Jadi ... menurut kalian, apakah orang yang datang itu benar-benar Kaisar?
“Kaisar ... tolong aku ….” Jantung pria itu seakan berhenti berdetak saat mendengar Embun mengatakan hal itu. Sorot khawatir dan panik tampak jelas di sepasang matanya. Beberapa menit yang lalu, ia masih di pesta, mencari Embun tapi tidak menemukan wanita tersebut. Karena acara akan segera berakhir, pria itu berpikir untuk menemui Embun sekali lagi hingga akhirnya ia menyusul ke dapur. Tidak ada dan saat ia menyusuri lorong, ia menemukan Embun tengah bersandar pada dinding dan nyaris terjatuh. Wanita itu baik-baik saja saat bercakap-cakap dengannya tadi. Bagaimana sekarang ia dalam keadaan seperti ini? “Kaisar …?” Embun kembali memanggil nama suaminya, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. Embun berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris cokelat itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Embun mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan tel
“Cara utama … yang memerlukan kontak fisik lebih intim.” Kaisar berdecak. Pandangannya menunduk menatap Embun yang masih menggenggam tangannya. Ia tahu. Berhubungan badan merupakan cara utama dan paling cepat untuk membebaskan Embun dari rasa kesakitan ini–jika memang dugaan Kaisar bahwa Embun mengonsumsi obat perangsang benar. Dan pria itu yakin sembilan puluh persen kalau ia memang benar. Namun, hubungan ia dan Embun tidak seperti itu. Sekalipun mereka adalah sepasang suami istri yang sah, Kaisar hampir tidak pernah menyentuh Embun. Begitupun sebaliknya. Bagaimana bisa– Cengkeraman Embun di lengan Kaisar mengerat, membuat fokus Kaisar kembali pada wanita itu. “Kaisar,” gumam Embun, sebelum melenguh, membuat tubuh Kaisar kembali menegang. “Tolong … rasanya panas sekali ….” Pria itu berdecak, lalu menatap asistennya dan berkata, “Siapkan bak mandi penuh air dingin. Cepat!” Si asisten mengangguk dan segera melaksanakan perintah atasannya. Sementara itu, Kaisar menyentuh kening
“Semuanya berantakan!” Aletta menendang pintu bilik kamar mandi dengan kasar usai ia memastikan tidak ada seorang pun di sana. Wanita itu kemudian berteriak frustrasi. Siapa pun yang melihatnya saat ini pasti tidak akan menyangka bahwa ia adalah sosok yang sama dengan wanita yang tampak ramah menanggapi para penggemarnya untuk foto bersama beberapa saat yang lalu. Yah, bagaimana lagi. Karena foto bersama sialan itulah rencananya malam ini gagal. Padahal ini adalah rencana utama yang ia susun dengan matang, serta seharusnya memberikan dampak yang baik untuk percintaan dan finansialnya. Tapi semua itu gagal! “Seharusnya aku memastikan Kaisar meminum obat itu sendiri,” gumam Aletta. Ia mulai menggigiti kukunya yang dimanikur sempurna lagi. “Seharusnya aku tidak melepaskan pengawasanku darinya!” Beberapa saat yang lalu, saat ia sedang mencari Kaisar hingga ke lorong, Aletta melihat pria itu. Namun, pria itu tampak baik-baik saja. Seharusnya, jika memang Kaisar meminum minuman pemb
“Apakah … kamu perlu bantuan?”Embun buru-buru menggeleng. “Aku … bisa sendiri.”“Baiklah.” Kaisar mengangguk, kemudian berbalik agar Embun bisa segera pergi ke kamar mandi meski hanya berbalut selimut. “Jangan terburu-buru. Aku akan menunggu.”Setibanya dia di dalam kamar mandi, Embun termenung. Wanita itu kembali berusaha mengingat bagaimana ia bisa sampai di sini.Namun, seberapa keras pun ia mencoba, Embun tidak dapat menemukan ingatan tentang cara ia masuk ke dalam kamar Kaisar ini. Pun, kapan dan kenapa. Hal terakhir yang ia ingat adalah dirinya yang sedang mengecek persiapan penyajian makanan penutup setelah puas berbincang dengan para tamu.Selain itu ….Embun mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar mandi. Ruangan ini mungkin hampir sama luasnya dengan kamar tidurnya di apartemen. Jelas biaya sewanya tidak murah.Apakah Kaisar menyewa kamar ini untuk semalam? Kenapa?Apa yang terjadi?Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.“Y-ya?” respons Embun seketika, langsung merasa
“Embun, apakah kamu mendengarku?”Ketika akhirnya mendengar panggilan sang suami, Embun menutup matanya sejenak, sebelum kemudian membukanya dan menatap Kaisar. Wanita itu berusaha fokus pada obrolan mereka meskipun baik otak, hati, dan tubuhnya sedang tidak terasa baik-baik saja.“Ya.” Embun mengangguk. “Aku mendengarkan.”Hening, Fokus mata Kaisar ada pada Embun, mengamati sang istri dalam diam. Berusaha menemukan kejanggalan dalam bahasa tubuh Embun.Di sisi lain, Embun tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia tahu bahwa dirinya sudah menikah dan kini memiliki suami. Sudah sepantasnya ada nafkah batin dan memang hubungan intim suami istri tidak terlewatkan.Tidak ada yang janggal. Embun memahaminya dna tidak terganggu dengan persoalan tersebut.Apalagi, ia tahu bahwa Kaisar melakukan itu untuk menolongnya. Jika tidak ada Kaisar, entah apa yang akan terjadi pada Embun. bisa jadi, alih-alih terbangun di atas tempat tidur dan nyaman, Embun akan terbangun di jalanan? Atau di tempat ti
“Jangan harapkan cinta.” Itulah kalimat yang diucapkan Kaisar di pertemuan pertama dia dengan Embun, sekaligus di hari mereka mendaftarkan pernikahan mereka. Pada awalnya, memang Embun tidak mengharapkan apa-apa. Jika ia dan Kaisar sama-sama melakukan kewajiban masing-masing dengan baik, Embun tidak keberatan. Awalnya. Namun, sekarang … apakah benar Embun mengharapkan perasaan lebih dari pria yang berstatus suaminya tersebut? “Embun? Nak? Kamu masih di sana?” Suara Surya membuat Embun menutup matanya sejenak, kemudian tersenyum kecil. “Lain kali ya, Papa,” ucap wanita itu pelan. Telinga dan otaknya sempat menangkap cerita ayah mertuanya mengenai beliau yang ingin mengenalkan Embun pada kawan-kawannya. “Mungkin kesempatan selanjutnya.” Surya menghela napas pelan. “Baiklah. Kalau begitu Papa tutup teleponnya ya?” ucap pria tua itu. “Istirahat, Embun. Kamu sudah bekerja keras.” “Papa tidak mau mengobrol dengan Kaisar?” tanya Embun saat tanpa sengaja ia beradu pandang dengan sang su
“Apa maksudnya semua ini!?”Tampil di layar tablet adalah wajah Aletta. Wanita itu tengah berbicara pada kamera, menyampaikan bahwa sebagai brand ambassador Kafe Senjakala milik Embun, Aletta sama sekali tidak mendapatkan bayaran dari pekerjaannya tersebut.Tidak hanya itu, dengan berurai air mata, Aletta juga mengatakan bahwa hal tersebut sangat membebani dirinya karena pemilik Kafe Senjakala mengingkari kontrak kerja sama yang ada.“Perempuan itu,” ucap Kaisar geram dengan suaranya yang rendah. “Dengan kemampuan aktingnya yang seperti ini, aku heran namanya sama sekali tidak terkenal. Benar-benar wanita ular.”Pria itu tidak perlu mengonfirmasi hal ini pada sang istri karena ia yakin itu tidak benar. Embun, yang setiap malam mengobrol dengannya tentang hari-hari dan rencananya mengembangkan bisnis, tidak akan melakukan hal tersebut.Ia percaya pada Embun.Namun, bagaimana Aletta bisa mengklaim demikian … hal itu tetap harus Kaisar selidiki.Apalagi ketika video di tangannya itu suda
[Jalur Orang Dalam! Baru Dibuka, Cabang Kafe Senjakala di Asthana Hotel Dikatakan Hasil “Main” dengan Salah Satu Petinggi Hotel] “Apa yang–”Embun menutup mulutnya, terkejut dengan pemberitaan tidak masuk akal tersebut. Sepasang matanya terbelalak sempurna.Ia tahu ia sedang menjadi bulan-bulanan media dan fans Aletta. Embun pun memahami bagaimana sebuah judul berita dibuat, yang mana pasti menarik orang untuk membaca berita di dalamnya.Namun, yang baru saja ia baca sungguh di luar dugaan. Embun tidak siap untuk menghadapinya.Meski begitu, dengan tangan gemetar Embun mengeklik berita tersebut dan membacanya di laptop.Sejujurnya dalam kepala Embun, wanita itu masih mencoba menyangkalnya. Ada banyak berita di sana yang memiliki judul dan isi berita berbeda jauh. Yang berfokus pada judul yang menarik, tapi korelasi beritanya dengan judul hanya sepuluh persen. Embun berharap, berita yang ia baca saat ini pun demikian.Namun, sayangnya tidak.Dikatakan bahwa Embun berhasil membuka caba
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi