga sama. Dia mematung sebentar seperti berpikir bagaimana jalan keluar dari masalah ini.Karena tak kunjung mendapat jawaban. Chalista membuka mulutnya. “Aku sudah beberapa kali mengabaikan panggilan dari mama dan…jika aku terus mengabaikannya mama bisa bisa curiga dengan apa yang aku lakukan di sini,” ucap Chalista memberitahu Rafael yang sbeenarnya. Itu lebih terdengar seperti Chalista ingin memberitahu Rafael kalau d
“Sir, I’m sorry you can’t go inside, the doctor is doing the process.” Kilatan amarah di mata Rafael mampu membuat beberapa pegawai dari rumah sakit itu menunduk. Mereka semua sedang ada di apartement Chalista, sesuai apa yang Rafael rencakan dia sudah menyiapkan persalinan Chalista dan semua dokter yang ada untuk melakukannya di apartemen bukan di rumah sakit karena takut menimbulkan rumor.Rafael terlihat sangat kacau. Rambutnya tidak lagi rapi, kancing atas kemejanya sudah terlepas dan dasinya juga sudah tidak lagi pada tempatya. Setelah mendengar kabar kalau istrinya, Chalista akan segera melahirkan Rafael yang awalnya ada di Jepang, langsung terbang kembali ke Singapura tanpa basa basi lagi.Masalah utamanya adalah jadwal kelahirannya yang maju beberapa hari. Rafael yang memang sangat sibuk akhir akhir ini sempat syok saat diberikan kabar tersebut tapi karena Chalista adalah fokus utama di hidupnya Rafael meninggalkan semuanya dan kembali lagi ke Singapura.Tapi, saat dia sampai
“A-Apa, Pa?” Suara Chalita bergetar saat mengucapkannya. Demi apapun, dia berharap setengah mati kalau dia baru saja salah dengar. Tapi, melihat Rafael langsung menaruh Nathan di keranjang miliknya dan bergegas mendekat dengan wajah seramnya membuat perasaan Chalista semakin tak enak.Abimanyu terdengar cukup kesal dengan pertanyaan Chalista barusan, padahal dia merasa sudah jelas sekali mengucapkannya. “Papa bilang Keluarga Alexander membawa lamarannya untukmu kemarin dan mengatakan akan mengadakan pertemuan dua keluarga minggu depan, jadi pulanlglah paling lambat sebelum hari sabtu.”Deg! Lagi-lagi rasanya jiwanya meninggalkan raganya, bahkan untuk kedua kalinya mendengar itu Chalista masih syok. “PA! AKU TIDAK SETUJU!” Tanpa ia sadari suaranya meninggi dan terkesan menuntut saat mengucapkannyaMendengar itu Abimanyu terkekeh dari seberang sana. “Kau pikir dirimu pantas menolak? Menikahlah dengan cepat, pergi jauh jauh dari keluarga Adijaya jangan pernah kembali lagi. Lagipu
Chalista menegang seketika. NIatnya untuk menyembunyikan semuanya ternyata salah besar. Ah, apa yang sudah dia lakukan?“R-raf…sayang, dengakan penjelasanku.” Chalista berusaha berbicara walau dengan posisi yang masih duduk di atas kasur karena dia barusaja selesai melahirkan.Sementara itu wajah Rafael masih memerah karena dia menahan amarahnya sejak tadi setelah melempar karangan bunga itu dnegan kasar.Chalista memang salah. Suami mana yang tidak akan marah kalau tau istrinya dikunjungi oleh mantan paacarnya saat dia tak ada? Apalagi Chalista dengan bodohnya memilih untuk berbohong saja berharap ini tidak menjadi masalah besar namun lihatlah sekarang apa yang terjadi.Sementara itu, Rafael yang melihat istrinya itu menahan tangisnya dengan posisi yang tidak nyaman diatas kasurnya menjadi merasa bersalah. Rafael memejamkan matanya kuat kuat sambil menarik napasnya. Dia memalingkan wajahnya dari menatap Chalista menjadi menatap ke arah jendela besar dimana pemandangan kota terlihat de
“Kau sudah cek kebenarannya? Dia pintar mengalihkan perhatian orang.” Suara Rafael adalah satu satunya hal yang terdengar di basement itu.Kini dia sudah ada di Jakarta, dengan dalih sudah selesai melakukan perjalanan bisnisnya ke Jepang padahal dia barusaja menyambut kelahiran putra pertamanya ke dunia ini.Pria itu memakai pakaian yang tidak biasanya. Bukannya setelah kemeja yang membentuk pas pahatan tubuhnya, kini Rafael memakai pakaian santai dengan celana panjang dan baju kaos tapi itu tetap tak mengurangi wibawa pria itu.Dia malah terlihat jauh lebih muda dari umurnya dengan memakai itu, membuat orang orang susah mengenalinya karena itu bukan gaya berpakaiannya yang dikenali banyak orang.Rafael kini memegang hpnya dengan wajahnya yang cukup gelisah. Dia berbicara pada Morgan sejak tadi memastikan seseorang yang ingin dia temui saat ini ada di tempat yang ia kunjungi sekarang.“Kau pikir aku orang yang mudah dikecoh? Jika iya mungkin aku tidak bisa bekerja sama denganmu. Ayolah
“Tuan Xander, apa menurutmu itu penting? Semua kelurga ada di sini, kita berkumpul untuk membuat keputusan bukan?” Nada bicara Rafael sudah menyiratkan betapa emosinya dia saat ini.Kebetulan pria itu duduk tepat di depan Abian dan membuatnya bisa leluasan menatap pria itu. Beberapa orang yang ada di sana turut merasakan atmosfer yang berubah dan cara menatap keduanya yang cukup mencurigakan terutama Chalista yang saat ini menjadi pusat perhatian.Haruskah dia juga menolak?Argh! Dia sungguh sangat bingung. Apalagi, saat melihat tatapan papanya yang menjurus ke arahnya Chalista semakin takut, nyalinya menciut. Sejujurnya dia salah bergantung sepenuhnya pada Rafael. Haruskan dia mengatakannya langsung pada Abian menggunakan kesempatan ini?“Kau ternyata kakak yang sangat perhatian, tapi tenang saja ini tidak akan lama aku hanya perlu berbicara tentang urusan yang sangat pribadi dengan Chalista, bukankah itu wajar untuk pasangan kekasih?” Abian mengatakan itu tepat saat Chalista berpikir
Brak!Chalista menghembuska napasnya kasar saat Rafael menyeretnya ke ruangan kerjanya yang ada di lantai 3. Wanita itu sebenarnya diminta untuk mengambil beberapa koleksi piring dan perabotan yang ada di ruangan penyimpanan di pojok lantai 3 ini, namun tak diduga Rafael menyeretnya masuk ke sini. Entah dari mana datangnya dalam sekejap Chalista sudah ada di dalam ruangan kerja pria itu.Pintu ruangan itu pun sudah ditendang dengan kasar dengan kakinya lalu Rafael mengurung Chalista dengan kedua tangannya di pintu itu. “Raf, di sini ada cctv nanti ada yang melihat!” Nadanya kali ini terdengar sangat pelan dan tenang, tidak panik karena sejujurnya dia lelah, dia lelah dengan semuanya, apalagi melihat Rafael, dia merasa sangat tidak karuan.Namun, Rafael sama sekali tak peduli dengan semua itu, saat ini dia hanya peduli dengan Chalista, dan apa yang dia lakukan tadi bersama pria lain. “Apa yang kau bicarakan dengan pria itu Chalista?” Suara Rafael berat dan terdengar bagai pisau yang men
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak