“Apakah kamu ada waktu?” Dion menunggu balasan Embun sembari mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja. Sepasang matanya menatap ponsel yang telah ia letakkan. Benda itu sama sekali tidak ada suara selama beberapa waktu, membuat Dion makin lama makin tidak sabar menunggu pesan Embun. “Wanita itu pasti sedang sibuk,” batin Dion dengan perasaan yang makin kesal, “atau jangan-jangan, memang sengaja tidak membalas pesanku, hm?” Pria itu akhirnya berdiri dan berkeliling ruangan. Ia berdecak, memikirkan cara lain agar ia bisa mendapatkan respons Embun. Masalahnya, Dion sudah beberapa kali mengunjungi Kafe Senjakala untuk menemui Embun, tapi ia sama sekali tidak bisa bertemu dengan wanita itu. Para stafnya selalu saja mengatakan bahwa Embun sedang tidak di tempat, atau sedang sibuk ini dan itu. Hingga akhirnya, terakhir kali Dion pergi ke kafe, pria itu melihat Embun sedang mengobrol dengan seorang pria tua dengan penampilan sederhana dan kasual. Namun, Dion tahu dengan pasti siapa pria itu
Pesta pernikahan Subagja menjadi salah satu yang paling dibicarakan di seluruh penjuru negeri, bahkan diberitakan oleh media nasional. Namun, tak ada satu pun media yang berhasil masuk ke dalam pesta karena pestanya tertutup dan aksesnya dijaga ketat. Hanya staf dan para undangan saja yang diperbolehkan masuk ke dalam aula Ashtana Hotel. Sejujurnya, hal ini membuat Embun gugup setengah mati. Apalagi sejak pagi tadi, Embun melihat pasukan keamanan mondar-mandir di aula, lobi hotel, dan bahkan dapur serta gudang di mana Embun bekerja bersama para karyawannya. Tak bisa dicegah, Embun sekilas memikirkan betapa besar koneksi ayah mertuanya dengan orang penting seperti ini. Kenalan, mereka bilang. Relasi bisnis, katanya. Namun, bukankah untuk memiliki kenalan atau rekan seperti ini, orang itu harusnya memiliki posisi yang penting juga? Atau bagaimana? Meski begitu, pemikiran mengenai hal tersebut tidak bercokol terlalu lama di kepala Embun karena ia terlalu disibukkan oleh persiapa
“Tidak dapat balasan istri?”Kaisar melirik keponakan yang sejak tadi menggoda dirinya dan berkata, “Urusi yang lain, jika kamu tidak ada kerjaan, Nicholas.”Mendengar itu, si keponakan meringis lebar. Jelas sekali tampak terhibur.“Aku tadi lihat Kak Embun di area dapur. Lebih baik, kalau ingin bertemu, Paman hampiri saja,” ucap Nicholas santai. “Daripada mengganjal selama acara. Siapa tahu Kak Embun juga ingin bertemu Paman, bukan?”Meskipun dikatakan dengan maksud baik, nada biacara Nicholas yang terlampau santai dan ekspresi menggoda pria muda itu tetap saja membuat Kaisar jengkel.Tak terelakkan, suami Embun itu memandang Nicholas dengan tatapan dingin yang membuat si keponakan langsung mengusap tengkuknya yang tidak gatal.“Hanya saran, Paman.” Pria muda itu buru-buru menambahkan. “Kan aku–”“Dia tantemu. Panggil dia dengan benar.” Kaisar memotong ucapan Nicholas, otomatis membuat pria muda itu tertegun.Nicholas kira, pamannya itu marah karena ia menggodanya terus-terusan. Namu
“Hidangan pembuka akan keluar sepuluh menit lagi.” Suara Embun terdengar lantang dan berwibawa, meskipun masih menyisakan karakter lembut dalam nada bicaranya. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar seluruh dapur bisa mendengar. Sepasang mata cokelat Embun dengan gesit dan penuh perhatian mengawasi jalannya proses memasak dan menyiapkan makanan, serta melirik jam dapur dan mencocokkan dengan jadwal acara yang telah ia terima. Dengan tidak adanya pasukan keamanan yang memenuhi dapur, Embun dan para staf makanan lebih leluasa untuk bergerak dan cekatan dalam melaksanakan arahan Embun. Dua menit sebelum tenggat waktu, Embun mengarahkan para staf yang bertugas sebagai pramusaji untuk membawa makanan ke aula pesta. “Pastikan tidak ada kesalahan,” ucap Embun. Meskipun tidak segugup dan setegang tadi, Embun tetap waspada. Ia tidak ingin mengecewakan klien yang telah memakai jasanya. Apalagi mengecewakan Kaisar yang memercayainya. Wanita itu memastikan semua hidangan yang keluar sudah sem
“Ikut aku.” Mendengar ucapan Kaisar tersebut, Embun merasa heran. Namun, ia menurut lantaran Kaisar sudah menarik tangannya dengan lembut. Meskipun wanita itu tengah bertanya-tanya dalam hati. Sementara itu, otak Kaisar berputar cepat, kembali memikirkan cara untuk membantu Embun. Ia berniat mengecek apakah terjadi masalah di dapur, karena meskipun ia melihat makanan lancar dihidangkan, pikiran Kaisar tetap tertuju pada Embun. Aneh sekali, padahal pria itu percaya bahwa Embun mampu mengurusi pekerjaan kali ini dengan baik. Tepat saat Kaisar hendak membuka pintu dapur, terdengar suara ribut sejenak yang disusul oleh permintaan maaf seseorang pada Embun. Lalu saat Embun keluar baju bagian depannya basah. Dan cukup berbau. Kaisar langsung menyadari hal tersebut begitu melihat Embun. “Kaisar. Kita mau ke mana?” Menanggapi pertanyaan Embun, Kaisar hanya menoleh sekilas pada istrinya tersebut. Embun pun tidak bertanya lagi dan hanya mengikuti langkah Kaisar. Ternyata pria itu mem
“... Sepertinya resletingnya tersangkut. Bisakah kamu membantuku?”Kaisar berdeham, kemudian melangkah lebih dekat ke Embun. Matanya berusaha memandang lurus pada resleting bagian belakang gaun Embun, yang mana membuat pria itu tidak bisa untuk tidak melihat kulit mulus sang istri mengintip dari balik gaun tersebut.Sementara itu, Embun kembali menghadap depan, merasa kikuk ketika menatap Kaisar dalam kondisi seperti ini.Tentunya ia tahu bahwa mereka adalah suami istri, dan sadar sepenuhnya mengenai status mereka tersebut.Namun, apa yang diharapkan dari dua orang yang tidur di dua kamar terpisah meski mereka tinggal serumah?“... Maaf merepotkanmu, Kaisar,” ucap Embun kemudian.“Tidak masalah,” gumam Kaisar sebagai tanggapan. Dengan hati-hati, ia menarik risleting gaun Embun ke atas. “Seharusnya aku meminta asistenku untuk membelikan gaun yang lebih mudah dikenakan.”Pria itu tidak bisa membayangkan bagaimana jika Embun mengganti baju sendiri, tanpa pendampingannya.“Tidak, tidak. B
“Apa kabar, Embun?”Embun sempat tertegun dengan sapaan Dion, sebelum kemudian membalas dengan ramah.“Selamat malam, Dion. Ada masalah dengan hidangannya?” tanya Embun, fokus pada pekerjaannya.“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.” Alih-alih menjawab pertanyaan Embun, Dion justru berkomentar. Ia menarik kursi di sebelahnya untuk Embun. “Silakan duduk, Embun.”Sedang dalam mode profesional, Embun tersenyum. “Saya sedang bekerja, Dion,” ucapnya kemudian.“Aku tahu. Aku berniat mengatakan padamu soal hidangan ini,” balas Dion dengan santai. Ia menepuk tempat duduk di sebelahnya. “Akan lebih nyaman jika kamu duduk.”Embun masih saja tersenyum. Namun, ia tidak bergerak. “Apakah hidangannya mau diganti dengan yang baru?” Wanita itu justru kembali bertanya. “Atau mungkin tambahan saus dengan level pedas yang lebih tinggi?”Sementara Embun menangani Dion karena ia tidak bisa mengabaikan pria itu begitu saja, Kaisar tengah berbincang dengan relasi bisnisnya di tepi ruangan, de
“Katakan. Untuk apa kamu di sini?” Kaisar kembali bertanya dengan dingin. Sorot matanya tampak tajam saat beradu pandang dengan Aletta, membuat wanita itu menggigit bibir. Merasa kesal. Namun, Aletta menyembunyikannya. “Kan tadi sudah aku jawab. Aku mencarimu,” jawab Aletta dengan lembut. Di tangannya, ada segelas cocktail berwarna cerah. “Apa kamu pikir aku membohongimu?” Pria yang pernah menjadi kekasih Aletta tersebut mengalihkan pandangan, sama sekali tidak memercayai alasan Aletta. Pun, jika benar Aletta memang mencarinya, wanita itu pastilah memiliki motif lain. Sebenarnya, Kaisar pernah beberapa kali melihat Aletta di tempat-tempat yang sering ia kunjungi setiap hari, mulai dari hotel, restoran yang menjadi lokasi pertemuan dengan relasi bisnisnya, dan di sini. Sekalipun Aletta merupakan selebgram yang memiliki popularitas tinggi, serta memang memiliki akses ke tempat-tempat tersebut, Kaisar meragukan bahwa pertemuannya dengan Aletta selama ini adalah sebuah kebetulan bela
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi