“Hidangan pembuka akan keluar sepuluh menit lagi.” Suara Embun terdengar lantang dan berwibawa, meskipun masih menyisakan karakter lembut dalam nada bicaranya. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar seluruh dapur bisa mendengar. Sepasang mata cokelat Embun dengan gesit dan penuh perhatian mengawasi jalannya proses memasak dan menyiapkan makanan, serta melirik jam dapur dan mencocokkan dengan jadwal acara yang telah ia terima. Dengan tidak adanya pasukan keamanan yang memenuhi dapur, Embun dan para staf makanan lebih leluasa untuk bergerak dan cekatan dalam melaksanakan arahan Embun. Dua menit sebelum tenggat waktu, Embun mengarahkan para staf yang bertugas sebagai pramusaji untuk membawa makanan ke aula pesta. “Pastikan tidak ada kesalahan,” ucap Embun. Meskipun tidak segugup dan setegang tadi, Embun tetap waspada. Ia tidak ingin mengecewakan klien yang telah memakai jasanya. Apalagi mengecewakan Kaisar yang memercayainya. Wanita itu memastikan semua hidangan yang keluar sudah sem
“Ikut aku.” Mendengar ucapan Kaisar tersebut, Embun merasa heran. Namun, ia menurut lantaran Kaisar sudah menarik tangannya dengan lembut. Meskipun wanita itu tengah bertanya-tanya dalam hati. Sementara itu, otak Kaisar berputar cepat, kembali memikirkan cara untuk membantu Embun. Ia berniat mengecek apakah terjadi masalah di dapur, karena meskipun ia melihat makanan lancar dihidangkan, pikiran Kaisar tetap tertuju pada Embun. Aneh sekali, padahal pria itu percaya bahwa Embun mampu mengurusi pekerjaan kali ini dengan baik. Tepat saat Kaisar hendak membuka pintu dapur, terdengar suara ribut sejenak yang disusul oleh permintaan maaf seseorang pada Embun. Lalu saat Embun keluar baju bagian depannya basah. Dan cukup berbau. Kaisar langsung menyadari hal tersebut begitu melihat Embun. “Kaisar. Kita mau ke mana?” Menanggapi pertanyaan Embun, Kaisar hanya menoleh sekilas pada istrinya tersebut. Embun pun tidak bertanya lagi dan hanya mengikuti langkah Kaisar. Ternyata pria itu mem
“... Sepertinya resletingnya tersangkut. Bisakah kamu membantuku?”Kaisar berdeham, kemudian melangkah lebih dekat ke Embun. Matanya berusaha memandang lurus pada resleting bagian belakang gaun Embun, yang mana membuat pria itu tidak bisa untuk tidak melihat kulit mulus sang istri mengintip dari balik gaun tersebut.Sementara itu, Embun kembali menghadap depan, merasa kikuk ketika menatap Kaisar dalam kondisi seperti ini.Tentunya ia tahu bahwa mereka adalah suami istri, dan sadar sepenuhnya mengenai status mereka tersebut.Namun, apa yang diharapkan dari dua orang yang tidur di dua kamar terpisah meski mereka tinggal serumah?“... Maaf merepotkanmu, Kaisar,” ucap Embun kemudian.“Tidak masalah,” gumam Kaisar sebagai tanggapan. Dengan hati-hati, ia menarik risleting gaun Embun ke atas. “Seharusnya aku meminta asistenku untuk membelikan gaun yang lebih mudah dikenakan.”Pria itu tidak bisa membayangkan bagaimana jika Embun mengganti baju sendiri, tanpa pendampingannya.“Tidak, tidak. B
“Apa kabar, Embun?”Embun sempat tertegun dengan sapaan Dion, sebelum kemudian membalas dengan ramah.“Selamat malam, Dion. Ada masalah dengan hidangannya?” tanya Embun, fokus pada pekerjaannya.“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.” Alih-alih menjawab pertanyaan Embun, Dion justru berkomentar. Ia menarik kursi di sebelahnya untuk Embun. “Silakan duduk, Embun.”Sedang dalam mode profesional, Embun tersenyum. “Saya sedang bekerja, Dion,” ucapnya kemudian.“Aku tahu. Aku berniat mengatakan padamu soal hidangan ini,” balas Dion dengan santai. Ia menepuk tempat duduk di sebelahnya. “Akan lebih nyaman jika kamu duduk.”Embun masih saja tersenyum. Namun, ia tidak bergerak. “Apakah hidangannya mau diganti dengan yang baru?” Wanita itu justru kembali bertanya. “Atau mungkin tambahan saus dengan level pedas yang lebih tinggi?”Sementara Embun menangani Dion karena ia tidak bisa mengabaikan pria itu begitu saja, Kaisar tengah berbincang dengan relasi bisnisnya di tepi ruangan, de
“Katakan. Untuk apa kamu di sini?” Kaisar kembali bertanya dengan dingin. Sorot matanya tampak tajam saat beradu pandang dengan Aletta, membuat wanita itu menggigit bibir. Merasa kesal. Namun, Aletta menyembunyikannya. “Kan tadi sudah aku jawab. Aku mencarimu,” jawab Aletta dengan lembut. Di tangannya, ada segelas cocktail berwarna cerah. “Apa kamu pikir aku membohongimu?” Pria yang pernah menjadi kekasih Aletta tersebut mengalihkan pandangan, sama sekali tidak memercayai alasan Aletta. Pun, jika benar Aletta memang mencarinya, wanita itu pastilah memiliki motif lain. Sebenarnya, Kaisar pernah beberapa kali melihat Aletta di tempat-tempat yang sering ia kunjungi setiap hari, mulai dari hotel, restoran yang menjadi lokasi pertemuan dengan relasi bisnisnya, dan di sini. Sekalipun Aletta merupakan selebgram yang memiliki popularitas tinggi, serta memang memiliki akses ke tempat-tempat tersebut, Kaisar meragukan bahwa pertemuannya dengan Aletta selama ini adalah sebuah kebetulan bela
“Semoga dia benar-benar meminum cocktail yang aku berikan.” Aletta kembali mengedarkan pandangannya, mencari sosok Kaisar. Namun, ia tidak menemukan pria itu. Sekelompok remaja awal dua puluh tahun tadi benar-benar menyita fokus Aletta. Jelas ia tidak bisa menolak permintaan para penggemarnya, karena hal tersebut akan memengaruhi reputasi Aletta. Akibatnya, Kaisar hilang. Padahal Aletta sedang bersusah payah untuk melaksanakan rencananya kali ini. “Sial, semua gara-gara si berengsek Lidya,” gumam Aletta pada dirinya sendiri sebelum ia berbalik dan berjalan pergi, mencari Kaisar di tempat lain. Otaknya memutar ucapan ibu mantan kekasihnya tersebut di kepala. Kemarin, Lidya mendesak Aletta dan mengancam tidak akan memberikan sisa uang yang diminta Aletta karena ia sama sekali tidak mendengar hasil maupun sekadar laporan dari wanita berambut cokelat tersebut. Ternyata Lidya tidak sebodoh yang Aletta pikirkan. “Tapi aku butuh satu miliar itu,” batin Aletta. Karenanya, ia datang den
“Kaisar ... tolong aku ….” Jantung pria itu seakan berhenti berdetak saat mendengar Embun mengatakan hal itu. Sorot khawatir dan panik tampak jelas di sepasang matanya. Beberapa menit yang lalu, ia masih di pesta, mencari Embun tapi tidak menemukan wanita tersebut. Karena acara akan segera berakhir, pria itu berpikir untuk menemui Embun sekali lagi hingga akhirnya ia menyusul ke dapur. Tidak ada dan saat ia menyusuri lorong, ia menemukan Embun tengah bersandar pada dinding dan nyaris terjatuh. Wanita itu baik-baik saja saat bercakap-cakap dengannya tadi. Bagaimana sekarang ia dalam keadaan seperti ini? “Kaisar …?” Embun kembali memanggil nama suaminya, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. Embun berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris cokelat itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Embun mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan tel
“Cara utama … yang memerlukan kontak fisik lebih intim.” Kaisar berdecak. Pandangannya menunduk menatap Embun yang masih menggenggam tangannya. Ia tahu. Berhubungan badan merupakan cara utama dan paling cepat untuk membebaskan Embun dari rasa kesakitan ini–jika memang dugaan Kaisar bahwa Embun mengonsumsi obat perangsang benar. Dan pria itu yakin sembilan puluh persen kalau ia memang benar. Namun, hubungan ia dan Embun tidak seperti itu. Sekalipun mereka adalah sepasang suami istri yang sah, Kaisar hampir tidak pernah menyentuh Embun. Begitupun sebaliknya. Bagaimana bisa– Cengkeraman Embun di lengan Kaisar mengerat, membuat fokus Kaisar kembali pada wanita itu. “Kaisar,” gumam Embun, sebelum melenguh, membuat tubuh Kaisar kembali menegang. “Tolong … rasanya panas sekali ….” Pria itu berdecak, lalu menatap asistennya dan berkata, “Siapkan bak mandi penuh air dingin. Cepat!” Si asisten mengangguk dan segera melaksanakan perintah atasannya. Sementara itu, Kaisar menyentuh kening