Keadaan semakin memanas. Dion berusaha menenangkan keduanya. “Bro, Arka, sabar. Ayo bicarakan dengan kepala dingin,” ajak Dion meminta Arka untuk duduk di sofa. “Diem,” tolak Arka tak mau disentuh Dion. Dion serba salah. Akhirnya dia sendiri memilih duduk di sofa sambil melihat perdebatan kedua mantan suami istri itu. “Mau bagaimana pun, Gio itu aku yang mengandung, aku juga yang melahirkan. Itu jauh lebih besar pengorbanannya daripada merawat saja,” ungkap Gisel dengan tenangnya. Tak ada rasa bersalah sedikitpun dalam benak dia. “Ibu macam apa kau Gisel? Tugas orang tua bukan cuma mengandung dan melahirkan. Tapi juga merawat,” titah Arka dengan nafas menggebu-gebu. “Sudah lupakan hal itu. Yang penting sekarang aku mau anakku, Gio,” bentak Gisel. Dia merapikan baju atasannya yang sangat mewah. “Gak akan aku biarkan kamu mengambil anakku, Gisel. Perempuan macam kamu gak pantas jadi ibunya Gio. Mau jadi apa Gio kalau hidup sama ibu yang tidak bertanggung jawab seperti kamu hah!
Ana Menggantungkan kalimatnya. Dia tampak panik saat melihat kedatangan sang suami yang tiba-tiba. “Mas Arka,” ujar Ana langsung berdiri. “Jadi kalian masih berhubungan?” tanya Arka menatap tajam pada Putra. “Tidak Tuan. Saya tidak sengaja bertemu Nona Ana disini,” jawab Putra dengan nada bergetar. Dia tampak kebingungan. Arka langsung menggandeng lengan Ana. “Awas saja kalau kamu macam-macam, Putra. Saya bisa pecat kamu!” ancam Arka dengan serius. Arka sesekali membelai rambut milik Ana. “Maaf Tuan, saya tidak akan macam-macam lagi,” kata Putra. Dia menunduk dalam sambil melirik ke arah Ana. “Mas, ayo pulang,” ajak Ana menarik tangan Arka. “Loh, saya baru sampai,” tolak Arka. Ana merasa tak enak hati dengan Putra. Lalu dia memaksa sang suami untuk mengikutinya. “Aku pengen beli cilok, beliin ya?” pinta Ana. Dia kembali menarik tangan Arka hingga mereka berdua menjauhi Putra. “Ayo, sama jus alpukat,” ucap Arka dengan yakin. Lalu keduanya pun pergi ke tempat jualan yang
Ana bungkam dengan pertanyaan Arka. Dia tak bisa menjawab kejelasan dari pertanyaan sang suaminya itu. Terlihat duda itu pun merajuk sekarang.“Mas, aku jelasin dulu,” pinta Arka mendekati meja kerja milik Arka.“Sudahlah, saya gak mau berharap lebih,” tolak Arka. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya. Dion hanya terlihat geleng-geleng melihat kelakuan dua pasangan di depannya itu.“Mas, aku kan mau lanjut kuliah. Kamu lupa ya?” peringat Ana kembali. Seketika Arka terdiam juga.“Jadi yang mau lanjut?” tanya Arka akhirnya.Ana mengangguk mantab. “Jadi dong, masa gak jadi. Kamu kan udah janji,” ujar Ana merengek pada Arka.Arka pun mengangguk. “Iya, besok saya urus,” kata Arka pada akhirnya. Ana pun tersenyum senang.“Bisnis skincare buat kamu, gagal launching,” ucap Arka memberitahu lewat tampilan laptop miliknya.Ana mendekati sang suaminya itu. “Gak apa-apa, kok. Kan bisa buat lain kali aja,” ujar Ana tetap tersenyum menerimanya.Arka terlihat pasrah juga. Melihat reaksi Ana, Arka jug
Bu Mirna dengan penuh keraguan mendekati Ana. Arka melirik Mirna dengan tajam. Entah apa yang sedang dia rencanakan. “Nak, maafin ibuk ya,” ucap Mirna sambil memegang kaki sebelah kanan Ana. Ana menggeleng, “Gak usah, Ana bisa cuci sendiri,” tolak Ana menjauhkan kakinya. “Nggak Nak, ini perintah suami kamu. Mungkin ini bisa menebus dosa ibuk selama ini yang telah jahat pada kamu, nak,” lirih Mirna dengan suara merendah. Ana langsung beranjak berdiri. “Udah, Ana bilang gak usah. Bukan kayak gitu caranya,” ujar Ana. Dia nampak kesal melirik sekilas pada suaminya yang tengah memicingkan mata. “Ya sudah, mending anda siapkan makanan kesukaan istri saya sekarang juga,” titah Arka kembali lagi. Mirna langsung mengangguk dan langsung meninggalkan diri menuju dapur. “Mas, maksud kamu apa sih?” tanya Ana mendekati Arka. “Sudah, tak apa. Kamu pasti suka dengan rencana saya,” peringat Arka sambil mengelus lengan putih sang istrinya. Ana hanya merenggut kesal dibuatnya. Rasa penasaran Ana
Semua menoleh ke arah sumber suara berasal. Adiva menutup mulutnya, dia barusan sadar dengan suaranya yang begitu keras barusan. Nazila menyenggol bahu Adiva.“Maaf Zil,” ucap Adiva. Nazila langsung menepuk dahinya. Beruntungnya di ruangan itu hanya ada Gus kembar dan beberapa pengurus senior.“Asih, Adiva, kok keras banget sih suara kamu!” tegur Nazila dengan ekspresi takut.“Aduh, beneran maaf loh, aku saking terkejut soalnya,” ujar Adiva menggigit bibirnya. Dia memang benar-benar tak sengaja.“Gimana ini dong,” lirih Nazila. Dia seperti malu dan ketakutan.“Ya udah kabur aja yuk,” ajak Adiva. Nazila pun mengangguk. Mereka berdua sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari meninggalkan ruangan itu. Namun ada seseorang yang menghentikannya.“Loh, mau kemana kalian?” tanya Fatah. Ketiga Gus kembar pun menghampiri kedua perempuan yang sama-sama sedang ketakutan itu.“Ini Gus, mau ke asrama putri,” jawab Adiva. Sementara Nazila menunduk dalam. “Loh, sebentar dulu Nazila. Ini bang Kemal
Adiva mencoba melihat ke arah pintu, cahaya yang remang dan tak terlalu jelas. Adiva dapat mendengar suara itu dengan sangat jelas. “Kamu siapa?” tanya Adiva sedikit berteriak.Sosok perempuan itu semakin mendekat. Dia sekarang berada tepat di depan Adiva. Namun Adiva tak bisa melihatnya secara jelas. Sebab terbatasnya penerangan yang ada. “Kamu tidak perlu tau siapa aku,” ujar perempuan itu dengan suara lantang.Adiva mencoba membuka lagi tapi yang mengikat tangannya. Namun tetap saja itu percuma. Tapi itu terasa semakin erat mengikat tangannya. “Cepat lepaskan aku, ini sangat sakit,” keluh Adiva. Meringis kesakitan. Mana rasa lapar mulai mendesaknya. Dia bahkan tidak makan sedari pagi tadi.“Mimpi kamu, jauhin Fahri dulu, baru aku akan melepaskan kamu!” ancam perempuan itu memberi pilihan pada Adiva.Adiva menggeleng dengan cepat. “Nggak, aku gak mau, kenapa harus menjauhi Fahri? Memangnya kamu siapanya dia?” tanya Adiva dengan nafas memburu. Suaranya pun sudah mulai melemah. Dia se
Fatah menatap Jihan dan Hajar, dengan tatapan tak suka. Sedari awal dia memang tak suka dengan kedua orang itu.“Eh, Gus Fatah, ini kelakuan dia dulu Gus. Saya tiba-tiba disiram dari arah samping. Setelah itu dia gak mau tanggung jawab,” ungkap Hajar dengan perasaan takut.“Ya kan gak sengaja, kak Fatah,” ucap Jihan. Masih tetap saja membela dirinya.“Kalian berdua salah, terutama kamu Jihan. Cepet bersihkan kekacauan ini. Kalau gak mau ya pergi aja kalian dari Al Muhajirin,” sungut Fatah. Terlihat kesal dengan tingkah laku kedua perempuan itu.“Eeh, jangan gitu dong Gus, iya iya saya tanggung jawab,” ujar Hajar. Hana juga ikut hendak membereskan.Jihan terlihat sangat sombong sekali untuk sekedar mengakui kesalahannya. Dia nampak sewot.“Jihan!” peringat Fatah.“Iya iya,” sahut Jihan. Lalu mereka pun membersihkan lantai dan juga membereskan kekacauan yang telah terjadi.Adiva terlihat bahagia sekali dibuatnya. Dia senang akhirnya dua orang yang selama ini selalu membully- nya, dapat
Jihan menatap Fahri tak percaya. “Kak, kok jahat banget sih,” lirih Jihan.“Kamu yang jahat Jihan, kamu sudah membuat Adiva sakit hati. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Mulai sekarang kamu jangan ganggu saya lagi, dan jangan buat Adiva sakit hati. Atau saya akan membalas juga pada kamu,” ancam Fahri menatap serius pada Jihan.Jihan beralih menatap ke arah Balqis yang juga terdiam. “Ummah, kak Fahri jahat banget,” ucap Jihan mendekati Balqis dan memeluknya.“Jangan beranggapan seperti itu, Jihan. Apa yang kak Fahri ucapkan itu ada benarnya. Gak semua hal itu bisa kamu dapatkan, dan gak semua hal itu harus sesuai yang kamu mau. Tolong lebih dewasa lagi ya nak,” pinta Balqis menghapus air mata Jihan.“Nggak nggak, kak Fahri jahat. Kaka Fahri berubah gak seperti kak Fahri yang dulu. Aku kecewa sama kak Fahri. Ini pasti gara-gara wanita itu kan,” geram Jihan melirik Adiva dengan penuh rasa benci.Adiva menunduk, dia bingung harus berucap apalagi. Meskipun dirinya selalu dijatuhkan, t
Balqis dan Ashraf menuju ke rumah sakit, didampingi oleh Gibran dan istrinya. Mereka langsung menemui dokter yang menangani kemal.“Keadaan saudara Idris tidak baik-baik saja, Dia mengalami benturan yang cukup keras di kepalanya. Saudara juga mengeluarkan cukup banyak darah. Kami sedang mengusahakan yang terbaik untuknya,” ujar dokter laki-laki itu.“Apakah anak saya akan baik-baik saja dok?” tanya Ashraf begitu khawatir.“Insya Allah. Doakan selalu untuk saudara Idris,”“Terima kasih, dok,” ucap Ashraf menjabat tangan dokter itu.“Sudah Humairah, jangan sedih berlarut seperti ini. Anak kita selamat, Alhamdulillah,” Ashraf mendengarkan sang istri dengan memeluknya erat.“Tapi Mas, Kemal itu cengeng kalau luka sedikit. Terakhir waktu dia masih Mts, disuntik aja dia nangis-nangis semalaman,” kata Balqis sambil sesenggukan. Tangisnya pecah semenjak mendengar anak keduanya kecelakaan.“Humairah, dia sudah dewasa. Kamu lupa ya, dia sudah kuliah semester empat. Dia sudah jadi anak kuat, sab
Fahri tersenyum penuh arti. Akhirnya keinginannya dapat terwujud. “Gus Fahri , kenapa senyum-senyum sendiri?”Suara Adiva menyadarkan lamunan Fahri. “Alhamdulillah kamu sudah menerimanya,” ujar Fahri menunduk malu.“Maksudnya menerima apa ya Gus,” ucap Adiva kebingungan. Padahal sedari tadi dia hanya minat Fahri yang melamun menatap lurus ke depan.“Loh, barusan kamu ngomong apa emang,” “Lah, ga ngomong apa-apa kok, Gus, justru Gus Fahri itu yang bengong. Lagi ngelamunin apaan coba!” gelak Adiva. Fahri memukul-mukul kepalanya pelan. Bisa-bisanya dia berkhayal sampai kesitu. Karena sudah terlanjur malu, akhirnya Fahri meninggalkan meja itu dan menuju ke mejanya sendiri. Nasib sudah, harapannya hanya sebatas khayalan saja.***Setelah hampir dua minggu- an, pesantren Al Muhajirin pasca berduka. Kini aktivitas belajar mengajar di pesantren Al Muhajirin kembali konsisten lagi. Jadwal kegiatan santri dan santriwati sudah seperti biasanya.Terlihat dua perempuan memakai jilbab pasmina den
Tujuh belas hari berlangsung semenjak kecelakaan, Kemal belum tersadarkan juga dari komanya. Yang biasanya menangis dengan histeris, namun sekarang berbeda. Balqis terduduk di samping sang putra dengan tatapan kosong, bahkan sudah dua hari ini dia tidak mau menyentuh makanan sedikitpun.“Humairah, Ayo makan, kamu jangan seperti ini sayang. Disini ada mas, kamu harus kuat. Anak kita pasti baik-baik saja, percaya sama mas,” Ashraf selalu saja membujuk sang istri. Namun tak ada respon. Sang istri hanya termenung dengan tatapan kosong dengan sesekali air matanya mengalir. Dengan setia sang ibu menemani putra keduanya itu.“Abah,” panggil Fahri.“Coba kamu bujuk ummah kamu, dia nanti bisa sakit kalau gak mau makan kayak gini, Fahri,” “Baik Abah, Fahri coba,”Fahri mendekati Ummahnya, Fahri menangis memeluk sang ummah. “Ummah, ayo makan. Ummah udah dua hari loh belum makan. Nanti ummah sakit, nanti siapa yang mau jaga Kemal lagi kalau ummah sakit. Kemal pasti sedih banget liat ummah kaya
Fahri memarkirkan motornya di parkir perpustakaan. Dia baru selesai jam mata kuliahnya dan sekarang mau mencari beberapa buku untuk rujukan tugasnya. Terlihat Adiva yang baru keluar dari perpustakaan. Fahri pun menghampiri Adiva yang mau menuju ke parkiran untuk mengambil motornya.“Adiva, ada salam dari ustadzah Ratna. Nanti jam empat sore ada tambahan jam mengajar untuk kamu,” kata Fahri.“Iya,” jawab Adiva lalu menyalakan motornya.“Adiva tunggu! Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” Adiva mematikan motornya, laku membuka Helm yang sudah dia kenakan. “Kenapa Gus?” tanyanya.“Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu,” kata Fahri.“Maaf Gus, saya sedang terburu-buru, ada urusan,” kata Adiva lalu memakai kembali helmnya dan langsung melajukan motornya dengan kecepatan sedang.Fahri hanya berdecak pelan melihat Adiva yang sepertinya menjauhi dirinya. Sementara dari belakang tiba-tiba ada yang menepuk bahu Fahri dengan pelan.“Gimana Gus?” Farhan terlihat tersenyum miring menatap Fah
Balqis menggeleng cepat. “Nak, kamu anak ummah sama Abah. Maafin Abah ya, Abah lagi emosi. Abah cuman gak mau kamu kenapa-kenapa, kamu sangat berharga untuk kami,” ucap Balqis sambil mengelus pipi Fatah.“Humairah, jangan selalu dibela dan dimanja. Dia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi,” larang Ashraf kembali ke tempat duduknya.Sementara Fahri dan Kemal masih berdiri mematung. Mereka tak ada hak untuk membela sang kembaran, mereka hanya terdiam melihat semua hal yang telah terjadi.“Mas, sudah mas, dia anak kita. Dan anak itu titipin, gak ada yang sempurna. Mungkin ini kekurangan Fatah, aku yakin kalau dia bisa berubah,” kata Balqis terus saja mengelus pipi sang anak yang sudah kemerahan.“Tidak ummah, Fatah bukan anak baik. Fatah gak pantas berada disini, ummah,” kata Fatah menatap sang ummah yang begitu tulus menyayanginya.“Jangan seperti itu nak, ummah mengandung kamu selama sembilan bulan. Menyusui kamu, merawat kamu sampai sebesar ini. Setelah itu kamu merasa karena kekuranga
Fahri dan Fatah berlari secepat mungkin melewati lorong rumah sakit. Mereka berdua sangat panik saat mendengar kabar kalau saudara kembarnya mengalami kecelakaan. Hari ini mereka tidak memegang ponsel, ponsel keduanya sama-sama tertinggal di pesantren entah kenapa bisa berbarengan seperti itu.Hingga sore hari seorang santri menghampiri kampus dan menemui keduanya untuk memberitahu keadaan kemal yang sedang berada di rumah sakit. “Astaghfirullah, hp Fahri sama Fatah ketinggalan. Abah, Ummah, bagaimana keadaan Kemal?” tanya fahri dengan nafas memburu.“Bang Kemal baik-baik aja kan, Abah, Ummah,” begitupun dengan Fatah. Badannya terasa sakit setelah bercosplay menjadi hokage ke tujuh.Tertinggal suara tangisan balqis yang terus-menerus. Dari sang comments tak ada jawaban melahirkan air mata yang terus aja mengalir deras. “Insya Allah. Saudara kalian akan baik-baik saja,” terang Ashraf sambil terus mengelus bahu sang istri.“Ummah,” panggil Fahri yang langsung memeluk sang ummah dengan
Beberapa penonton yang mendengar ucapan Alya langsung tertawa dan berbisik. Fatah terlihat semakin kesal dibuatnya. Perempuan disampingnya ini benar-benar membuatnya merasa tak nyaman.“Sudah gagal jadi juara satu, ditambah berurusan sama perempuan kek gini, astaghfirullah,” ucap Fatah meninggalkan Alya.“Eh, tunggu, Fatah? Kamu mau kemana!” kata Alya sambil berlari kecil mengejar Fatah.“Aelah, bang, tolongin dong!” ucap Fatah memelas pada kedua saudaranya.Fahri dan Kemal saling berpandangan, adik ketiganya memelas memohon perlindungan dari perempuan disampingnya itu.“Maaf ya mbak, kembaran saya ini belum pernah dekat dengan perempuan. Jadi jangan bersikap seperti itu,” ucap Kemal dengan ramah.Alya mengerjap beberapa kali, “Ouhh, alergi perempuan atau gimana?” tanya Alya menatap ketiga Gus kembar itu secara bergantian.Kemal dan Fatah menepuk jidatnya bersamaan. “Astaghfirullah, kenapa harus seperti ini,” ucap Fatah merutuki kejadian sekarang yang menimpanya- lagi.Setelah itu, ke
Sementara di luar pintu ruangan itu, Kemal sedang tertawa geli. Idenya berjalan juga meskipun tidak tau gagal atau berhasil. Lalu Kemal pun memasuki ruangan itu dengan senyuman khasnya. Dia berjalan dengan sangat santai.“Gus Kemal!” sapa ustadz Ridho.“Sudah sampai mana diskusinya?” tanya Kemal berderham berpura-pura tidak tau sambil melihat berkas yang dipegang ustadz Ridho.“Ini Gus, pembacaan tugas masing-masing,” kata Ustadz Ridho menunjukkan pada bagian atas nama-nama dan tugasnya.“Oalah, silahkan lanjut saja,” katanya lalu duduk diantara kedua saudara kembarnya.“Baik Gus. Bagaimana Gus Fahri, apa mau diubah atau tetap begini saja?” tanya ustadz Ridho pada Fahri.“Mungkin diubah saja, Ustadz. Masih ada ustadz yang lain yang bisa menjalankan tugas itu,” ucap Fahri dengan cuek.“Kenapa harus diubah? Biarkan saja seperti itu, sepertinya sudah lengkap kan dengan tugasnya masing-masing,” sanggah Kemal dengan cepat.“Ubah saja!” Kedua saudara itu saling sanggah. Para ustadz dan ust
Adiva hanya tersenyum dibuatnya, lain dengan Fahri yang sudah semrawut. Rambutnya sudah acak-acakan karena dia yang mengajaknya sendiri. Mungkin dia terlalu malu dan tak enak dengan candaan sang ummah yang berlebihan, apalagi di depannya sedang ada Adiva.“Ummah,” peringat Fahri pada sang ummah agar tak melancarkan lagi bercanda yang berlebihan.“Saya izin kembali ke ruangan dulu Bu Nyai,” pamit Adiva.“Silahkan nak, kamu jangan risih ya kalau saya becandain kayak barusan. Dibalik bercanda saya itu ada yang kata-kata serius juga,”“Iya Bu nyai,” pamit Adiva mencium tangan Balqis.Adiva meninggalkan ruangan itu. Barulah Fahri bisa leluasa memprotes sang ummah yang bercanda tak habis-habisnya. “Ummah, biar apa coba, kayak gitu waktu ada Adiva,” kata Fahri.“Loh, emangnya salah ya, ummah cuma mau bercanda kok,” ucap Balqis sambil menahan tawanya.“Fahri mau ke asrama putra aja deh,” Fahri langsung meninggalkan sang ummah. Balqis geleng-geleng melihat sang anak sedang badmood akan dirinya