Menurut kalian Kaisar lagi cemburu nggak sih? Bisa loh, tinggalkan komentar di bawah. Terima kasih karena masih setia membaca kisah Embun & Kaisar :) Sampai jumpa di bab selanjutnya ^.^
“Aku bisa mengenalkan Embun pada musisi itu jika dia benar-benar ingin.” Usai mengatakan itu, Kaisar menggenggam tangan Embun dan membawanya pergi, meninggalkan Dion yang masih tetap di tempatnya. Pria itu menatap kepergian Kaisar dan Embun dengan senyum tipis. Ada sorot terhibur di sepasang mata hitamnya. “Menarik,” gumam Dion pada diri sendiri. Kemudian, ia tertawa kecil. Sebelumnya, pria itu memang sudah tertarik pada Embun, sejak wanita itu datang bersama perempuan yang dijodohkan dengan Dion oleh orang tuanya. Yang ternyata merupakan sahabat dari wanita itu. Diamnya Embun saat itu membuat Dion terusik. Karena normalnya, wanita-wanita lain akan berlomba-lomba menarik perhatiannya. Mereka akan berusaha mendapatkan fokus Dion dengan berbagai cara. Embun tidak demikian. Tidak seperti sahabat Embun yang terus bicara dan menyodorkan topik pada Dion, membuatnya risih. Wanita-wanita di sekelilingnya selalu saja berisik. “Orang itu tidak memperkenalkan dirinya,” ucap Dion kemudian,
“Atau biarkan saja orang-orang tahu bahwa kamu adalah istriku?” Embun menoleh ke pria yang duduk di sampingnya. Menurutnya, ada banyak sisi lain Kaisar yang Embun lihat malam ini. Dan hal itu membuatnya sedikit bingung untuk bereaksi. Akan tetapi, satu hal yang pasti– “Maksud kamu, mengatakan kepada orang-orang?” tanya Embun balik. Kaisar menghela napas. “Tidak. Lupakan saja,” balasnya. Tatapannya jatuh pada cincin yang melingkari jari manis kanannya di atas kemudi. “Ini bukan rahasia.” Embun terdiam sejenak, mengatur kata-kata yang akan ia utarakan. “Benar. Saya tidak menyembunyikan pernikahan ini, Kaisar,” kata Embun. Nada suaranya lembut, seperti biasa. “Namun, saya juga tidak terang-terangan memamerkan pada semua orang, apalagi jika orang tersebut tidak dekat dengan saya, tidak mengenal kamu, serta tidak menyinggung topik ini sama sekali.” Kaisar diam mendengarkan. “Tapi,” lanjut Embun kemudian. “Apabila hal ini mengganggu kamu, kita bisa mengobrol soal ini lebih lanjut.”
“Temui aku besok di Kafe Senjakala, Dion. Sampai jumpa.” “Hei–” Telepon terputus secara sepihak, membuat Dion mendengus. Wanita itu selalu seenaknya sendiri. Namun, baiklah. Dion akan mengikuti ucapan Aletta kali ini, atas dasar masa lalu mereka yang memang saling menguntungkan. Toh, jika memang wanita itu berniat membantu bisnis Dion, dia juga yang akan diuntungkan. Tidak ada salahnya. Dengan pemikiran tersebut, Dion bangkit berdiri dan memilih untuk pulang, mengabaikan keberadaan orang tuanya yang entah di mana. Lagi pula, ia sudah memenuhi permintaan ibunya untuk muncul di sini malam ini, meski hanya sebentar. Dia sudah mendapatkan hiburan. Saatnya istirahat. “Minggu depan kamu ada acara, Nak?” Atau tidak. Dion baru saja memejamkan kedua matanya dan beristirahat sejenak ketika sang ibu muncul di dekatnya dan bertanya. Dengan singkat, pria itu menjawab, “Ada apa memangnya, Mam?” Ibunda Dion terlihat sangat bersemangat. Gerak tubuhnya sangat antusias. “Minggu depan cucu t
“Apa rencanamu?” Aletta tertawa geli melihat ekspresi Dion saat ini. Ia mendekatkan dirinya ke arah Dion dan menopang dagunya menggunakan satu tangan, menatap Dion dengan ekspresi terhibur. “Jangan langsung begitu dong,” kata wanita itu ringan. “Baru juga aku duduk. Pesan makanan dulu ya. Aku sengaja belum pesan karena menunggu kamu.” Dion menyipitkan matanya mendengar respons Aletta yang kelewat santai. Namun, ia tidak memprotes. Aletta mengambil buku menu di hadapan Dion dan membukanya. Lalu, tanpa bertanya pada Dion, wanita berambut cokelat terang itu memanggil pelayan untuk memesan beberapa menu, termasuk makanan ringan dan menu rekomendasi utama. Setelah itu, Aletta kembali menatap Dion dengan senyum. “Masih pagi, lho. Mukamu masam sekali.” Aletta berkomentar. “Berhentilah menggodaku, Aletta.” Dion berkata singkat. Aletta mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Hubungannya dengan Dion memang seperti ini. Aletta suka menggoda Dion karena pria itu tidak pernah marah pad
[Aku lembur malam ini. Jangan menungguku dan langsung istirahat saja, Embun.] Pesan dari Kaisar tersebut membuat Embun mengernyit. Sudah beberapa hari ini ia merasa sikap Kaisar aneh, mulai sejak mereka menonton konser musik klasik waktu itu. Namun, Embun tidak paham kenapa. Pun, ia tidak bisa bertanya karena ia tidak pernah bertemu dengan Kaisar setelahnya. Sungguh, pria itu selalu bekerja, bahkan hingga Embun merasa Kaisar terlalu sibuk! Jika memang ada masalah, Embun berharap mereka bisa membicarakannya sambil tatap muka seperti biasa. Konflik tidak bisa ditangani lewat pesan ataupun telepon. Oleh karena itu, Embun selalu menyukai obrolan mereka saat makan malam. Tapi momen itu sudah menghilang beberapa hari ini. Meskipun Embun menyadari hal itu karena dirinya juga tengah sibuk oleh persiapan pembukaan cabang di Asthana Hotel. Jika Kaisar pulang awal, Embunlah yang pulang larut. Begitu juga sebaliknya. Hal tersebut juga berlaku saat pagi hari. Kaisar selalu sudah berangkat
“Aku ada sedikit masalah dengan tempat ini.”Embun mengangguk. Siap mendengarkan keluhan Dion.Dion meletakkan alat makan yang tengah dia pegang dan mendekatkan dirinya ke Embun.“Bisakah aku bertemu dengan pemilik kafe ini? Atau kokinya juga tidak masalah.” Pria itu berucap. “Ya?” Embun tampak terkejut, sama sekali tidak menyangka pertanyaan dari Dion tersebut. Sepasang mata cokelatnya tampak bingung. “Bagaimana?”Dion tertawa pelan, jelas menikmati reaksi Embun. Wanita di hadapannya ini tidak glamor seperti Aletta, tidak tampak mencolok seperti temannya tersebut. Namun, menurut Dion, Embun memiliki daya tarik sendiri dari penampilan polosnya.Wajah Embun hanya dihiasi riasan tipis dan pakaian yang wanita itu kenakan pun tidak aneh-aneh, sama sekali tidak menarik perhatian karena begitu biasa. Namun, cara Embun berperilaku. Bertutur kata, serta segala ekspresi yang wanita itu tampilkan … begitu menarik, menurut Dion.Nyaris mengingatkannya pada masa lalu.“Dion? Apa maksud kamu?”
“Akan tetapi, saya tidak bisa menerima penawaran dari kamu.” Suara Embun terdengar halus, seakan ia tidak ingin menyakiti lawan bicaranya. Namun, tetap saja ekspresi terluka terlintas di wajah Dion, mengikuti keterkejutan pria itu yang tampak lebih dulu. “Kenapa, Embun?” tanya Dion tepat setelahnya. “Apa penawaranku kurang menarik?” “Bukan begitu–” “Oh, mungkin ini agak bertentangan dengan bagaimana kamu menjalankan kafemu ya?” potong Dion, mengambil kesimpulan. “Jangan khawatir, aku bisa menyesuaikan konsep dan segala jenis halnya dengan milikmu, Embun.” Embun menghela napas. “Meskipun begitu, saya tidak bisa, Dion.” Pria di hadapannya terdiam. Menatap Embun tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat. Hal tersebut membuat Embun sedikit tidak nyaman. Seakan-akan Embun telah melakukan suatu hal yang tidak profesional, menolak penawaran kerja sama tanpa penjelasan yang jelas. Dan itu mengganggunya. “Saat ini saya sedang sibuk mempersiapkan cabang baru untuk kafe saya, Dion,
"Mereka tidak akan mengecewakan saya.” Ucapan Embun yang terdengar tegas, meskipun diucapkan dengan suaranya yang lembut tersebut membuat Dion terdiam. Baru ketika itu, pria tersebut menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh mendesak Embun. “... Baiklah jika demikian, Embun.” Pada akhirnya, Dion menyerah. Untuk saat ini. Sejujurnya, dalam hati, Dion tengah merutuki Aletta. Wanita itu tidak mengatakan bahwa Embun tengah menjalin kerja sama, apalagi dengan Asthana Hotel. Informasi yang diberikan Aletta tidak lengkap dan itu menyulitkan langkah serta usaha yang sedang dijalankan oleh Dion. Pria itu kemudian memamerkan ekspresi kecewa di hadapan Embun yang tengah menatapnya. “Sayang sekali, Embun,” imbuh Dion kemudian. Embun hanya tersenyum. Ia membereskan piringnya sendiri dan berdiri. “Maaf, saya permisi dulu ya, Dion,” ucap Embun, tidak lagi menanggapi komentar Dion. “Masih ada beberapa hal yang harus saya urus. Senang berbincang dengan kamu sore ini.” “Tunggu, Embun.” Dion lang