Waduh, waduh. Agak bikin baper ya mereka berdua. Gimana nih bab kali ini? Jangan lupa tinggalkan pesan di komentar ya, biar author semangat ^^ Sampai jumpa di bab selanjutnya~
“Bisakah aku serahkan permasalahan catering hidangan pesta itu padamu?” Embun terdiam. Ia menyadari bahwa dugaannya tepat. Suaminya ini berniat untuk meminta bantuannya dan mengalihkan tanggung jawab hidangan pesta pada Embun. “Tunggu, tunggu dulu.” Segera, Embun berucap. Ia bahkan sudah lupa sama sekali pada steik di piringnya, yang sudah dipotong-potong dengan rapi oleh Kaisar. Di kepalanya langsung terlintas banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban. “Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Kaisar.” Kaisar menggeleng. “Menurutku, ini bukan keputusan gegabah, Embun,” jawabnya. Ia menyadari kepanikan serta kebingungan di wajah sang istri, karenanya ia menghela napas dan berkata, “Maaf karena tiba-tiba melemparkan topik berat saat kita seharusnya makan malam. Ayo makan dulu, Embun.” Pria itu mengangkat garpu dan pisaunya sekali lagi, kembali memotong daging di depannya. Sikapnya yang tenang dan terkontrol itu perlahan membuat kepanikan Embun mereda. Istri Kaisar itu menunduk me
“Kalau begitu,” ucap Embun lambat-lambat, setelah berpikir sejenak dan mengatur debar di dadanya. “Mohon dukungannya, Kaisar.” Kaisar tersenyum sedikit lebih lebar, kemudian mengangguk. “Jika ada kendala atau kesulitan, langsung katakan padaku.” Pria itu berucap. “Siap, Pak Kaisar.” Embun balas tersenyum. Keduanya kemudian lanjut mengobrol mengenai acara tersebut dan banyak hal lain, sembari makan malam. Karena malam ini Kaisar yang memasak makan malam, maka Embunlah yang membereskan meja makan dan mencuci alat makan, serta peralatan bekas memasak tadi. Namun, tetap dibantu oleh Kaisar. Semuanya terasa alami dan “pas” saat dilakukan berdua. Nyaman yang dirasakan Embun juga dialami oleh Kaisar. Sepasang suami istri tersebut mengobrol hingga malam, sebelum kemudian berpisah dan tidur di kamar masing-masing. “Kamu nanti ke hotel?” tanya Kaisar keesokan paginya, saat ia mengantarkan Embun ke Kafe Senjakala. Mendengar itu, Embun menoleh ke arah Kaisar. Tangannya yang hendak memb
“Baiklah. Kita istirahat dulu ya.” Embun berucap pada para stafnya yang terlibat rapat sembari membereskan berkas di mejanya. Wanita bermata cokelat tersebut kemudian mengambil ponselnya dan turun ke lantai satu untuk menyapa tamu tersebut. Di kejauhan, Embun melihat sesosok pria tua yang sangat familier, tapi belakangan jarang ia temui karena kesibukannya. “Embun!” Pria tua itu berdiri, menyambut Embun dengan hangat saat Embun berjalan tergesa mendekatinya. Wajahnya yang mulai keriput tampak semringah melihat sang menantu. “Papa Surya,” sapa Embun. Wanita itu tersenyum. “Bagaimana kabarnya?” “Baik, baik. Wah, menantu Papa.” Surya Rahardja memeluk Embun sekilas sebelum kembali mengamati wajah Embun. “Kamu bagaimana? Sehat? Sedang sibuk ya?” Embun tertawa kecil. “Sehat, Pa,” jawabnya. “Ayo duduk. Papa mau minum apa? Sudah makan?” Wanita itu kemudian memanggil pelayan untuk mendekat dan mencatat pesanan sang ayah mertua. Keduanya duduk di meja di tengah kafe, dekat dinding. Karena
“Perkenalkan, saya ayah Kaisar, mertua Embun.” Rindang tampak terkejut. Mata kakak Embun yang juga berwarna cokelat, seperti adiknya itu, membelalak sejenak, sebelum berusaha mengontrol ekspresi wajahnya. Raut gusar seketika menghilang dari wajah Rindang. “Selamat siang. Aduh, maaf, datang-datang saya langsung mengomel.” Rindang berucap. Badannya sedikit menunduk sembari ia menyalami Surya yang kemungkinan lebih tua dari ayahnya sendiri. “Saya tidak tahu kalau Anda sedang berkunjung. Perkenalkan, saya Rindang. Kakak Embun.” Surya masih saja tersenyum, tampak tidak terganggu dengan kesan pertama saat Rindang masuk tadi. “Siang, Nak Rindang,” balas pria tua itu. “Saya Surya. Maaf saya belum berkesempatan untuk bertemu dengan Nak Rindang sebelumnya.” “Justru saya yang seharusnya minta maaf, Pak Surya.” Rindang menanggapi. Nada suara perempuan itu berubah ramah. “Seharusnya kedua keluarga bertemu sebelum ini. Tapi adik saya ini,” Rindang melirik Embun yang seketika tampak kikuk, “suka
“Bisnis kontrakannya masih lancar?” Pertanyaan tersebut membuat Embun mendongak. Meskipun diucapkan dengan ringan dan seperti basa-basi, Embun tahu dengan pasti bahwa Rindang sedang mengecek mengenai hubungan Embun dengan suaminya tanpa kentara. Kakaknya itu memang sangat pintar dalam hal seperti ini, namun Embun sudah hapal dengan sifat sang kakak. “Iya, dia cukup sibuk,” jawab Embun dengan singkat, sama sekali tidak menyadari keheranan di wajah mertuanya saat Rindang bertanya. Perhatian Embun fokus kepada sang kakak. “Begitu, ya?” Alis Rindang terangkat satu. “Usahanya lumayan ya berarti. Tapi apa dia punya waktu untukmu?” Embun mengangguk. “Kakak jangan khawatir soal itu.” “Kakak lama tidak bertemu dengan Kaisar juga,” ucap Rindang. “Apa tidak bisa dia datang seperti waktu itu? Toh ini sudah hampir waktunya makan siang.” “Sebenarnya, memang tadi kami–” Ucapan Embun terpotong oleh ponselnya yang berdering. Dengan segera, wanita itu mengeluarkan benda tersebut dan melih
“Jadi, apakah kalian sudah merencanakan untuk memiliki anak, Embun?” Embun terbatuk-batuk, tepat ketika makanan pesanan mereka disajikan. Dengan sigap, staf pramusaji Embun menyodorkan sapu tangan pada pemilik Kafe Senjakala tersebut dengan wajah prihatin. “Kakak!” Setelah batuknya mereda, Embun melotot pada sang kakak. Dalam hati, wanita itu bertanya, kenapa kakaknya ini hobi sekali menanyakan pertanyaan itu? Dulu waktu Rindang bertemu dengan Kaisar, kakaknya tersebut juga menanyakan hal yang sama. Padahal topik ini sama sekali tidak pernah disinggung oleh Embun maupun Kaisar, baik dulu maupun sekarang. Embun jadi tidak bisa membayangkan, bagaimana jika keluarga mereka tahu kalau ternyata mereka tidur di dua kamar yang berbeda? Ah, pasti mereka akan kecewa. “Lho, kenapa? Kalian belum mengobrol soal ini?” tanggap Rindang tanpa perasaan bersalah. “Kakak ini penasaran, makanya bertanya. Apakah dalam waktu dekat atau masih lama." Wajah Embun merah padam. Ia tidak bisa menjawab.
“Papa mau bicara.” Embun menoleh pada Surya saat ayah mertuanya tersebut mengatakan hal itu. Diam-diam, jantungnya berdebar lebih cepat. Mungkin karena masih terbawa pertanyaan Rindang tadi. Meskipun tadi Papa Surya membantunya mengalihkan topik pembicaraan, tapi bukan berarti ayah mertuanya itu tidak akan menanyakan hal yang sama di lain kesempatan, bukan? Namun, sepertinya Embun hanya khawatir berlebihan. “Embun, anak kenalan Papa akan menikah. Papa sudah tanya ke Kaisar soal ini, tapi belum mendapatkan jawaban,” ucap Surya. “Kamu datang bareng Kaisar, ya? Papa mau memperkenalkan kamu ke teman-teman Papa.” “Oh….” Embun menghela napas, terdengar lega. “Kapan, Pa?” Surya menyebutkan tanggal undangan pesta pernikahan tersebut, beserta waktunya. “Ah, maaf ya, Pa. Sepertinya aku tidak bisa. Hari itu aku ada pekerjaan.” Embun terlihat menyesal kali ini. “Mungkin … lain kali?” Surya tersenyum, meskipun dia memang agak kecewa. Karena ia ingin sekali memperkenalkan menantu kesayangan
“Apakah kamu ada waktu?” Dion menunggu balasan Embun sembari mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja. Sepasang matanya menatap ponsel yang telah ia letakkan. Benda itu sama sekali tidak ada suara selama beberapa waktu, membuat Dion makin lama makin tidak sabar menunggu pesan Embun. “Wanita itu pasti sedang sibuk,” batin Dion dengan perasaan yang makin kesal, “atau jangan-jangan, memang sengaja tidak membalas pesanku, hm?” Pria itu akhirnya berdiri dan berkeliling ruangan. Ia berdecak, memikirkan cara lain agar ia bisa mendapatkan respons Embun. Masalahnya, Dion sudah beberapa kali mengunjungi Kafe Senjakala untuk menemui Embun, tapi ia sama sekali tidak bisa bertemu dengan wanita itu. Para stafnya selalu saja mengatakan bahwa Embun sedang tidak di tempat, atau sedang sibuk ini dan itu. Hingga akhirnya, terakhir kali Dion pergi ke kafe, pria itu melihat Embun sedang mengobrol dengan seorang pria tua dengan penampilan sederhana dan kasual. Namun, Dion tahu dengan pasti siapa pria itu