Ana bungkam dengan pertanyaan Arka. Dia tak bisa menjawab kejelasan dari pertanyaan sang suaminya itu. Terlihat duda itu pun merajuk sekarang. “Mas, aku jelasin dulu,” pinta Arka mendekati meja kerja milik Arka. “Sudahlah, saya gak mau berharap lebih,” tolak Arka. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya. Dion hanya terlihat geleng-geleng melihat kelakuan dua pasangan di depannya itu. “Mas, aku kan mau lanjut kuliah. Kamu lupa ya?” peringat Ana kembali. Seketika Arka terdiam juga. “Jadi yang mau lanjut?” tanya Arka akhirnya. Ana mengangguk mantab. “Jadi dong, masa gak jadi. Kamu kan udah janji,” ujar Ana merengek pada Arka. Arka pun mengangguk. “Iya, besok saya urus,” kata Arka pada akhirnya. Ana pun tersenyum senang. “Bisnis skincare buat kamu, gagal launching,” ucap Arka memberitahu lewat tampilan laptop miliknya. Ana mendekati sang suaminya itu. “Gak apa-apa, kok. Kan bisa buat lain kali aja,” ujar Ana tetap tersenyum menerimanya. Arka terlihat pasrah juga. Melihat rea
Bu Mirna dengan penuh keraguan mendekati Ana. Arka melirik Mirna dengan tajam. Entah apa yang sedang dia rencanakan. “Nak, maafin ibuk ya,” ucap Mirna sambil memegang kaki sebelah kanan Ana. Ana menggeleng, “Gak usah, Ana bisa cuci sendiri,” tolak Ana menjauhkan kakinya. “Nggak Nak, ini perintah suami kamu. Mungkin ini bisa menebus dosa ibuk selama ini yang telah jahat pada kamu, nak,” lirih Mirna dengan suara merendah. Ana langsung beranjak berdiri. “Udah, Ana bilang gak usah. Bukan kayak gitu caranya,” ujar Ana. Dia nampak kesal melirik sekilas pada suaminya yang tengah memicingkan mata. “Ya sudah, mending anda siapkan makanan kesukaan istri saya sekarang juga,” titah Arka kembali lagi. Mirna langsung mengangguk dan langsung meninggalkan diri menuju dapur. “Mas, maksud kamu apa sih?” tanya Ana mendekati Arka. “Sudah, tak apa. Kamu pasti suka dengan rencana saya,” peringat Arka sambil mengelus lengan putih sang istrinya. Ana hanya merenggut kesal dibuatnya. Rasa penasa
Gisel nampak cemberut mendengar cemoohan Arka. Dia semakin kesal dibuatnya. Gisel bergelayut manja ke lengan sang suami yang baru sah baginya. “Sayang …,” lirih Gisel. “Tenang istriku. Mungkin dia tampak cemburu melihat kita bisa bersama. Dia sangatlah menyesal telah berpisah denganmu,” ujar Raka sambil mengelus lembut tangan Gisel. Gisel lalu mengangguk dengan cepat menyetujui perkataan Raka. Arka lalu menggandeng tangan Ana. “Kamu bilang saya cemburu? Mustahil. Tidak mungkin saya cemburu pada wanita yang telah menelantarkan buah hatinya. Bahkan sejak di usia yang masih bayi. Saya sudah mendapatkan ganti yang lebih baik. Lebih cantik, lebih pintar, lebih ke-ibuan, dan tentunya sangat menghormati saya sebagai suaminya. Selamat bersenang-senang, Raka. Setelah ini, calon anakmu yang akan menjadi sosok bayi mungil tanpa ibu, mungkin!” Kelakar Arka dengan penuh percaya dan suara sangat santai. Terlihat Gisel semakin geram dengan ucapan Arka yang semakin merendahkannya. “Kamu jangan memf
Dengan terpaksa, Ana membawa Gio ke kampusnya. Tepat di hari pertama masuk perkuliahan. Tapi Ana tidak mengulang semester lagi, dimana dia langsung semester lima. “Tante, nanti Gio sama siapa kalo Tante sekolah?” tanya Gio dengan polosnya. Dia tampak bertanya sambil memainkan pesawat kecilnya. “Sama tante Ana dong. Tapi Gio yang tenang nanti ya. Mainnya diem aja. Biar tidak ganggu temennya tante Ana waktu belajar,” ujar Ana mengelus wajah mungil dan menggemaskan itu. Gio mengangguk setuju. Gio juga tipikal anak yang bisa diajak kerja sama. Tapi bagaimana lagi, Ana tetap merasa kurang nyaman dengan dibawanya Gio ke dalam kelasnya. Ana menapakkan kakinya lagi di sebuah kampus besar di kota. Perasaan gugup bercampur gembira. Rasanya sangat campur aduk. Ada rasa bangga dalam dirinya. Sebab dia dapat melanjutkan kembali kuliahnya yang sempat tertunda. Ana menuju fakultas ekonomi dan bisnis. Dimana jurusan dia adalah manajemen bisnis. Setelah mengurus beberapa administrasi yang belum te
Anak diam tak bergeming. Dia keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar Gio. Ana mengelus singkat wajah mungil dan menggemaskan itu. Ana terlihat melamun beberapa saat, memikirkan semua perkataan dari Arka. “Ucapannya tidak bisa dipegang,” ucap Ana bergeming. Wajahnya terlihat memerah. Dia hanya ingin fokus dengan kuliahnya. Tapi sudah diberi cobaan lagi dan lagi. Mirna mengendap-endap di depan kamar Gio. Dari tadi dia menguping semua pembicaraan Arka dan Ana. Dia tampak menyembunyikan sebuah rencana buruk. “Nak, boleh ibu masuk?” panggil Mirna sambil mengetuk pintu dengan pelan. Ana tak menjawab. Dia hanya terbangun dari baringnya. Sementara Bu Mirna tak menunggu persetujuan Ana. Dia langsung nyelonong masuk ke dalam. “Kenapa Bu?” tanya Ana dengan tatapan kesal. “Ibu cuma mau lihat kamu. Oh iya, kamu belum makan. Ayo makan dulu, nanti sakit loh,” ujar Mirna sambil memijat lengan Ana kembali. “Aku masih kenyang,” ucap Ana. Dia kembali berbaring lagi di sebelah Gio. “Ibu tau ka
Prang!! Sebuah guci besar terjatuh di sebelah televisi. Hiasan ruangan itu tampak hancur di lantai dan sudah berantakan. “Ada apa?” tanya Ana menghampiri kejadian itu. “Ibu tidak sengaja menjatuhkan gucinya, nak,” keluh Mirna dengan membungkuk dan membersihkan pecahan guci itu. “Sudah Bu, tak apa. Biar bi Sri saja yang membersihkan,” ucap Ana membantu Mirna berdiri. Sementara Mirna langsung menampilkan senyuman terhangatnya. “Kamu memang anak yang baik. Kamu bahkan sangat baik. Kamu juga sangat berbakti kepada orang tua, nak. Sungguh mulia kamu,” puji Mirna terus menerus. Dia mengelus pipi Ana yang begitu halus dan putih bersih. “Sudah Bu, jangan berlebihan,” ucap Ana. Sementara Ana langsung memanggil bi Sri untuk membereskan kejadian itu. Bi Sri langsung patuh pada suruhan nona mudanya itu. “Itu pasti sangat mahal ya, nak. Ibu takut kalau nanti suami kamu marah sama ibu. Ibu juga tidak sengaja. Kamu tau sendiri kan kalau ibu ini penglihatannya sudah tidak sejelas dulu,” ujar Mir
Fatah dan Kemal saling pandang. Keduanya sama-sama menggaruk kepalanya. Terlihat raut kebingungan terpancar pada keduanya.“Tuh kan, bingung. Nyatanya orang itu hanya pintar menasehati, tapi juga bingung dengan dirinya sendiri,” ucap Fahri menyindir kedua saudara kembarnya.“Aku sama Alya gak ada hubungan apapun bang. Ya kalau emang aku berada di posisi bang Fahri, pastinya udah aku perjelas tuh hubungan yang seperti apa. Soalnya yang namanya cewekpaati butuh kepastian,” ungkap Fatah menyorot serius pada Fahri.Mereka bertiga sedang duduk di kasurnya masing-masing. Dan ketiga saling berhadapan. Kamar mereka memang sangat luas untuk ukuran tiga orang.“Sama juga sih bang, aku sama Nazila juga gak ada apa-apa. Kami hanya sebatas saling mengagumi. Ngomong aja jarang, beda sama kamu dan Adiva. Udah dikenalkan ke ummah malah, kurang deket apa coba!” ucap Kemal mengembalikan perkataan Fahri lagi.“Ngomong sama kalian mah gak ada bedanya, iya nanti tak kasih paham ke Adiva. Tak tanyain juga
Fahri dan Adiva begitu terkejut mendengar penuturan dari Ashraf. “Abah, tidak bercanda kan? tanya Fahri mendekati sang Abah.“Buat apa bercanda, Fahri. Menikah itu hal yang serius, bukan untuk bercandaan,” ucap Ashraf.Seketika Fahri langsung memeluk sang Abah. “Makasih Abah, Fahri seneng banget,” ucap Fahri memeluk erat sang Abah.“Sudah sudah, fokus sama kuliahnya dulu tapi. Setelah lulus langsung menikah juga tak apa. Jaga diri masing-masing dan jangan tinggalkan pendidikan dulu,” peringat Ashraf. Pada Fahri dan Adiva.“Iya nak, dua tahun itu waktu sebentar kok. Ummah yakin kalian pasti bisa,” ucap Balqis tersenyum keoada Fahri dan Adiva.“Siap bos,” ucap Fahri berdiri lalu seperti memberi hormat kepada kedua orang tuanya. Ashraf dan Balwis hanya tersenyum dibuatnya.“Terima kasih banyak, Kyai, dan Bu Nyai,” kata Adiva membelas senyum mereka.“Dan mulai sekarang, kamu harus memanngil kami sama seperti Fahri memanggil kami. Dan untuk semua kebutuhan kamu, saya yang akan menanggung m
Adiva mencoba melihat ke arah pintu, cahaya yang remang dan tak terlalu jelas. Adiva dapat mendengar suara itu dengan sangat jelas. “Kamu siapa?” tanya Adiva sedikit berteriak. Sosok perempuan itu semakin mendekat. Dia sekarang berada tepat di depan Adiva. Namun Adiva tak bisa melihatnya secara jelas. Sebab terbatasnya penerangan yang ada. “Kamu tidak perlu tau siapa aku,” ujar perempuan itu dengan suara lantang. Adiva mencoba membuka lagi tapi yang mengikat tangannya. Namun tetap saja itu percuma. Tapi itu terasa semakin erat mengikat tangannya. “Cepat lepaskan aku, ini sangat sakit,” keluh Adiva. Meringis kesakitan. Mana rasa lapar mulai mendesaknya. Dia bahkan tidak makan sedari pagi tadi. “Mimpi kamu, jauhin Fahri dulu, baru aku akan melepaskan kamu!” ancam perempuan itu memberi pilihan pada Adiva. Adiva menggeleng dengan cepat. “Nggak, aku gak mau, kenapa harus menjauhi Fahri? Memangnya kamu siapanya dia?” tanya Adiva dengan nafas memburu. Suaranya pun sudah mulai melemah. Di
Hari ini cuaca sedikit mendung, matahari tidak menampakkan diri. Tepat pukul delapan lewat tiga puluh menit, Yusuf memasuki sebuah tempat makan. Dia sedang ada kerjaan bisnis dengan teman lama nya. Jadi dia memutuskan untuk membahas pekerjaan nya sambil sarapan. Yusuf memakai baju lengan panjang polos, serta celana jeans hitam. Dia terlihat sangat tampan. Dengan alisnya yang tebal dan hidung yang mancung, menjadikan dia terlihat lebih tampan berkali-kali lipat.Yusuf langsung memesan nasi Padang, karena tempat ini terkenal dengan masakan padangnya yang enak dan lezat.Apalagi dipadukan dengan teh hangat, rasa nya tidak ada duanya.Hendra- teman bisnis Yusuf langsung menghampiri Yusuf. Mereka duduk dibangku pojok sebelah kiri."Pagi bro." Sapa Hendra."Alhamdulillah, akhirnya datang. Langsung pesan makan aja, hitung-hitung sambil sarapan." Tawar Yusuf kepada Hendra."Oke lah, sebentar." Akhirnya Hendra langsung memesan beberapa menu lauk nasi Padang.Setelah itu mereka langsung sarap
Semua menoleh ke arah sumber suara berasal. Adiva menutup mulutnya, dia barusan sadar dengan suaranya yang begitu keras barusan. Nazila menyenggol bahu Adiva. “Maaf Zil,” ucap Adiva. Nazila langsung menepuk dahinya. Beruntungnya di ruangan itu hanya ada Gus kembar dan beberapa pengurus senior. “Asih, Adiva, kok keras banget sih suara kamu!” tegur Nazila dengan ekspresi takut. “Aduh, beneran maaf loh, aku saking terkejut soalnya,” ujar Adiva menggigit bibirnya. Dia memang benar-benar tak sengaja. “Gimana ini dong,” lirih Nazila. Dia seperti malu dan ketakutan. “Ya udah kabur aja yuk,” ajak Adiva. Nazila pun mengangguk. Mereka berdua sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari meninggalkan ruangan itu. Namun ada seseorang yang menghentikannya. “Loh, mau kemana kalian?” tanya Fatah. Ketiga Gus kembar pun menghampiri kedua perempuan yang sama-sama sedang ketakutan itu. “Ini Gus, mau ke asrama putri,” jawab Adiva. Sementara Nazila menunduk dalam. “Loh, sebentar dulu Nazila. Ini ba
Pun dengan Layla yang bisa melewati segala macam ujian dalam mencintai seorang Abidzar Al-Ghifari. Ujian itu silih datang berganti, Layla semakin hari semakin tahu jika ujiannya bukan hanya sebatas ujian untuk dirinya namun juga untuk keutuhan rumah tangga nya. Karena disini sebenarnya mereka berdua sama-sama di uji. Di uji untuk saling bertahan, di uni untuk saling berjuang dan di uji untuk saling berkorban.Tidak ada yang sia-sia dalam sebuah perjuangan, dan disini Layla membuktikan bahwa ucapan nya kala itu untuk bisa mendapatkan hati Abidzar sudah terkabul. Dia bisa memiliki Abidzar seutuhnya, dan sampai mereka mempunyai seorang nak yang sangat lucu dan menggemaskan seperti mereka berdua tentunya "Iya Mas tau, dan Mas sudah menyadari itu sejak awal kita bertemu. Kamu sangat berbeda Humaira, kamu terlihat menenangkan dan hati ini langsung terpaut dengan kesabaran mu. Terima kasih telah kau bertahan hingga sejauh ini, dan maaf atas segala ketidak baikan yang kamu daoat selama kita b
Beberapa bulan kemudian."Mas." Panggil Layla saat Abidzar masih memasak untuk sarapan mereka berdua. Abidzar yang sadar sedang dipanggil, langsung tergesa-gesa untuk menghampiri istrinya itu. "Ada apa Humaira, kamu mau apa sekarang?" Tanya Abidzar langsung."Perutku sakit Mas, apa sudah mau keluar ya anak kita, aku harus gimana Mas?" Tanya Layla. Dan kangsung saja Abidzar berubah khawatir. "Loh, Layla, ya sudah ayo kita langsung menuju ke rumah sakit, kamu ini gimana sih kok masih ragu, ayo Humaira, tapi sebentar dulu Mas mau matyin kompor dan mau siap-siap. Tahan ya Humaira.""Cepat Mas." Pinta Layla dan langsung saja Abidzar bergegas dan setelah itu mereka langsung berangkat menuju ke rumah sakit terdekat. Abidzar mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan, dia tidak tega melihat Layla yang sedang merintih menahan kesakitan, dan benar saja sampai di rumah sakit Layla langsung dimasukkan ke ruangan khusus dan tertutup.Sebelum Abidzar memasuki ruangan itu, Abidzar menghubungi U
Namaku Abidzar, biasa dipanggil Abi atau Bi. Aku memutuskan untuk menuntut ilmu di salah satu pesantren besar yang ada di kota Jakarta. Namanya Pesantren Modern.Dari masa Tsanawiyah aku sudah disana, bahkan hingga masa Aliyah. Aku sangat ingin menjadi salah satu ustadz di pesantren modern.Setiap hari aku berusaha untuk tekun belajar, terutama belajar ilmu keagamaan. Cita-cita mulia ini juga berawal dari Abah ku, yang menjadi salah satu guru besar di dunia pendidikan terkemuka.Tapi aku ingin mengajar di pesantren saja, dimana aku bisa juga sambil mengabdi di pesantren tersebut.Ini no no no no no koi no no no no noSetiap hari ku lalui hari ini dengan semangat, tanpa lelah dan selalu ingin belajar. Aku harap dimasa depan semua ini dapat terbayar, semoga lelah ku ini menjadi Lillah. Insya Allah.Hingga tiba setelah kelulusan tes, dimana namaku terpampang paling atas. Sebagai ustadz, iya aku dapat mengajar di pesantren modern. Pesantren yang pernah mengajarkan ku banyak ilmu dan banya
Lailatul Jannah, gadis muda yang besar di kota Jakarta. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan Doni dan Winda. Nama panggilan nya adalah Layla. Dia tumbuh di lingkungan yang baik. Saat berumur tiga belas tahun, dia melanjutkan pendidikan nya di salah satu pondok pesantren salaf di kota Jakarta. Nama pondok pesantren nya jalan Pondok pesantren Salaf Nurul Huda yang bertepatan di Jakarta Timur. Layla merupakan salah satu santriwati yang terkenal dengan sifat rajin nya. Dia santriwati yang berprestasi di banyak bidang, baik bidang keagamaan maupun bidang pengetahuan umum. Dia menghabiskan masa remaja di pondok pesantrennya. Delapan tahun dia disana untuk memperdalam ilmu keagamaan nya. Dia ingin menjadi salah satu juru dakwah untuk kaum perempuan di masa mendatang. Layla sangat fokus di kehidupan sehari-hari nya, dia tidak ikut pergaulan yang salah. Untuk itu setelah dia lulus jenjang SMA, dia diminta untuk mengajar di pondok pesantren nya sebagai ustadzah. Layla sangat bersyukur bisa
"Maryam!" Panggil seorang perempuan memakai daster dari dalam kamar sebelah di rumah itu."Iya Kak, ada apa?" Sahut seorang perempuan memakai Jilbab rawis berwarna hitam."Siapa yang nyuruh kamu buat lanjut kuliah? Nanti ngerepotin aja kalau butuh apa-apa, Kita ini keluarga miskin, bapak sama ibu juga udah ga kerja, harusnya kamu itu sadar diri." Firda- kakak kedua Maryam yang kini sedang memaki Maryam untuk tidak melanjutkan pendidikan nya ke jenjang lebih tinggi lagi.Maryam terkejut dengan sikap kakak perempuan nya itu, padahal dirinya sekarang bunuh dukungan, bukan hanya hinaan dan sebuah tuduhan. Maryam menatap kakaknya dengan mengiba, dirinya tidak seperti itu, dia ingin melanjutkan kuliahnya karena dia ingin mengangkat derajat keluarga nya itu lebih baik lagi, terutama untuk mengangkat derajat kedua orang tuanya."Ma- maaf Kak. Aku cuma mau mengejar cita-cita ku saja. Untuk urusan biaya nanti aku akan berusaha buat cari beasiswa, Insya Allah. Semua pasti dimudahkan kak." Maryam
Maryam hanya diam mendengar semua kata-kata yang terdengar pilu dari kakak perempuannya itu. Terlihat juga raut kecewa dari orang tuanya, kalau sudah begini apa yang harus Maryam lakukan. Maryam meminta maaf lalu kemudian tetap berjuang, atau Maryam terus bekerja hingga dia menabung banyak uang sampai keluarga nya bangga dan terbebas dari kekurangan, benar saja Maryam sekarang dilema."Maaf Bu, setelah gajian nanti Maryam lunasi hutang ibu. Dan setelah ini Maryam tidak akan menyusahkan lagi." Maryam mendekat dan duduk di depan ibunya. Lalu Kulsum, menghela nafas pasrah. "Sudah tidak apa-apa, tapi benar kata kakakmu, sebaiknya kamu jangan lanjut buat kuliah. Kita ini serba kekurangan, apalagi kalau kamu nanti kuliah sudah gak bisa kerja lagi. Kalaupun tetap kerja nanti takutnya kecapean.Maryam sadar, atau hanya sebatas mimpi. Satu-satunya orang yang Maryam anggap akan selalu mendukung ternyata juga sudah tidak yakin terhadap dirinya. Maryam tau diri, cukup, dia sudah tidak punya lagi