Waduh, Dion dan Aletta kayaknya punya hubungan ya? Apa jangan-jangan di masa lalu mereka pernah.... ? Kalau menurut kalian, mereka pernah punya hubungan nggak sih? Boleh sampaikan di kolom komentar ya, agar author tetap semangat menulis. Terima kasih~
[Aku lembur malam ini. Jangan menungguku dan langsung istirahat saja, Embun.] Pesan dari Kaisar tersebut membuat Embun mengernyit. Sudah beberapa hari ini ia merasa sikap Kaisar aneh, mulai sejak mereka menonton konser musik klasik waktu itu. Namun, Embun tidak paham kenapa. Pun, ia tidak bisa bertanya karena ia tidak pernah bertemu dengan Kaisar setelahnya. Sungguh, pria itu selalu bekerja, bahkan hingga Embun merasa Kaisar terlalu sibuk! Jika memang ada masalah, Embun berharap mereka bisa membicarakannya sambil tatap muka seperti biasa. Konflik tidak bisa ditangani lewat pesan ataupun telepon. Oleh karena itu, Embun selalu menyukai obrolan mereka saat makan malam. Tapi momen itu sudah menghilang beberapa hari ini. Meskipun Embun menyadari hal itu karena dirinya juga tengah sibuk oleh persiapan pembukaan cabang di Asthana Hotel. Jika Kaisar pulang awal, Embunlah yang pulang larut. Begitu juga sebaliknya. Hal tersebut juga berlaku saat pagi hari. Kaisar selalu sudah berangkat
“Aku ada sedikit masalah dengan tempat ini.”Embun mengangguk. Siap mendengarkan keluhan Dion.Dion meletakkan alat makan yang tengah dia pegang dan mendekatkan dirinya ke Embun.“Bisakah aku bertemu dengan pemilik kafe ini? Atau kokinya juga tidak masalah.” Pria itu berucap. “Ya?” Embun tampak terkejut, sama sekali tidak menyangka pertanyaan dari Dion tersebut. Sepasang mata cokelatnya tampak bingung. “Bagaimana?”Dion tertawa pelan, jelas menikmati reaksi Embun. Wanita di hadapannya ini tidak glamor seperti Aletta, tidak tampak mencolok seperti temannya tersebut. Namun, menurut Dion, Embun memiliki daya tarik sendiri dari penampilan polosnya.Wajah Embun hanya dihiasi riasan tipis dan pakaian yang wanita itu kenakan pun tidak aneh-aneh, sama sekali tidak menarik perhatian karena begitu biasa. Namun, cara Embun berperilaku. Bertutur kata, serta segala ekspresi yang wanita itu tampilkan … begitu menarik, menurut Dion.Nyaris mengingatkannya pada masa lalu.“Dion? Apa maksud kamu?”
“Akan tetapi, saya tidak bisa menerima penawaran dari kamu.” Suara Embun terdengar halus, seakan ia tidak ingin menyakiti lawan bicaranya. Namun, tetap saja ekspresi terluka terlintas di wajah Dion, mengikuti keterkejutan pria itu yang tampak lebih dulu. “Kenapa, Embun?” tanya Dion tepat setelahnya. “Apa penawaranku kurang menarik?” “Bukan begitu–” “Oh, mungkin ini agak bertentangan dengan bagaimana kamu menjalankan kafemu ya?” potong Dion, mengambil kesimpulan. “Jangan khawatir, aku bisa menyesuaikan konsep dan segala jenis halnya dengan milikmu, Embun.” Embun menghela napas. “Meskipun begitu, saya tidak bisa, Dion.” Pria di hadapannya terdiam. Menatap Embun tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat. Hal tersebut membuat Embun sedikit tidak nyaman. Seakan-akan Embun telah melakukan suatu hal yang tidak profesional, menolak penawaran kerja sama tanpa penjelasan yang jelas. Dan itu mengganggunya. “Saat ini saya sedang sibuk mempersiapkan cabang baru untuk kafe saya, Dion,
"Mereka tidak akan mengecewakan saya.” Ucapan Embun yang terdengar tegas, meskipun diucapkan dengan suaranya yang lembut tersebut membuat Dion terdiam. Baru ketika itu, pria tersebut menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh mendesak Embun. “... Baiklah jika demikian, Embun.” Pada akhirnya, Dion menyerah. Untuk saat ini. Sejujurnya, dalam hati, Dion tengah merutuki Aletta. Wanita itu tidak mengatakan bahwa Embun tengah menjalin kerja sama, apalagi dengan Asthana Hotel. Informasi yang diberikan Aletta tidak lengkap dan itu menyulitkan langkah serta usaha yang sedang dijalankan oleh Dion. Pria itu kemudian memamerkan ekspresi kecewa di hadapan Embun yang tengah menatapnya. “Sayang sekali, Embun,” imbuh Dion kemudian. Embun hanya tersenyum. Ia membereskan piringnya sendiri dan berdiri. “Maaf, saya permisi dulu ya, Dion,” ucap Embun, tidak lagi menanggapi komentar Dion. “Masih ada beberapa hal yang harus saya urus. Senang berbincang dengan kamu sore ini.” “Tunggu, Embun.” Dion lang
“Kaisar, kamu–” “Sudah malam, Embun. Sebaiknya kamu segera beristirahat.” Kalimat Embun dipotong oleh Kaisar, sebelum Embun bisa mengutarakan maksudnya. Karena terkejut, Embun tidak dapat mengatakan apa-apa dan membiarkan Kaisar masuk ke kamar begitu saja. Merasa kecewa, akhirnya Embun tidak menghabiskan tehnya dan kembali ke kamarnya sendiri untuk segera tidur. Ada banyak hal yang harus ia hadapi besok pagi, termasuk keanehan Kaisar. Meskipun Embun tidak yakin kalau pria itu akan ada di apartemen mereka saat Embun keluar kamar. “Mungkin dia sedang banyak pikiran,” kata Embun pada dirinya sendiri sembari ia membaringkan diri di atas tempat tidur. “Wajahnya tampak lelah dan dia baru pulang.” Wanita itu membiarkan pikirannya melayang pada kesibukan dan keanehan Kaisar. “Apakah dia baik-baik saja ya?” Dengan pemikiran itu, Embun akhirnya terlelap. Saat pagi tiba, usai Embun selesai mematut dirinya untuk pergi ke kafe, hal pertama yang berniat ia lakukan adalah menghubungi Aletta
“Bu Embun, untuk masalah perabot pesanan sudah hampir selesai.”Embun baru saja kembali dari Asthana Hotel usai mengecek progres desain interior di sana ketika Bening muncul. Wanita muda itu bahkan tidak menunggu Embun masuk ke kantornya lebih dulu dan langsung menyapanya di pintu depan.Namun, Embun paham. Setelah Embun mengabari manajer kafenya tentang perkembangan terbaru tenggat waktu pembukaan kafe, Bening pasti turut gugup dan tergesa sama sepertinya dan Pak Heru.Oleh karena itu, ia tidak bisa menyalahkan manajer kafenya tersebut.“Terima kasih konfirmasinya, Bening.” Embun tersenyum. “Tidak ada masalah soal itu, bukan?”“Dari laporan yang saya terima, semuanya lancar, Bu Embun,” jawab Bening. “Namun, pihak kita diminta datang untuk mengecek dan konfirmasi mengenai beberapa hal.”Embun mengangguk. “Baiklah. Ayo kita ke sana.”“Ibu mau naik motor saya?” tawar Bening dengan polosnya. “Agar cepat.”Hal tersebut membuat Embun tersenyum, tampak sedikit terhibur. “Lokasinya agak jau
Kaisar melangkah menuju lift dan turun sembari mengutak-atik ponselnya untuk menelepon asistennya. “Ini saya,” ucap pria itu tepat ketika telepon diangkat. Bahkan asistennya itu belum sempat menyelesaikan salam. “Saya perlu tahu soal keberadaan Embun sekarang.” Di seberang saluran telepon, asisten Kaisar kebingungan. Saat ini dini hari dan ia sudah terlelap beberapa jam yang lalu, bahkan sempat bermimpi meski ia tidak ingat apa mimpinya tersebut ketika atasannya menghubungi dirinya. Namun, bosnya itu justru memerintahkan dirinya untuk mencari seseorang? Paling tidak, ia perlu informasi tambahan untuk menemukan orang tersebut, bukan!? Di mana lokasi terakhir Embun, misalnya. Namun, urgensi dari nada bicara Kaisar membuat si asisten tidak ingin bertanya lebih lanjut. Suasana hati bosnya tersebut tampaknya tidak dalam keadaan baik. Karenanya, sis asisten hanya menjawab, “Baik, Pak Kaisar. Mohon ditunggu.” Telepon ditutup. Kaisar berjalan menuju ke mobilnya dan berniat mengecek
“Tidak bisa seperti itu, Pak! Kami sudah membayar sebelumnya dengan desain yang sudah disetujui. Seharusnya jika tidak lolos dari kami, pihak Bapak bertanggung jawab!” Embun menyentuh bahu Bening saat gadis itu marah-marah, mencoba menenangkan. Sejujurnya, Embun terdorong untuk melakukan hal yang sama. Sudah lewat tengah malam, perut kosong, dan badan kelelahan membuat Embun harus berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ketenangannya, apalagi di hadapan perkembangan tidak masuk akal ini. “Bapak,” ucap Embun, menatap Pak Endang dengan pandangan datar, tetapi bibirnya tetap mengukir senyum sopan. Pun nada bicaranya. “Bagaimana kalau kita duduk dulu dan bicarakan masalah ini?” Pak Endang menegapkan bahunya, sekaligus membusungkan dada. Baginya, mengatasi dua orang wanita yang kemungkinan besar tidak tahu apa-apa tentang barang-barang mebel pastilah mudah baginya yang sudah berpengalaman. Bukan masalah besar. Pria tua itu sama sekali tidak terintimidasi dengan sikap profesional
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi