Wah, wah, makin dekat ke momen Kaisar Embun lagi nih~ Kira-kira mereka bakal mesra lagi gak ya akhirnya? Paling nggak dalam waktu dekat ini deh.
“Tidak bisa seperti itu, Pak! Kami sudah membayar sebelumnya dengan desain yang sudah disetujui. Seharusnya jika tidak lolos dari kami, pihak Bapak bertanggung jawab!” Embun menyentuh bahu Bening saat gadis itu marah-marah, mencoba menenangkan. Sejujurnya, Embun terdorong untuk melakukan hal yang sama. Sudah lewat tengah malam, perut kosong, dan badan kelelahan membuat Embun harus berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ketenangannya, apalagi di hadapan perkembangan tidak masuk akal ini. “Bapak,” ucap Embun, menatap Pak Endang dengan pandangan datar, tetapi bibirnya tetap mengukir senyum sopan. Pun nada bicaranya. “Bagaimana kalau kita duduk dulu dan bicarakan masalah ini?” Pak Endang menegapkan bahunya, sekaligus membusungkan dada. Baginya, mengatasi dua orang wanita yang kemungkinan besar tidak tahu apa-apa tentang barang-barang mebel pastilah mudah baginya yang sudah berpengalaman. Bukan masalah besar. Pria tua itu sama sekali tidak terintimidasi dengan sikap profesional
“Untuk biayanya dipatok harga berapa?” Saat ini, Embun tengah berpikir keras. Sebenarnya, ia memiliki tabungan simpanan. Meskipun begitu, penambahan biaya yang dibebankan padanya pasti akan menguras kantongnya. Belum lagi, Embun merasa tidak begitu rela harus mengeluarkan uang lebih karena ia yakin bahwa kesalahan ini bukan ada pada dirinya, meski dirinya belum bisa membuktikan. Hanya saja, cukup melelahkan jika harus berdebat lebih jauh lagi, apalagi karena Pak Endang begitu keras kepala dan diskusi mereka sebenarnya tidak berkembang jauh. Dan lagi, Embun terdesak waktu. Ia tidak punya pilihan lain. Pergi ke pabrik perabot lain pun tidak akan memastikan dirinya mendapatkan apa yang ia mau sebelum tenggat waktunya tiba. “Untuk biayanya ….” Pak Endang mengungkapkan nominal yang membuat hati Embun mecelos. Ya, tabungannya akan terkuras jika ini terus berlanjut. “Pak,” tanggap Embun, mencoba kembali bernegosiasi. “Saya kesulitan jika Bapak mematok harga setinggi itu, apalagi men
“Ta-tapi, Pak–” “Bisa saya lihat dokumen-dokumen yang ada?” Kaisar bertanya, membuat Pak Endang langsung terdiam. Duduk di samping Kaisar, Embun memandang Pak Endang yang saat ini terlihat gugup, sama sekali berbeda dengan karakter yang ditampilkannya tadi, yang tampak penuh kuasa dan mendominasi. Diskusi antara Kaisar tidak berlangsung lama–bahkan bisa dikatakan cepat kilat dan nyaris tidak ada diskusi maupun negosiasi. Usai membaca dokumen yang ada, suami Embun tersebut menatap Pak Endang dengan tajam selama beberapa detik, membuat Pak Endang berkeringat dingin. Pria di hadapannya ini adalah klien terhormat yang selama ini menjadi pelanggan tetap usahanya. Pak Endang mengenalnya karena ia pernah mendapatkan kehormatan untuk berdiskusi langsung dengan Kaisar di sedikit kesempatan. Akan tetapi, meskipun Kaisar adalah pelanggannya, Pak Endang tidak mendengar kabar bahwa pria itu sudah menikah. “Apalagi dengan wanita ini!” batin Pak Endang, menjerit frustrasi. Jika ia tahu bahwa E
“Ada apa, Kaisar?” Hening kembali mengiringi perjalanan mereka selama beberapa saat sebelum akhirnya Kaisar justru balik bertanya. “Apa yang mau kamu katakan?” Embun bergumam pelan dan mengarahkan pandangannya ke luar jendela yang masih gelap. Jalanan yang tadinya sepi kini tampak cukup ramai setelah mobil yang mereka kendarai masuk ke jalan raya. Bisa dimengerti lantaran tempat pembuatan properti yang Embun kunjungi ada di luar kota dan jauh dari pemukiman penduduk. “... Embun?” Sejenak, manik cokelat Embun bertemu dengan mata hitam Kaisar saat pria itu mengalihkan pandangan dari jalanan depan. “Ah, tidak,” jawab Embun pelan setelah Kaisar kembali fokus ke depan. “Terima kasih sudah memjemput saya, Kaisar. Saya–” Tiba-tiba sebuah suara asing memotong ucapan Embun, sekaligus membuat wajah wanita itu memerah karena malu. Perutnya berbunyi! Astaga, inikah akibatnya ia hanya makan sekali kemarin? Embun tidak terlalu merasa lapar, tapi mungkin itu karena ia lebih berat menahan r
“Aku tidak mau kamu jatuh sakit.” Satu hal lagi yang mengejutkan Embun, tapi wanita itu sudah mampu mengontrol ekspresinya meskipun jantungnya berdebar akibat ucapan Kaisar tersebut. Yah, pria itu memang tidak banyak bicara, tapi beberapa kali kata-kata Kaisar membuat Embun salah tingkah. Namun, lebih baik begitu daripada Kaisar sama sekali tidak mengajaknya bicara. Jujur, Embun merindukan pria itu. “Baiklah,” gumam Embun, menanggapi Kaisar pada akhirnya. Diam-diam ia tersenyum sembari menatap keluar jendela sementara mobil mulai melaju kembali di jalan raya. “Terima kasih sekali lagi, Kaisar.” Hening kembali menyelimuti pasangan suami istri tersebut. “... Ah, apa kamu mau makan juga?” tanya Embun tiba-tiba. Ia sedang membuka bungkusan kentang goreng di pangkuan. Kaisar tersenyum tipis. “Aku sedang menyetir, Embun–” Namun, tanpa diduga oleh pria itu, Embun sudah mengulurkan sepotong kentang goreng di depan bibir Kaisar. Sekilas, Kaisar menoleh pada Embun. Gelapnya bagian dala
“Tenang, nanti gua kenalin ke cewek oke deh di pesta itu. Jangan khawatir!” Nicholas mendengus. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan agar bisa berbicara lebih santai dengan kawannya tersebut. “Kalo ada juga,” tanggap Nicholas, “gua bisa kenalan sendiri.” Di seberang, si penelepon terkekeh keras. “Ya, ya. Nggak mungkin diragukan lagi deh,” ucapnya. “Lagian emangnya lu nggak disuruh buruan bawa calon? Umur segitu. Lu udah putus, kan?” Nicholas berdecak. “Kalau sudah selesai, gua tutup ya. Mau rapat,” sahutnya singkat. “Nic, Nic.” Tampaknya si penelepon menggeleng-gelengkan kepala. “Gua kasih tahu nih ya, mending lu buruan cari calon sendiri. Daripada dijodohin. Lu nggak denger kabar selingkuh–” “Gua tutup dulu ya. Paman Kaisar datang.” Nicholas buru-buru menutup panggilan dengan kebohongannya, padahal jelas-jelas pamannya itu tidak ada di tempat. Pria muda itu kembali ke dalam ruangan dan kembali mendengarkan presentasi dari perwakilan divisi. Ia memberikan beberap
Friska bisa merasakan tatapan semua orang terarah padanya seakan-akan dia punya dua kepala. Atau gila. Yang jelas, hal itu membuat tengkuk Friska terasa dingin, meski ia tidak menampilkannya terang-terangan. Gadis itu datang dengan sadar bahwa penampilannya ini akan memunculkan gosip sensasional di kalangan konglomerat yang terbatas ini. Dan memang itulah yang Friska incar. “Lho, Friska. Lama tidak bertemu.” Seorang pria paruh baya menyapanya dengan ramah. Namun, Friska tetap bisa menangkap sorot mata heran di sepasang matanya. “Apa kabar? Om kira kamu tidak datang.” Friska tersenyum kecil. “Baik, Om,” jawabnya singkat. Dari ekor matanya, ia menyadari tatapan tajam sang ayah yang tadi sibuk mengobrol dengan Cahya Subagja, pria paruh baya itu, ketika Friska masuk ke aula. “Memalukan!” Friska hampir bisa mendengar omelan ayahnya hanya dari tatapan mata. “Kamu memang berniat menghancurkan reputasi Ayah ya!?” “Selamat atas pernikahan putrinya, Om.” Friska berucap sembari tersenyum
[Kaisar, apakah kamu akan pulang untuk makan malam?] Wanita itu tetap mengirimkan pesan sederhana secara rutin, entah itu menanyakan apakah Kaisar sudah makan atau apakah mereka akan makan bersama. Beberapa hari sudah lewat sejak Kaisar menjemput istrinya tersebut dari tempat pemesanan properti dan setelah hari itu, hubungan Embun dan Kaisar seperti kembali biasa–tanpa Kaisar yang menghindar di setiap momennya. Embun pun tampak sedikit lebih santai, karena Kaisar turut membantu sedikit persiapan pembukaan cabang kafe Embun–baik secara diam-diam maupun kentara dengan memberikan saran. Kebiasaan mengobrol mereka belakangan ini mulai rutin lagi. “Ya.” Kaisar membalas pesan istrinya tersebut dengan singkat. Tidak lama, ada pesan lain dari Embun yang masuk ke ponselnya. [Kemarin kamu yang masak. Malam ini giliranku, ya? Kamu mau apa?] Tanpa sadar, Kaisar tersenyum kecil karena Embun sudah mengubah cara bicaranya dengan Kaisar. Ia merasa sedikit lebih dekat dengan istri dadakannya t