“Jangan harapkan cinta.” Itulah kalimat yang diucapkan Kaisar di pertemuan pertama dia dengan Embun, sekaligus di hari mereka mendaftarkan pernikahan mereka. Pada awalnya, memang Embun tidak mengharapkan apa-apa. Jika ia dan Kaisar sama-sama melakukan kewajiban masing-masing dengan baik, Embun tidak keberatan. Awalnya. Namun, sekarang … apakah benar Embun mengharapkan perasaan lebih dari pria yang berstatus suaminya tersebut? “Embun? Nak? Kamu masih di sana?” Suara Surya membuat Embun menutup matanya sejenak, kemudian tersenyum kecil. “Lain kali ya, Papa,” ucap wanita itu pelan. Telinga dan otaknya sempat menangkap cerita ayah mertuanya mengenai beliau yang ingin mengenalkan Embun pada kawan-kawannya. “Mungkin kesempatan selanjutnya.” Surya menghela napas pelan. “Baiklah. Kalau begitu Papa tutup teleponnya ya?” ucap pria tua itu. “Istirahat, Embun. Kamu sudah bekerja keras.” “Papa tidak mau mengobrol dengan Kaisar?” tanya Embun saat tanpa sengaja ia beradu pandang dengan sang su
“Apa maksudnya semua ini!?”Tampil di layar tablet adalah wajah Aletta. Wanita itu tengah berbicara pada kamera, menyampaikan bahwa sebagai brand ambassador Kafe Senjakala milik Embun, Aletta sama sekali tidak mendapatkan bayaran dari pekerjaannya tersebut.Tidak hanya itu, dengan berurai air mata, Aletta juga mengatakan bahwa hal tersebut sangat membebani dirinya karena pemilik Kafe Senjakala mengingkari kontrak kerja sama yang ada.“Perempuan itu,” ucap Kaisar geram dengan suaranya yang rendah. “Dengan kemampuan aktingnya yang seperti ini, aku heran namanya sama sekali tidak terkenal. Benar-benar wanita ular.”Pria itu tidak perlu mengonfirmasi hal ini pada sang istri karena ia yakin itu tidak benar. Embun, yang setiap malam mengobrol dengannya tentang hari-hari dan rencananya mengembangkan bisnis, tidak akan melakukan hal tersebut.Ia percaya pada Embun.Namun, bagaimana Aletta bisa mengklaim demikian … hal itu tetap harus Kaisar selidiki.Apalagi ketika video di tangannya itu suda
[Jalur Orang Dalam! Baru Dibuka, Cabang Kafe Senjakala di Asthana Hotel Dikatakan Hasil “Main” dengan Salah Satu Petinggi Hotel] “Apa yang–”Embun menutup mulutnya, terkejut dengan pemberitaan tidak masuk akal tersebut. Sepasang matanya terbelalak sempurna.Ia tahu ia sedang menjadi bulan-bulanan media dan fans Aletta. Embun pun memahami bagaimana sebuah judul berita dibuat, yang mana pasti menarik orang untuk membaca berita di dalamnya.Namun, yang baru saja ia baca sungguh di luar dugaan. Embun tidak siap untuk menghadapinya.Meski begitu, dengan tangan gemetar Embun mengeklik berita tersebut dan membacanya di laptop.Sejujurnya dalam kepala Embun, wanita itu masih mencoba menyangkalnya. Ada banyak berita di sana yang memiliki judul dan isi berita berbeda jauh. Yang berfokus pada judul yang menarik, tapi korelasi beritanya dengan judul hanya sepuluh persen. Embun berharap, berita yang ia baca saat ini pun demikian.Namun, sayangnya tidak.Dikatakan bahwa Embun berhasil membuka caba
“Jika mereka tidak mau ganti rugi, silakan telepon polisi dengan laporan mengganggu ketenangan.”Kalimat Embun tersebut memberikan dampak langsung pada para remaja pembuat onar. Mereka terdiam, kemudian saling berbisik antara satu sama lain.“Ka-kami hanya memecahkan piring! Kenapa harus lapor polisi?”“Bahkan jika hanya satu piring yang pecah, itu sudah merupakan kerugian di pihak kami,” ucap Embun. “Apalagi kalian sudah menimbulkan kerusakan di sini. Sekaligus keributan, mengganggu pelanggan yang lain.”“Cih! Padahal tidak ada pelanggan lain.”Embun mendengar kalimat itu terucap dengan volume rendah dari salah satu remaja, dan dia mengakuinya. Beberapa hari belakangan ini, pengunjung kafenya hanyalah mereka yang penasaran dengan skandalnya bersama Aletta. Pengunjung yang benar-benar ingin makan di sini bisa dihitung jari saja.Dan saat ini, tidak ada pelanggan lain selain gerombolan remaja ini.Namuun, bukan berarti Embun ingin mengakuinya.“Saya tidak mau berdebat lagi. Apabila mem
Suara tangis Embun makin membuat Rindang tidak dapat bicara selama beberapa waktu, setelah ia membombardir Embun dengan pertanyaan-pertanyaannya begitu ia bertemu dengan sang adik tadi.“H-hei, Embun. Kenapa–”Kakak Embun tersebut tidak tahu bahwa Embun sudah berada di batas kewarasan dan kesabarannya beberapa hari belakangan ini. Satu dorongan lagi, benar-benar satu dorongan kecil dari kemunculan Rindang berhasil meruntuhkan pertahanan istri Kaisar Rahardja tersebut.“Kakak sama saja dengan mereka,” ucap Embun, mencengkeram tepi kemejanya. “Kenapa aku viral, kenapa aku tersandung kasus, kenapa ini kenapa itu. Menurut Kakak kenapa? Apa Kak Rindang pikir aku sengaja ingin viral dengan kasus begitu? Aku juga tidak tahu bagaimana bisa–”Suara Embun kembali pecah di akhir kalimat, membuatnya berhenti bicara. Sementara pipinya sudah basah oleh air mata.Ah, dia benci menangis seperti ini. Wanita itu mencengkeram bagian depan bajunya, merasakan sesak akibat isak tangis yang ia tahan.Ia ti
“Apa kata Kaisar mengenai kasus ini?” Embun tidak menjawab, tapi pelukannya pada sang kakak mengerat saat mendengar nama suaminya tersebut. Kali itu, Rindang tahu bahwa ia tidak bisa menekan Embun lebih jauh dengan pertanyaan ini pula. Oleh karena itu, Rindang memutuskan untuk menunggu. Sang kakak diam sembari tetap mengelus punggung Embun, menenangkan adiknya selama beberapa saat. Kemudian setelah isakan Embun mereda, Rindang bersuara, “Minum, Embun.” Wanita itu menyodorkan air putih yang tadi dibawakan Embun untuknya pada sang adik. Perlahan, Embun kemudian melepaskan pelukan dan merentang jarak dari Rindang untuk minum air putih. Tatapan Embun terfokus pada lututnya, tidak berani melihat ke arah Rindang setelah ia meledak tadi. Akan tetapi, Rindang tetap tersenyum dan menepuk puncak kepala Embun dengan lembut. “Aku tidak marah kok,” ucap Rindang. Ia kemudian meraih tisu dari kotak di atas meja dan memberikannya pada Embun. Si adik menerimanya dan bergumam, “Maaf, Kak.” Ri
“Bisa-bisanya kamu membiarkan adikku sendirian di saat seperti ini.” Kaisar cukup terkejut dengan kalimat sapaan tersebut, tapi tidak ia tunjukkan. Apalagi dalam suaranya yang menyahut Rindang dengan tenang, “Selamat sore, Kak.” Di seberang saluran telepon, Rindang mendengkus. “Tidak ada penyangkalan?” balas Rindang. “Jujur, Kaisar. Kamu tahu berita-berita yang sedang menyerang Embun di luaran saja, kan?” Mendengar pertanyaan itu, Kaisar mengernyit. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke bawah, cemberut lebih dalam. Selama beberapa hari ini, sejak berita pertama keluar, Kaisar sudah memerintahkan para bawahannya untuk mengatasi pemberitaan yang beredar. Hanya saja, karena sudah menyebar dan viral, serta bercabang ke mana-mana, pemberitaan mengenai Embun tidak bisa “dimatikan” begitu saja. Perlu ada rencana yang dipikirkan dengan matang. Akan tetapi, bukan berarti Kaisar abai dengan berita-berita tersebut. Ialah yang justru kemungkinan paling tahu mengenai apa yang mereka katakan meng
“Embun. Selamat malam.” Embun tertegun. Langkahnya terhenti beberapa meter dari pria itu. Rasanya, sudah lama sekali ia tidak mendapati pria itu berdiri di sana, untuk menjemputnya seperti apa yang sering ia lakukan. “Malam, Kaisar,” balas Embun kemudian. Ia berdeham, tiba-tiba merasakan perasaan aneh di dasar perutnya. “Ada apa?” Suasana di antara mereka terasa canggung, setelah Embun pergi begitu saja dari kamar Kaisar pagi itu. “Menjemputmu,” ucap Kaisar. Perlahan, pria itu berjalan mendekati Embun dan dengan lembut mengambil tas yang sejak tadi dijinjing oleh sang istri, berisi baju-baju kotor Embun. Kaisar juga mengambil alih tas slempang Embun dari bahu wanita itu dan menyampirkannya di bahunya sendiri. Meskipun begitu, sepasang mata Kaisar tidak mengalihkan fokusnya dari wajah Embun. “Kamu tampak lelah.” Pria itu berkomentar pelan. Embun berdeham sekali lagi, kemudian menunduk. Kaisar melakukan semua itu seakan-akan ia sering melakukannya–atau biasa melakukannya, hing