Halo~ Mohon maaf kemarin berhalangan, jadi baru bisa bertemu lagi di sini ^^ Tapi, Kak Rindang, bisnisnya Kaisar itu bukan kontrakan ... aduh nyeplos di depan bapaknya sendiri lagi. Kira-kira respons Papa Surya bakal gimana ya?
“Bisnis kontrakannya masih lancar?” Pertanyaan tersebut membuat Embun mendongak. Meskipun diucapkan dengan ringan dan seperti basa-basi, Embun tahu dengan pasti bahwa Rindang sedang mengecek mengenai hubungan Embun dengan suaminya tanpa kentara. Kakaknya itu memang sangat pintar dalam hal seperti ini, namun Embun sudah hapal dengan sifat sang kakak. “Iya, dia cukup sibuk,” jawab Embun dengan singkat, sama sekali tidak menyadari keheranan di wajah mertuanya saat Rindang bertanya. Perhatian Embun fokus kepada sang kakak. “Begitu, ya?” Alis Rindang terangkat satu. “Usahanya lumayan ya berarti. Tapi apa dia punya waktu untukmu?” Embun mengangguk. “Kakak jangan khawatir soal itu.” “Kakak lama tidak bertemu dengan Kaisar juga,” ucap Rindang. “Apa tidak bisa dia datang seperti waktu itu? Toh ini sudah hampir waktunya makan siang.” “Sebenarnya, memang tadi kami–” Ucapan Embun terpotong oleh ponselnya yang berdering. Dengan segera, wanita itu mengeluarkan benda tersebut dan melih
“Jadi, apakah kalian sudah merencanakan untuk memiliki anak, Embun?” Embun terbatuk-batuk, tepat ketika makanan pesanan mereka disajikan. Dengan sigap, staf pramusaji Embun menyodorkan sapu tangan pada pemilik Kafe Senjakala tersebut dengan wajah prihatin. “Kakak!” Setelah batuknya mereda, Embun melotot pada sang kakak. Dalam hati, wanita itu bertanya, kenapa kakaknya ini hobi sekali menanyakan pertanyaan itu? Dulu waktu Rindang bertemu dengan Kaisar, kakaknya tersebut juga menanyakan hal yang sama. Padahal topik ini sama sekali tidak pernah disinggung oleh Embun maupun Kaisar, baik dulu maupun sekarang. Embun jadi tidak bisa membayangkan, bagaimana jika keluarga mereka tahu kalau ternyata mereka tidur di dua kamar yang berbeda? Ah, pasti mereka akan kecewa. “Lho, kenapa? Kalian belum mengobrol soal ini?” tanggap Rindang tanpa perasaan bersalah. “Kakak ini penasaran, makanya bertanya. Apakah dalam waktu dekat atau masih lama." Wajah Embun merah padam. Ia tidak bisa menjawab.
“Papa mau bicara.” Embun menoleh pada Surya saat ayah mertuanya tersebut mengatakan hal itu. Diam-diam, jantungnya berdebar lebih cepat. Mungkin karena masih terbawa pertanyaan Rindang tadi. Meskipun tadi Papa Surya membantunya mengalihkan topik pembicaraan, tapi bukan berarti ayah mertuanya itu tidak akan menanyakan hal yang sama di lain kesempatan, bukan? Namun, sepertinya Embun hanya khawatir berlebihan. “Embun, anak kenalan Papa akan menikah. Papa sudah tanya ke Kaisar soal ini, tapi belum mendapatkan jawaban,” ucap Surya. “Kamu datang bareng Kaisar, ya? Papa mau memperkenalkan kamu ke teman-teman Papa.” “Oh….” Embun menghela napas, terdengar lega. “Kapan, Pa?” Surya menyebutkan tanggal undangan pesta pernikahan tersebut, beserta waktunya. “Ah, maaf ya, Pa. Sepertinya aku tidak bisa. Hari itu aku ada pekerjaan.” Embun terlihat menyesal kali ini. “Mungkin … lain kali?” Surya tersenyum, meskipun dia memang agak kecewa. Karena ia ingin sekali memperkenalkan menantu kesayangan
“Apakah kamu ada waktu?” Dion menunggu balasan Embun sembari mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja. Sepasang matanya menatap ponsel yang telah ia letakkan. Benda itu sama sekali tidak ada suara selama beberapa waktu, membuat Dion makin lama makin tidak sabar menunggu pesan Embun. “Wanita itu pasti sedang sibuk,” batin Dion dengan perasaan yang makin kesal, “atau jangan-jangan, memang sengaja tidak membalas pesanku, hm?” Pria itu akhirnya berdiri dan berkeliling ruangan. Ia berdecak, memikirkan cara lain agar ia bisa mendapatkan respons Embun. Masalahnya, Dion sudah beberapa kali mengunjungi Kafe Senjakala untuk menemui Embun, tapi ia sama sekali tidak bisa bertemu dengan wanita itu. Para stafnya selalu saja mengatakan bahwa Embun sedang tidak di tempat, atau sedang sibuk ini dan itu. Hingga akhirnya, terakhir kali Dion pergi ke kafe, pria itu melihat Embun sedang mengobrol dengan seorang pria tua dengan penampilan sederhana dan kasual. Namun, Dion tahu dengan pasti siapa pria itu
Pesta pernikahan Subagja menjadi salah satu yang paling dibicarakan di seluruh penjuru negeri, bahkan diberitakan oleh media nasional. Namun, tak ada satu pun media yang berhasil masuk ke dalam pesta karena pestanya tertutup dan aksesnya dijaga ketat. Hanya staf dan para undangan saja yang diperbolehkan masuk ke dalam aula Ashtana Hotel. Sejujurnya, hal ini membuat Embun gugup setengah mati. Apalagi sejak pagi tadi, Embun melihat pasukan keamanan mondar-mandir di aula, lobi hotel, dan bahkan dapur serta gudang di mana Embun bekerja bersama para karyawannya. Tak bisa dicegah, Embun sekilas memikirkan betapa besar koneksi ayah mertuanya dengan orang penting seperti ini. Kenalan, mereka bilang. Relasi bisnis, katanya. Namun, bukankah untuk memiliki kenalan atau rekan seperti ini, orang itu harusnya memiliki posisi yang penting juga? Atau bagaimana? Meski begitu, pemikiran mengenai hal tersebut tidak bercokol terlalu lama di kepala Embun karena ia terlalu disibukkan oleh persiapa
“Tidak dapat balasan istri?”Kaisar melirik keponakan yang sejak tadi menggoda dirinya dan berkata, “Urusi yang lain, jika kamu tidak ada kerjaan, Nicholas.”Mendengar itu, si keponakan meringis lebar. Jelas sekali tampak terhibur.“Aku tadi lihat Kak Embun di area dapur. Lebih baik, kalau ingin bertemu, Paman hampiri saja,” ucap Nicholas santai. “Daripada mengganjal selama acara. Siapa tahu Kak Embun juga ingin bertemu Paman, bukan?”Meskipun dikatakan dengan maksud baik, nada biacara Nicholas yang terlampau santai dan ekspresi menggoda pria muda itu tetap saja membuat Kaisar jengkel.Tak terelakkan, suami Embun itu memandang Nicholas dengan tatapan dingin yang membuat si keponakan langsung mengusap tengkuknya yang tidak gatal.“Hanya saran, Paman.” Pria muda itu buru-buru menambahkan. “Kan aku–”“Dia tantemu. Panggil dia dengan benar.” Kaisar memotong ucapan Nicholas, otomatis membuat pria muda itu tertegun.Nicholas kira, pamannya itu marah karena ia menggodanya terus-terusan. Namu
“Hidangan pembuka akan keluar sepuluh menit lagi.” Suara Embun terdengar lantang dan berwibawa, meskipun masih menyisakan karakter lembut dalam nada bicaranya. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar seluruh dapur bisa mendengar. Sepasang mata cokelat Embun dengan gesit dan penuh perhatian mengawasi jalannya proses memasak dan menyiapkan makanan, serta melirik jam dapur dan mencocokkan dengan jadwal acara yang telah ia terima. Dengan tidak adanya pasukan keamanan yang memenuhi dapur, Embun dan para staf makanan lebih leluasa untuk bergerak dan cekatan dalam melaksanakan arahan Embun. Dua menit sebelum tenggat waktu, Embun mengarahkan para staf yang bertugas sebagai pramusaji untuk membawa makanan ke aula pesta. “Pastikan tidak ada kesalahan,” ucap Embun. Meskipun tidak segugup dan setegang tadi, Embun tetap waspada. Ia tidak ingin mengecewakan klien yang telah memakai jasanya. Apalagi mengecewakan Kaisar yang memercayainya. Wanita itu memastikan semua hidangan yang keluar sudah sem
“Ikut aku.” Mendengar ucapan Kaisar tersebut, Embun merasa heran. Namun, ia menurut lantaran Kaisar sudah menarik tangannya dengan lembut. Meskipun wanita itu tengah bertanya-tanya dalam hati. Sementara itu, otak Kaisar berputar cepat, kembali memikirkan cara untuk membantu Embun. Ia berniat mengecek apakah terjadi masalah di dapur, karena meskipun ia melihat makanan lancar dihidangkan, pikiran Kaisar tetap tertuju pada Embun. Aneh sekali, padahal pria itu percaya bahwa Embun mampu mengurusi pekerjaan kali ini dengan baik. Tepat saat Kaisar hendak membuka pintu dapur, terdengar suara ribut sejenak yang disusul oleh permintaan maaf seseorang pada Embun. Lalu saat Embun keluar baju bagian depannya basah. Dan cukup berbau. Kaisar langsung menyadari hal tersebut begitu melihat Embun. “Kaisar. Kita mau ke mana?” Menanggapi pertanyaan Embun, Kaisar hanya menoleh sekilas pada istrinya tersebut. Embun pun tidak bertanya lagi dan hanya mengikuti langkah Kaisar. Ternyata pria itu mem