Ayo, gimana jadinya itu
“Tuan Xander, apa menurutmu itu penting? Semua kelurga ada di sini, kita berkumpul untuk membuat keputusan bukan?” Nada bicara Rafael sudah menyiratkan betapa emosinya dia saat ini.Kebetulan pria itu duduk tepat di depan Abian dan membuatnya bisa leluasan menatap pria itu. Beberapa orang yang ada di sana turut merasakan atmosfer yang berubah dan cara menatap keduanya yang cukup mencurigakan terutama Chalista yang saat ini menjadi pusat perhatian.Haruskah dia juga menolak?Argh! Dia sungguh sangat bingung. Apalagi, saat melihat tatapan papanya yang menjurus ke arahnya Chalista semakin takut, nyalinya menciut. Sejujurnya dia salah bergantung sepenuhnya pada Rafael. Haruskan dia mengatakannya langsung pada Abian menggunakan kesempatan ini?“Kau ternyata kakak yang sangat perhatian, tapi tenang saja ini tidak akan lama aku hanya perlu berbicara tentang urusan yang sangat pribadi dengan Chalista, bukankah itu wajar untuk pasangan kekasih?” Abian mengatakan itu tepat saat Chalista berpikir
Brak!Chalista menghembuska napasnya kasar saat Rafael menyeretnya ke ruangan kerjanya yang ada di lantai 3. Wanita itu sebenarnya diminta untuk mengambil beberapa koleksi piring dan perabotan yang ada di ruangan penyimpanan di pojok lantai 3 ini, namun tak diduga Rafael menyeretnya masuk ke sini. Entah dari mana datangnya dalam sekejap Chalista sudah ada di dalam ruangan kerja pria itu.Pintu ruangan itu pun sudah ditendang dengan kasar dengan kakinya lalu Rafael mengurung Chalista dengan kedua tangannya di pintu itu. “Raf, di sini ada cctv nanti ada yang melihat!” Nadanya kali ini terdengar sangat pelan dan tenang, tidak panik karena sejujurnya dia lelah, dia lelah dengan semuanya, apalagi melihat Rafael, dia merasa sangat tidak karuan.Namun, Rafael sama sekali tak peduli dengan semua itu, saat ini dia hanya peduli dengan Chalista, dan apa yang dia lakukan tadi bersama pria lain. “Apa yang kau bicarakan dengan pria itu Chalista?” Suara Rafael berat dan terdengar bagai pisau yang men
“Kenapa? Apa kau pikir hidup sesempurna itu Chalista? Kau bisa seberani ini denganku hanya karena Rafael ada di belakangmu kan? Tapi bagaimana kalau aku katakan Rafael bahkan lebih jahat dari apa yang sedang aku lakukan sekarang.” Abian terlihat sangat marah saat ini.“W-warisan?” Suara Chalista bergetar. Dia mengerutkan dahinya sambil meminta penjelasan dari ucapannya. Walau dia sudah berkomitmen untuk tidak mempercayai Abian tapi sejujurnya Abian selama ini tak pernah berbohong untuk masalah serius.Dia hanya berbohong saat selingkuh, dan itu fakta.Bukannya menjawab, Abian malah tertawa. “Melihatmu seperti ini saja sudah membuatku lega. Itu hanya sebagian, bagaimana kalau kau mendengar semua—“ABIAN KATAKAN PADAKU SEKARANG! JANGAN MEMPERMAINKANKU!” Chalista menarik kemeja Abian dengan sekuat tenaganya sambil berteriak dengan nada marah.Namun, pria itu dengan enteng bisa menepis tangan Chalista. “Kau! Sekali lagi kau berteriak di depan wajahku, aku pastikan kau tidak bisa berbicara
“Chalista!” Suara Mayang penuh dengan keterkejutan. Dia menoleh beberapa kali untuk memastikan kalau putrinya ini sedang berada di dalam ruang kerja Rafael atau tidak, karena dipikir bagaimanapun, tidak masuk akal untuknya masuk ke dalam.Chalista hanya bisa mematung di sana. Tangannya secepat kilat mengusap bulir bulir air mata yang tadi jatuh saat dia bertengkar dengan Rafael.Kini, kesedihannya sudah sirna entah kemana, tergantikan dengan rasa tegang dan keterkejutan yang bercampur saat melihat tatapan penuh tanda tanya yang dilayangkan mamanya.“Loh, Cha bukannya mama nyuruh kamu ngambil cangkir di gudang sana? Kok bisa di ruangan Rafael?” Belum sempat Mayang menyelesaikan ucapannya, Rafael menyembulkan kepalanya dari balik pintu menambah kebingungan Mayang.Jadi memang benar ada Rafael di dalam sana. Jika dia berpikir dengan logika, berarti keduanya berada di dalam sana sejak tadi bukan?Mayang berusaha menghapus pikiran aneh yang menjalar di kepalanya, bagaimana bisa dia menuduh
Abimanyu berdiri dengan pakaian rapi selayaknya seorang pebisnis, jas biru dongker dengan dasi yang kontras. Pria itu berdiri tepat di depan Chalista yang sedang menggendong Nathan.Perlahan, tatapan menjurus tajam Abimanyu beralih dari Chalista lalu turun, menatap lebih tajam lagi ke arah bayi yang sedang dia gendong.Tanpa sadar, Chalista mengeratkan gendongannya pada tubuh mungil Nathan. Dia refleks walau sedang mematung dan bungkam.“Masuk!”Deg!Napas Chalista seakan tercekat saat Abimanyu berjalan melewatinya untuk masuk ke dalam apartementnya. Saking paniknya, Chalista sampai lupa bayinya masih terus menangis sejak tadi.Bagaimana ini?Apa yang sudah terjadi?Seakan oksigen baru masuk ke dalam otaknya, Chalista baru menyadari kalau dia sudah melakukan kesalahan paling fatal sepanjang hidupnya, yaitu membuat papanya tau apa yang sudah dia lakukan di belakangnya selama ini.Haruskah dia kabur sekarang?Brak!Belum sempat dia memproses semuanya dalam otaknya, tangan Abimanyu sudah
Abimanyu kali ini benar benar kelepasan. Dia diluputi amarah yang menggebu gebu, apalagi saat tadi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Chalista, orang yang selalu dia waspadai agar tidak berani menggoda Rafael kini malah sudah punya anak darinya.“PAPA! AKU MOHON, BUNUH AKU SAJA!” Chalista kini tidak lagi sekedar memohon, tapi dia memeluk kaki Abimanyu dengan sangat erat, agar dia tidak berpindah kemanapun karena Nathann kini ada di genggamannya.Abimanyu yang tentunya merasa sangat risih berusaha sekuat tenaganya untuk menjauhkan kakinya dari jangkauan Chalista. “Manusia sialan! Jangan panggil saya papa, saya bukan ayahmu, anak yatim piatu!”“AKHHH!” Tepat saat itu, Abimanyu berhasil melepaskan kakinya dari genggaman Chalista dengan cara menendang tubuh wanita itu hingga dia tersungkur di dekat kasur.Chalista meringis saat dia merasakan nyeri di bagian kepalanya yang terbentur ujung tempat tidur. Sementara itu Abimanyu sama sekali tak peduli apa yang sudah dia lakukan da
“S-siapa....” Chalista menegang ketika melihat siluet seorang yang tertimpa cahaya bulan di pojok kamarnya. Suaranya gemetar tanpa bisa ditahan.Wanita berusia 23 tahun itu baru saja pulang dari Indonesia malam ini dan langsung masuk ke dalam kamarnya di lantai 3 untuk merebahkan diri. Ia tidak peduli dengan lampu kamar yang tidak mau menyala.Namun, apa yang ada di kamarnya itu? Hantu? Atau pencuri?Ting!Chalista semakin menegang ketika mendengar suara dentingan gelas, atau botol? Yang jelas, itu suara benda terbuat dari kaca. Napas berat seseorang pun terdengar samar-samar.Dengan gerakan cepat, Chalista hendak berlari keluar ruangan dan berteriak sekencang mungkin, tapi dirinya terlambat. Sosok itu, yang diketahui Chalista sebagai seorang pria, sudah menarik tangannya lebih dulu.“Tol—"Brak!“AKHH!!!”Pria itu menghimpit Chalista tepat di ambang pintu hingga pintu itu tertutup rapat kembali. Napas gadis itu menjadi tidak teratur dan jantungnya hampir copot.“Akhirnya kamu datang,
“Raf, kamu di dalem, kan? Udah siang, bangun!” mamanya kembali memanggil dari balik pintu. “Kamu harus fitting baju sama Monika hari ini, inget kan?”Rafael menoleh ke arah Chalista sejenak.“Kamu tunggu dulu, jangan ke mana-mana,” Rafael berucap sambil memakai bajunya yang berserakan di lantai. “Kita akan membahas ini lagi setelah aku mengurus Mama. Aku janji.”Saat Rafael berjalan menuju pintu, saat itulah Chalista melihat noda darah di kasur berseprai abu-abu milik Rafael. Itu… darah keperawanannya.‘Aku benar-benar sudah dinodai kakak angkatku sendiri… terlebih dia yang memaksaku.’ Chalista menutup mulutnya sambil terisak, khawatir sang mama mendengar suaranya dari luar.“KAMU MABUK LAGI, IYA KAN?!” suara bentakan khas Mayang, mama tirinya terdengar sampai ke dalam kamar. “Sudah berapa kali Mama bilang, berhenti melakukan kebiasaan buruk kamu itu!”Calista kembali menegang, takut tiba-tiba wanita paruh baya itu menerobos masuk ke dalam. Namun, mendengar suara tenang Rafael setelah