Arka turun dari mobilnya dengan wajah kusut. Dia terlihat menekuk wajahnya. Suram sekali. Sementara Ana langsung menyambut sang suami. “Sayang,” panggil Arka langsung memeluk Ana. Pelukan hangat di sore hari yang pertama kali mereka lakukan. Biasanya sepulang Arka kerja tak pernah seperti itu. “Mas Arka kenapa?” tanya Arka dengan pelan. Dia perlu membiasakan panggilan baru itu. “Gak apa-apa kok,” sahut Arka. Dia langsung mengelus dengan lembut kepala sang istri tercinta. “Kalo ada sesuatu, dibilang aja ya,” ucap Ana tanpa melihat langsung ke Arka. Semenjak percakapan malam kemarin, Ana jadi serba canggung saat berinteraksi dengan Arka. Seperti pertama kali bertemu. “Iya sayang, tenang aja,” ujar Arka. Lalu keduanya pun langsung masuk ke dalam. Di dalam terlihat Gio yang tengah berlari menuju papanya. “Pa, Gio punya mainan baru lagi,” ucap Gio nampak gembira menunjukkan mainan robot kontrol itu. “Bagus ya, siapa yang beliin?” tanya Arka tampak meneliti setiap sudut mainan
Keadaan semakin memanas. Dion berusaha menenangkan keduanya. “Bro, Arka, sabar. Ayo bicarakan dengan kepala dingin,” ajak Dion meminta Arka untuk duduk di sofa. “Diem,” tolak Arka tak mau disentuh Dion. Dion serba salah. Akhirnya dia sendiri memilih duduk di sofa sambil melihat perdebatan kedua mantan suami istri itu. “Mau bagaimana pun, Gio itu aku yang mengandung, aku juga yang melahirkan. Itu jauh lebih besar pengorbanannya daripada merawat saja,” ungkap Gisel dengan tenangnya. Tak ada rasa bersalah sedikitpun dalam benak dia. “Ibu macam apa kau Gisel? Tugas orang tua bukan cuma mengandung dan melahirkan. Tapi juga merawat,” titah Arka dengan nafas menggebu-gebu. “Sudah lupakan hal itu. Yang penting sekarang aku mau anakku, Gio,” bentak Gisel. Dia merapikan baju atasannya yang sangat mewah. “Gak akan aku biarkan kamu mengambil anakku, Gisel. Perempuan macam kamu gak pantas jadi ibunya Gio. Mau jadi apa Gio kalau hidup sama ibu yang tidak bertanggung jawab seperti kamu hah!
Ana Menggantungkan kalimatnya. Dia tampak panik saat melihat kedatangan sang suami yang tiba-tiba. “Mas Arka,” ujar Ana langsung berdiri. “Jadi kalian masih berhubungan?” tanya Arka menatap tajam pada Putra. “Tidak Tuan. Saya tidak sengaja bertemu Nona Ana disini,” jawab Putra dengan nada bergetar. Dia tampak kebingungan. Arka langsung menggandeng lengan Ana. “Awas saja kalau kamu macam-macam, Putra. Saya bisa pecat kamu!” ancam Arka dengan serius. Arka sesekali membelai rambut milik Ana. “Maaf Tuan, saya tidak akan macam-macam lagi,” kata Putra. Dia menunduk dalam sambil melirik ke arah Ana. “Mas, ayo pulang,” ajak Ana menarik tangan Arka. “Loh, saya baru sampai,” tolak Arka. Ana merasa tak enak hati dengan Putra. Lalu dia memaksa sang suami untuk mengikutinya. “Aku pengen beli cilok, beliin ya?” pinta Ana. Dia kembali menarik tangan Arka hingga mereka berdua menjauhi Putra. “Ayo, sama jus alpukat,” ucap Arka dengan yakin. Lalu keduanya pun pergi ke tempat jualan yang
Ana bungkam dengan pertanyaan Arka. Dia tak bisa menjawab kejelasan dari pertanyaan sang suaminya itu. Terlihat duda itu pun merajuk sekarang.“Mas, aku jelasin dulu,” pinta Arka mendekati meja kerja milik Arka.“Sudahlah, saya gak mau berharap lebih,” tolak Arka. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya. Dion hanya terlihat geleng-geleng melihat kelakuan dua pasangan di depannya itu.“Mas, aku kan mau lanjut kuliah. Kamu lupa ya?” peringat Ana kembali. Seketika Arka terdiam juga.“Jadi yang mau lanjut?” tanya Arka akhirnya.Ana mengangguk mantab. “Jadi dong, masa gak jadi. Kamu kan udah janji,” ujar Ana merengek pada Arka.Arka pun mengangguk. “Iya, besok saya urus,” kata Arka pada akhirnya. Ana pun tersenyum senang.“Bisnis skincare buat kamu, gagal launching,” ucap Arka memberitahu lewat tampilan laptop miliknya.Ana mendekati sang suaminya itu. “Gak apa-apa, kok. Kan bisa buat lain kali aja,” ujar Ana tetap tersenyum menerimanya.Arka terlihat pasrah juga. Melihat reaksi Ana, Arka jug
Semua penjaga tak bisa berkutik saat pasukan the Alfarez menyerbu gedung kosong tanpa ampun. Mereka semua dilumpuhkan ditempat. Dion memang paling bisa dalam urusan mengepung orang.“Nih ketiga pelakunya,” Dion membawa ke empat perempuan. Kaca mata mereka semua dibuka. Dihadapkan kepada ketiga Gus kembar.“Astaghfirullah, kenapa harus kalian, dan kamu siapa?” ucap Fahri dibuat kaget. Begitupun kemal dan Fatah yang tambah kaget.“Woahh, kalau Ning kembar mah gak kaget, dari kemarin suka buat masalah. Ya buat Jihan sedikit kaget lah, dendam kamu ke Adiva?!” geram Fatah.“Kenapa emang? Hahaha, kasian Adiva dikurung seharian di gedung kosong dan gelap. Paling setelah ini dia bakal depresi,” ucap Hajar tertawa keras.“Benar, mampus lah cewek pengganggu, gak jelas, miskin lagi!” imbuh Jihan dengan lirikan mematikan.“Astaghfirullah, jahat banget kalian!” tegur Fahri masih tak habis pikir dengan kelakuan ketiga orang itu.“Kamu siapa?” tanya Fahri pada seorang perempuan yang tak dia kenali d
Semua menoleh ke arah sumber suara berasal. Adiva menutup mulutnya, dia barusan sadar dengan suaranya yang begitu keras barusan. Nazila menyenggol bahu Adiva.“Maaf Zil,” ucap Adiva. Nazila langsung menepuk dahinya. Beruntungnya di ruangan itu hanya ada Gus kembar dan beberapa pengurus senior.“Asih, Adiva, kok keras banget sih suara kamu!” tegur Nazila dengan ekspresi takut.“Aduh, beneran maaf loh, aku saking terkejut soalnya,” ujar Adiva menggigit bibirnya. Dia memang benar-benar tak sengaja.“Gimana ini dong,” lirih Nazila. Dia seperti malu dan ketakutan.“Ya udah kabur aja yuk,” ajak Adiva. Nazila pun mengangguk. Mereka berdua sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari meninggalkan ruangan itu. Namun ada seseorang yang menghentikannya.“Loh, mau kemana kalian?” tanya Fatah. Ketiga Gus kembar pun menghampiri kedua perempuan yang sama-sama sedang ketakutan itu.“Ini Gus, mau ke asrama putri,” jawab Adiva. Sementara Nazila menunduk dalam. “Loh, sebentar dulu Nazila. Ini bang Kemal
Adiva mencoba melihat ke arah pintu, cahaya yang remang dan tak terlalu jelas. Adiva dapat mendengar suara itu dengan sangat jelas. “Kamu siapa?” tanya Adiva sedikit berteriak.Sosok perempuan itu semakin mendekat. Dia sekarang berada tepat di depan Adiva. Namun Adiva tak bisa melihatnya secara jelas. Sebab terbatasnya penerangan yang ada. “Kamu tidak perlu tau siapa aku,” ujar perempuan itu dengan suara lantang.Adiva mencoba membuka lagi tapi yang mengikat tangannya. Namun tetap saja itu percuma. Tapi itu terasa semakin erat mengikat tangannya. “Cepat lepaskan aku, ini sangat sakit,” keluh Adiva. Meringis kesakitan. Mana rasa lapar mulai mendesaknya. Dia bahkan tidak makan sedari pagi tadi.“Mimpi kamu, jauhin Fahri dulu, baru aku akan melepaskan kamu!” ancam perempuan itu memberi pilihan pada Adiva.Adiva menggeleng dengan cepat. “Nggak, aku gak mau, kenapa harus menjauhi Fahri? Memangnya kamu siapanya dia?” tanya Adiva dengan nafas memburu. Suaranya pun sudah mulai melemah. Dia se
Fatah menatap Jihan dan Hajar, dengan tatapan tak suka. Sedari awal dia memang tak suka dengan kedua orang itu.“Eh, Gus Fatah, ini kelakuan dia dulu Gus. Saya tiba-tiba disiram dari arah samping. Setelah itu dia gak mau tanggung jawab,” ungkap Hajar dengan perasaan takut.“Ya kan gak sengaja, kak Fatah,” ucap Jihan. Masih tetap saja membela dirinya.“Kalian berdua salah, terutama kamu Jihan. Cepet bersihkan kekacauan ini. Kalau gak mau ya pergi aja kalian dari Al Muhajirin,” sungut Fatah. Terlihat kesal dengan tingkah laku kedua perempuan itu.“Eeh, jangan gitu dong Gus, iya iya saya tanggung jawab,” ujar Hajar. Hana juga ikut hendak membereskan.Jihan terlihat sangat sombong sekali untuk sekedar mengakui kesalahannya. Dia nampak sewot.“Jihan!” peringat Fatah.“Iya iya,” sahut Jihan. Lalu mereka pun membersihkan lantai dan juga membereskan kekacauan yang telah terjadi.Adiva terlihat bahagia sekali dibuatnya. Dia senang akhirnya dua orang yang selama ini selalu membully- nya, dapat