“Kamu jangan mempermainkan saya, Aletta!” Di seberang, Aletta kembali tertawa. “Jangan emosi dulu dong, Tante~” ucap wanita itu dengan santai. “Tidak banyak kok. Cuma satu miliar. Bukankah itu lebih kecil daripada yang pernah Tante berikan ke saya?” Lidya terdiam. Kurang ajar! Berani-beraninya anak ingusan ini mengancamnya lagi! Sayang sekali waktu itu Lidya tidak menduga betapa liciknya Aletta saat Lidya mengusir mantan pacar Kaisar itu pergi. Siapa yang menyangka bahwa Aletta merekam aksinya membayar gadis itu untuk meninggalkan Kaisar!? Kini, sembari mempekerjakan Aletta, tampaknya Lidya harus mulai menyusun cara untuk melenyapkan barang bukti itu. Ia tidak bisa mempertaruhkan reputasinya saat ini! “Soalnya, Tante,” ujar Aletta lagi tanpa menunggu balasan dari ibu Kaisar tersebut. “Saya butuh modal banyak untuk menjalankan rencana ini, jujur. Saya takut justru saya yang rugi dan tidak dapat untung.” Lidya mendengus, terdengar kesal. “Memangnya apa yang sudah kamu lakukan,
“Permisi? Ibu Lidya?” Lidya tersentak dari lamunannya dan berbalik. Wajahnya yang semula mengerut karena ulah Aletta langsung berubah dihiasi senyum kecil begitu melihat sosok yang menyapanya tersebut. “Halo, Bu Rahma,” sapa Lidya. “Apa kabar?” Sosok yang menyapa Lidya tersenyum tersenyum lebar dan langsung menyalami ibu Kaisar tersebut. “Baik, Bu. Saya tidak menyangka akan bertemu Bu Lidya di sini,” ucap Rahma. Lidya mengangguk. Ekspresi angkuh tidak sepenuhnya lepas dari sosoknya, apalagi ketika ia melihat bagaimana penampilan Rahma; yang menurut Lidya masih cukup jauh di bawahnya. Akan tetapi, Lidya tidak terang-terangan menunjukkan hal tersebut. Rahma ini adalah kenalannya di acara perkumpulan sosialita yang sering Lidya hadiri. Melihat Rahma mampu hadir di sana, tentunya wanita itu punya kuasa atau paling tidak harta yang cukup untuk dipamerkan di hadapan para istri pengusaha, politikus, dan konglomerat lainnya. Karenanya, Lidya mencoba menanggapi keramah tamahan ini senet
Samar-samar, Embun mendengar namanya dan menoleh ke arah Kaisar. Kedua alisnya terangkat dengan ekspresi bertanya, sementara bibirnya masih mengukir senyum. “Maaf. Kamu mengatakan sesuatu, Kaisar?” Tampaknya wanita itu tidak mendengar ucapan Kaisar karena toh Kaisar mengatakannya dengan suara pelan. Ditambah lagi, suara pria itu pastilah tenggelam oleh permainan piano solo dari sang musisi yang sedang tampil di panggung. Apalagi, saking terpesonanya dengan penampilan sang bintang konser malam itu, Embun tanpa bisa diragukan lagi tengah memusatkan seratus persen fokusnya pada atraksi utama acara. Mengabaikan Kaisar, pria sekaligus suami yang mengajaknya hadir di sini. Kaisar menghela napas. “Tidak. Nikmati saja konsernya.” Sesungguhnya, Kaisar merasa agak sedikit jengkel. Ia berpikir bahwa seharusnya ini menjadi waktu kencan mereka. Karena memang itulah yang ia inginkan. Seperti momen obrolan-obrolan harian mereka yang terjadi setiap usai makan malam sekarang. Bukannya malah se
“Ah, Embun. Kita bertemu lagi.” Embun menoleh ke sumber suara dan mendapati Dion berdiri di sana, tersenyum kecil saat melihat Embun. “Oh.” Embun berkedip, tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Dion lagi, apalagi di sini. Sementara itu, Dion duduk di kursi kosong di sebelah Embun dengan santai. “Kamu menyukai musik klasik?” tanya Dion, tampak berniat melibatkan Embun dalam sebuah obrolan. Pria itu dengan sengaja mendekatkan tubuhnya ke Embun. “Saya menemani Kaisar,” ucap Embun, mencoba menanggapi dengan netral dan sopan. Akan tetapi, sebenarnya ia sedang bingung. Dari tempat duduknya, Embun bisa melihat dengan jelas kalau Kaisar sedang tegang. Pria itu mendadak bersikap kaku, sangat bertolak belakang dengan kehangatan dan senyum yang tadi Embun lihat. Tanpa bisa dicegah, Embun penasaran. “Apakah ada hubungannya dengan Dion?” batin wanita berambut sebahu itu. “Tapi kenapa? Apakah mereka saling kenal? Hubungan mereka tidak baik ya?” Sementara itu, Kaisar masih tampak tid
“Aku bisa mengenalkan Embun pada musisi itu jika dia benar-benar ingin.” Usai mengatakan itu, Kaisar menggenggam tangan Embun dan membawanya pergi, meninggalkan Dion yang masih tetap di tempatnya. Pria itu menatap kepergian Kaisar dan Embun dengan senyum tipis. Ada sorot terhibur di sepasang mata hitamnya. “Menarik,” gumam Dion pada diri sendiri. Kemudian, ia tertawa kecil. Sebelumnya, pria itu memang sudah tertarik pada Embun, sejak wanita itu datang bersama perempuan yang dijodohkan dengan Dion oleh orang tuanya. Yang ternyata merupakan sahabat dari wanita itu. Diamnya Embun saat itu membuat Dion terusik. Karena normalnya, wanita-wanita lain akan berlomba-lomba menarik perhatiannya. Mereka akan berusaha mendapatkan fokus Dion dengan berbagai cara. Embun tidak demikian. Tidak seperti sahabat Embun yang terus bicara dan menyodorkan topik pada Dion, membuatnya risih. Wanita-wanita di sekelilingnya selalu saja berisik. “Orang itu tidak memperkenalkan dirinya,” ucap Dion kemudian,
“Atau biarkan saja orang-orang tahu bahwa kamu adalah istriku?” Embun menoleh ke pria yang duduk di sampingnya. Menurutnya, ada banyak sisi lain Kaisar yang Embun lihat malam ini. Dan hal itu membuatnya sedikit bingung untuk bereaksi. Akan tetapi, satu hal yang pasti– “Maksud kamu, mengatakan kepada orang-orang?” tanya Embun balik. Kaisar menghela napas. “Tidak. Lupakan saja,” balasnya. Tatapannya jatuh pada cincin yang melingkari jari manis kanannya di atas kemudi. “Ini bukan rahasia.” Embun terdiam sejenak, mengatur kata-kata yang akan ia utarakan. “Benar. Saya tidak menyembunyikan pernikahan ini, Kaisar,” kata Embun. Nada suaranya lembut, seperti biasa. “Namun, saya juga tidak terang-terangan memamerkan pada semua orang, apalagi jika orang tersebut tidak dekat dengan saya, tidak mengenal kamu, serta tidak menyinggung topik ini sama sekali.” Kaisar diam mendengarkan. “Tapi,” lanjut Embun kemudian. “Apabila hal ini mengganggu kamu, kita bisa mengobrol soal ini lebih lanjut.”
“Temui aku besok di Kafe Senjakala, Dion. Sampai jumpa.” “Hei–” Telepon terputus secara sepihak, membuat Dion mendengus. Wanita itu selalu seenaknya sendiri. Namun, baiklah. Dion akan mengikuti ucapan Aletta kali ini, atas dasar masa lalu mereka yang memang saling menguntungkan. Toh, jika memang wanita itu berniat membantu bisnis Dion, dia juga yang akan diuntungkan. Tidak ada salahnya. Dengan pemikiran tersebut, Dion bangkit berdiri dan memilih untuk pulang, mengabaikan keberadaan orang tuanya yang entah di mana. Lagi pula, ia sudah memenuhi permintaan ibunya untuk muncul di sini malam ini, meski hanya sebentar. Dia sudah mendapatkan hiburan. Saatnya istirahat. “Minggu depan kamu ada acara, Nak?” Atau tidak. Dion baru saja memejamkan kedua matanya dan beristirahat sejenak ketika sang ibu muncul di dekatnya dan bertanya. Dengan singkat, pria itu menjawab, “Ada apa memangnya, Mam?” Ibunda Dion terlihat sangat bersemangat. Gerak tubuhnya sangat antusias. “Minggu depan cucu t
“Apa rencanamu?” Aletta tertawa geli melihat ekspresi Dion saat ini. Ia mendekatkan dirinya ke arah Dion dan menopang dagunya menggunakan satu tangan, menatap Dion dengan ekspresi terhibur. “Jangan langsung begitu dong,” kata wanita itu ringan. “Baru juga aku duduk. Pesan makanan dulu ya. Aku sengaja belum pesan karena menunggu kamu.” Dion menyipitkan matanya mendengar respons Aletta yang kelewat santai. Namun, ia tidak memprotes. Aletta mengambil buku menu di hadapan Dion dan membukanya. Lalu, tanpa bertanya pada Dion, wanita berambut cokelat terang itu memanggil pelayan untuk memesan beberapa menu, termasuk makanan ringan dan menu rekomendasi utama. Setelah itu, Aletta kembali menatap Dion dengan senyum. “Masih pagi, lho. Mukamu masam sekali.” Aletta berkomentar. “Berhentilah menggodaku, Aletta.” Dion berkata singkat. Aletta mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Hubungannya dengan Dion memang seperti ini. Aletta suka menggoda Dion karena pria itu tidak pernah marah pad