“Apa kabar, Embun?”Embun sempat tertegun dengan sapaan Dion, sebelum kemudian membalas dengan ramah.“Selamat malam, Dion. Ada masalah dengan hidangannya?” tanya Embun, fokus pada pekerjaannya.“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.” Alih-alih menjawab pertanyaan Embun, Dion justru berkomentar. Ia menarik kursi di sebelahnya untuk Embun. “Silakan duduk, Embun.”Sedang dalam mode profesional, Embun tersenyum. “Saya sedang bekerja, Dion,” ucapnya kemudian.“Aku tahu. Aku berniat mengatakan padamu soal hidangan ini,” balas Dion dengan santai. Ia menepuk tempat duduk di sebelahnya. “Akan lebih nyaman jika kamu duduk.”Embun masih saja tersenyum. Namun, ia tidak bergerak. “Apakah hidangannya mau diganti dengan yang baru?” Wanita itu justru kembali bertanya. “Atau mungkin tambahan saus dengan level pedas yang lebih tinggi?”Sementara Embun menangani Dion karena ia tidak bisa mengabaikan pria itu begitu saja, Kaisar tengah berbincang dengan relasi bisnisnya di tepi ruangan, de
“Katakan. Untuk apa kamu di sini?” Kaisar kembali bertanya dengan dingin. Sorot matanya tampak tajam saat beradu pandang dengan Aletta, membuat wanita itu menggigit bibir. Merasa kesal. Namun, Aletta menyembunyikannya. “Kan tadi sudah aku jawab. Aku mencarimu,” jawab Aletta dengan lembut. Di tangannya, ada segelas cocktail berwarna cerah. “Apa kamu pikir aku membohongimu?” Pria yang pernah menjadi kekasih Aletta tersebut mengalihkan pandangan, sama sekali tidak memercayai alasan Aletta. Pun, jika benar Aletta memang mencarinya, wanita itu pastilah memiliki motif lain. Sebenarnya, Kaisar pernah beberapa kali melihat Aletta di tempat-tempat yang sering ia kunjungi setiap hari, mulai dari hotel, restoran yang menjadi lokasi pertemuan dengan relasi bisnisnya, dan di sini. Sekalipun Aletta merupakan selebgram yang memiliki popularitas tinggi, serta memang memiliki akses ke tempat-tempat tersebut, Kaisar meragukan bahwa pertemuannya dengan Aletta selama ini adalah sebuah kebetulan bela
“Semoga dia benar-benar meminum cocktail yang aku berikan.” Aletta kembali mengedarkan pandangannya, mencari sosok Kaisar. Namun, ia tidak menemukan pria itu. Sekelompok remaja awal dua puluh tahun tadi benar-benar menyita fokus Aletta. Jelas ia tidak bisa menolak permintaan para penggemarnya, karena hal tersebut akan memengaruhi reputasi Aletta. Akibatnya, Kaisar hilang. Padahal Aletta sedang bersusah payah untuk melaksanakan rencananya kali ini. “Sial, semua gara-gara si berengsek Lidya,” gumam Aletta pada dirinya sendiri sebelum ia berbalik dan berjalan pergi, mencari Kaisar di tempat lain. Otaknya memutar ucapan ibu mantan kekasihnya tersebut di kepala. Kemarin, Lidya mendesak Aletta dan mengancam tidak akan memberikan sisa uang yang diminta Aletta karena ia sama sekali tidak mendengar hasil maupun sekadar laporan dari wanita berambut cokelat tersebut. Ternyata Lidya tidak sebodoh yang Aletta pikirkan. “Tapi aku butuh satu miliar itu,” batin Aletta. Karenanya, ia datang den
“Kaisar ... tolong aku ….” Jantung pria itu seakan berhenti berdetak saat mendengar Embun mengatakan hal itu. Sorot khawatir dan panik tampak jelas di sepasang matanya. Beberapa menit yang lalu, ia masih di pesta, mencari Embun tapi tidak menemukan wanita tersebut. Karena acara akan segera berakhir, pria itu berpikir untuk menemui Embun sekali lagi hingga akhirnya ia menyusul ke dapur. Tidak ada dan saat ia menyusuri lorong, ia menemukan Embun tengah bersandar pada dinding dan nyaris terjatuh. Wanita itu baik-baik saja saat bercakap-cakap dengannya tadi. Bagaimana sekarang ia dalam keadaan seperti ini? “Kaisar …?” Embun kembali memanggil nama suaminya, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. Embun berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris cokelat itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Embun mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan tel
“Cara utama … yang memerlukan kontak fisik lebih intim.” Kaisar berdecak. Pandangannya menunduk menatap Embun yang masih menggenggam tangannya. Ia tahu. Berhubungan badan merupakan cara utama dan paling cepat untuk membebaskan Embun dari rasa kesakitan ini–jika memang dugaan Kaisar bahwa Embun mengonsumsi obat perangsang benar. Dan pria itu yakin sembilan puluh persen kalau ia memang benar. Namun, hubungan ia dan Embun tidak seperti itu. Sekalipun mereka adalah sepasang suami istri yang sah, Kaisar hampir tidak pernah menyentuh Embun. Begitupun sebaliknya. Bagaimana bisa– Cengkeraman Embun di lengan Kaisar mengerat, membuat fokus Kaisar kembali pada wanita itu. “Kaisar,” gumam Embun, sebelum melenguh, membuat tubuh Kaisar kembali menegang. “Tolong … rasanya panas sekali ….” Pria itu berdecak, lalu menatap asistennya dan berkata, “Siapkan bak mandi penuh air dingin. Cepat!” Si asisten mengangguk dan segera melaksanakan perintah atasannya. Sementara itu, Kaisar menyentuh kening
“Semuanya berantakan!” Aletta menendang pintu bilik kamar mandi dengan kasar usai ia memastikan tidak ada seorang pun di sana. Wanita itu kemudian berteriak frustrasi. Siapa pun yang melihatnya saat ini pasti tidak akan menyangka bahwa ia adalah sosok yang sama dengan wanita yang tampak ramah menanggapi para penggemarnya untuk foto bersama beberapa saat yang lalu. Yah, bagaimana lagi. Karena foto bersama sialan itulah rencananya malam ini gagal. Padahal ini adalah rencana utama yang ia susun dengan matang, serta seharusnya memberikan dampak yang baik untuk percintaan dan finansialnya. Tapi semua itu gagal! “Seharusnya aku memastikan Kaisar meminum obat itu sendiri,” gumam Aletta. Ia mulai menggigiti kukunya yang dimanikur sempurna lagi. “Seharusnya aku tidak melepaskan pengawasanku darinya!” Beberapa saat yang lalu, saat ia sedang mencari Kaisar hingga ke lorong, Aletta melihat pria itu. Namun, pria itu tampak baik-baik saja. Seharusnya, jika memang Kaisar meminum minuman pemb
“Apakah … kamu perlu bantuan?”Embun buru-buru menggeleng. “Aku … bisa sendiri.”“Baiklah.” Kaisar mengangguk, kemudian berbalik agar Embun bisa segera pergi ke kamar mandi meski hanya berbalut selimut. “Jangan terburu-buru. Aku akan menunggu.”Setibanya dia di dalam kamar mandi, Embun termenung. Wanita itu kembali berusaha mengingat bagaimana ia bisa sampai di sini.Namun, seberapa keras pun ia mencoba, Embun tidak dapat menemukan ingatan tentang cara ia masuk ke dalam kamar Kaisar ini. Pun, kapan dan kenapa. Hal terakhir yang ia ingat adalah dirinya yang sedang mengecek persiapan penyajian makanan penutup setelah puas berbincang dengan para tamu.Selain itu ….Embun mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar mandi. Ruangan ini mungkin hampir sama luasnya dengan kamar tidurnya di apartemen. Jelas biaya sewanya tidak murah.Apakah Kaisar menyewa kamar ini untuk semalam? Kenapa?Apa yang terjadi?Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.“Y-ya?” respons Embun seketika, langsung merasa
“Embun, apakah kamu mendengarku?”Ketika akhirnya mendengar panggilan sang suami, Embun menutup matanya sejenak, sebelum kemudian membukanya dan menatap Kaisar. Wanita itu berusaha fokus pada obrolan mereka meskipun baik otak, hati, dan tubuhnya sedang tidak terasa baik-baik saja.“Ya.” Embun mengangguk. “Aku mendengarkan.”Hening, Fokus mata Kaisar ada pada Embun, mengamati sang istri dalam diam. Berusaha menemukan kejanggalan dalam bahasa tubuh Embun.Di sisi lain, Embun tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia tahu bahwa dirinya sudah menikah dan kini memiliki suami. Sudah sepantasnya ada nafkah batin dan memang hubungan intim suami istri tidak terlewatkan.Tidak ada yang janggal. Embun memahaminya dna tidak terganggu dengan persoalan tersebut.Apalagi, ia tahu bahwa Kaisar melakukan itu untuk menolongnya. Jika tidak ada Kaisar, entah apa yang akan terjadi pada Embun. bisa jadi, alih-alih terbangun di atas tempat tidur dan nyaman, Embun akan terbangun di jalanan? Atau di tempat ti