Halo, semuanya~ Terima kasih atas komentar kalian ya ^^ Untuk saat ini, author masih mengusahakan untuk update rutin setiap hari. Nanti kalau sudah stabil, dimulai dua bab sehari ya! Doakan agar author sanggup mewujudkan wacana itu~
“Tampaknya kamu sibuk sekali, Embun.” Mendengar hal tersebut, Embun tersenyum penuh permintaan maaf. “Maaf. Malam ini, kafe saya sibuk sekali.” Wanita itu berkata. Embun melihat sekeliling dan menyadari bahwa meskipun ia sudah menolak beberapa pelanggan karena kapasitas kafenya tidak mencukupi, serta bahan makanan kafe sudah habis, ternyata kafenya masih cukup penuh hingga ia tidak dapat menemukan tempat duduk untuk sang suami. Akan tetapi, tampaknya situasi sudah mulai terkontrol. Tampak bahwa semua pengunjung sudah mendapatkan makanan dan minuman yang mereka pesan. Staf pelayanan juga kini ada yang duduk di belakang meja kasir, sementara yang lainnya memastikan bahwa semua meja sudah mendapatkan pesanan mereka secara lengkap. Baru ketika itu. Embun menghela napas lega. “Kaisar. Mari naik ke kantor saya,” ujar Embun, masih dengan senyum. Ia memanggil Ratih untuk memberikan arahan terakhir sebelum kemudian ia naik ke ruangannya bersama Kaisar. “Embun.” Wanita itu berbalik men
“Ada aku.” Meskipun Embun menyadari kalau di sekitar mereka tengah timbul keributan kecil, tapi suara Kaisar tetap terdengar jernih di telinga Embun. Perlahan, ketegangan Embun mencair. Wanita itu tampak lebih tenang ketika akhirnya mereka memasuki auditorium yang terlihat sangat megah. Desain interiornya menggunakan gaya Eropa, tampak megah untuk mata Embun yang baru pertama kali melihatnya. Meskipun, memang, Embun pernah mendengar bahwa Asthana Hotel memiliki auditorium megah yang biasa digunakan untuk pertunjukan musik klasik, salah satu yang terbaik di negeri ini, Sejenak, Embun mawas diri terhadap penampilannya. Ia pun merasa bahwa ia tidak cocok dengan gaya ruangan auditorium ini. Namun, ia di sini karena Kaisar. Jadi, Embun mengesampingkan pemikirannya tersebut dan fokus pada teman menonton konsernya kali ini. Kaisar membawa Embun ke lantai dua, ke tempat duduk mereka. Dari sana, mereka akan bisa melihat para pemain di panggung dengan lebih jelas. “Kaisar?” Kaisar menghe
“Kamu jangan mempermainkan saya, Aletta!” Di seberang, Aletta kembali tertawa. “Jangan emosi dulu dong, Tante~” ucap wanita itu dengan santai. “Tidak banyak kok. Cuma satu miliar. Bukankah itu lebih kecil daripada yang pernah Tante berikan ke saya?” Lidya terdiam. Kurang ajar! Berani-beraninya anak ingusan ini mengancamnya lagi! Sayang sekali waktu itu Lidya tidak menduga betapa liciknya Aletta saat Lidya mengusir mantan pacar Kaisar itu pergi. Siapa yang menyangka bahwa Aletta merekam aksinya membayar gadis itu untuk meninggalkan Kaisar!? Kini, sembari mempekerjakan Aletta, tampaknya Lidya harus mulai menyusun cara untuk melenyapkan barang bukti itu. Ia tidak bisa mempertaruhkan reputasinya saat ini! “Soalnya, Tante,” ujar Aletta lagi tanpa menunggu balasan dari ibu Kaisar tersebut. “Saya butuh modal banyak untuk menjalankan rencana ini, jujur. Saya takut justru saya yang rugi dan tidak dapat untung.” Lidya mendengus, terdengar kesal. “Memangnya apa yang sudah kamu lakukan,
“Permisi? Ibu Lidya?” Lidya tersentak dari lamunannya dan berbalik. Wajahnya yang semula mengerut karena ulah Aletta langsung berubah dihiasi senyum kecil begitu melihat sosok yang menyapanya tersebut. “Halo, Bu Rahma,” sapa Lidya. “Apa kabar?” Sosok yang menyapa Lidya tersenyum tersenyum lebar dan langsung menyalami ibu Kaisar tersebut. “Baik, Bu. Saya tidak menyangka akan bertemu Bu Lidya di sini,” ucap Rahma. Lidya mengangguk. Ekspresi angkuh tidak sepenuhnya lepas dari sosoknya, apalagi ketika ia melihat bagaimana penampilan Rahma; yang menurut Lidya masih cukup jauh di bawahnya. Akan tetapi, Lidya tidak terang-terangan menunjukkan hal tersebut. Rahma ini adalah kenalannya di acara perkumpulan sosialita yang sering Lidya hadiri. Melihat Rahma mampu hadir di sana, tentunya wanita itu punya kuasa atau paling tidak harta yang cukup untuk dipamerkan di hadapan para istri pengusaha, politikus, dan konglomerat lainnya. Karenanya, Lidya mencoba menanggapi keramah tamahan ini senet
Samar-samar, Embun mendengar namanya dan menoleh ke arah Kaisar. Kedua alisnya terangkat dengan ekspresi bertanya, sementara bibirnya masih mengukir senyum. “Maaf. Kamu mengatakan sesuatu, Kaisar?” Tampaknya wanita itu tidak mendengar ucapan Kaisar karena toh Kaisar mengatakannya dengan suara pelan. Ditambah lagi, suara pria itu pastilah tenggelam oleh permainan piano solo dari sang musisi yang sedang tampil di panggung. Apalagi, saking terpesonanya dengan penampilan sang bintang konser malam itu, Embun tanpa bisa diragukan lagi tengah memusatkan seratus persen fokusnya pada atraksi utama acara. Mengabaikan Kaisar, pria sekaligus suami yang mengajaknya hadir di sini. Kaisar menghela napas. “Tidak. Nikmati saja konsernya.” Sesungguhnya, Kaisar merasa agak sedikit jengkel. Ia berpikir bahwa seharusnya ini menjadi waktu kencan mereka. Karena memang itulah yang ia inginkan. Seperti momen obrolan-obrolan harian mereka yang terjadi setiap usai makan malam sekarang. Bukannya malah se
“Ah, Embun. Kita bertemu lagi.” Embun menoleh ke sumber suara dan mendapati Dion berdiri di sana, tersenyum kecil saat melihat Embun. “Oh.” Embun berkedip, tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Dion lagi, apalagi di sini. Sementara itu, Dion duduk di kursi kosong di sebelah Embun dengan santai. “Kamu menyukai musik klasik?” tanya Dion, tampak berniat melibatkan Embun dalam sebuah obrolan. Pria itu dengan sengaja mendekatkan tubuhnya ke Embun. “Saya menemani Kaisar,” ucap Embun, mencoba menanggapi dengan netral dan sopan. Akan tetapi, sebenarnya ia sedang bingung. Dari tempat duduknya, Embun bisa melihat dengan jelas kalau Kaisar sedang tegang. Pria itu mendadak bersikap kaku, sangat bertolak belakang dengan kehangatan dan senyum yang tadi Embun lihat. Tanpa bisa dicegah, Embun penasaran. “Apakah ada hubungannya dengan Dion?” batin wanita berambut sebahu itu. “Tapi kenapa? Apakah mereka saling kenal? Hubungan mereka tidak baik ya?” Sementara itu, Kaisar masih tampak tid
“Aku bisa mengenalkan Embun pada musisi itu jika dia benar-benar ingin.” Usai mengatakan itu, Kaisar menggenggam tangan Embun dan membawanya pergi, meninggalkan Dion yang masih tetap di tempatnya. Pria itu menatap kepergian Kaisar dan Embun dengan senyum tipis. Ada sorot terhibur di sepasang mata hitamnya. “Menarik,” gumam Dion pada diri sendiri. Kemudian, ia tertawa kecil. Sebelumnya, pria itu memang sudah tertarik pada Embun, sejak wanita itu datang bersama perempuan yang dijodohkan dengan Dion oleh orang tuanya. Yang ternyata merupakan sahabat dari wanita itu. Diamnya Embun saat itu membuat Dion terusik. Karena normalnya, wanita-wanita lain akan berlomba-lomba menarik perhatiannya. Mereka akan berusaha mendapatkan fokus Dion dengan berbagai cara. Embun tidak demikian. Tidak seperti sahabat Embun yang terus bicara dan menyodorkan topik pada Dion, membuatnya risih. Wanita-wanita di sekelilingnya selalu saja berisik. “Orang itu tidak memperkenalkan dirinya,” ucap Dion kemudian,
“Atau biarkan saja orang-orang tahu bahwa kamu adalah istriku?” Embun menoleh ke pria yang duduk di sampingnya. Menurutnya, ada banyak sisi lain Kaisar yang Embun lihat malam ini. Dan hal itu membuatnya sedikit bingung untuk bereaksi. Akan tetapi, satu hal yang pasti– “Maksud kamu, mengatakan kepada orang-orang?” tanya Embun balik. Kaisar menghela napas. “Tidak. Lupakan saja,” balasnya. Tatapannya jatuh pada cincin yang melingkari jari manis kanannya di atas kemudi. “Ini bukan rahasia.” Embun terdiam sejenak, mengatur kata-kata yang akan ia utarakan. “Benar. Saya tidak menyembunyikan pernikahan ini, Kaisar,” kata Embun. Nada suaranya lembut, seperti biasa. “Namun, saya juga tidak terang-terangan memamerkan pada semua orang, apalagi jika orang tersebut tidak dekat dengan saya, tidak mengenal kamu, serta tidak menyinggung topik ini sama sekali.” Kaisar diam mendengarkan. “Tapi,” lanjut Embun kemudian. “Apabila hal ini mengganggu kamu, kita bisa mengobrol soal ini lebih lanjut.”
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi