Wah, Dion ngerencanain apa ya? Kok mencurigakan gitu sih? Btw, siapa di sini yang kangen Kaisar - Embun? Ayo, tulis di komen yuk. Siapa tau chapter berikutnya ada mereka berdua... ^.^
“Aku ada sedikit masalah dengan tempat ini.”Embun mengangguk. Siap mendengarkan keluhan Dion.Dion meletakkan alat makan yang tengah dia pegang dan mendekatkan dirinya ke Embun.“Bisakah aku bertemu dengan pemilik kafe ini? Atau kokinya juga tidak masalah.” Pria itu berucap. “Ya?” Embun tampak terkejut, sama sekali tidak menyangka pertanyaan dari Dion tersebut. Sepasang mata cokelatnya tampak bingung. “Bagaimana?”Dion tertawa pelan, jelas menikmati reaksi Embun. Wanita di hadapannya ini tidak glamor seperti Aletta, tidak tampak mencolok seperti temannya tersebut. Namun, menurut Dion, Embun memiliki daya tarik sendiri dari penampilan polosnya.Wajah Embun hanya dihiasi riasan tipis dan pakaian yang wanita itu kenakan pun tidak aneh-aneh, sama sekali tidak menarik perhatian karena begitu biasa. Namun, cara Embun berperilaku. Bertutur kata, serta segala ekspresi yang wanita itu tampilkan … begitu menarik, menurut Dion.Nyaris mengingatkannya pada masa lalu.“Dion? Apa maksud kamu?”
“Akan tetapi, saya tidak bisa menerima penawaran dari kamu.” Suara Embun terdengar halus, seakan ia tidak ingin menyakiti lawan bicaranya. Namun, tetap saja ekspresi terluka terlintas di wajah Dion, mengikuti keterkejutan pria itu yang tampak lebih dulu. “Kenapa, Embun?” tanya Dion tepat setelahnya. “Apa penawaranku kurang menarik?” “Bukan begitu–” “Oh, mungkin ini agak bertentangan dengan bagaimana kamu menjalankan kafemu ya?” potong Dion, mengambil kesimpulan. “Jangan khawatir, aku bisa menyesuaikan konsep dan segala jenis halnya dengan milikmu, Embun.” Embun menghela napas. “Meskipun begitu, saya tidak bisa, Dion.” Pria di hadapannya terdiam. Menatap Embun tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat. Hal tersebut membuat Embun sedikit tidak nyaman. Seakan-akan Embun telah melakukan suatu hal yang tidak profesional, menolak penawaran kerja sama tanpa penjelasan yang jelas. Dan itu mengganggunya. “Saat ini saya sedang sibuk mempersiapkan cabang baru untuk kafe saya, Dion,
"Mereka tidak akan mengecewakan saya.” Ucapan Embun yang terdengar tegas, meskipun diucapkan dengan suaranya yang lembut tersebut membuat Dion terdiam. Baru ketika itu, pria tersebut menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh mendesak Embun. “... Baiklah jika demikian, Embun.” Pada akhirnya, Dion menyerah. Untuk saat ini. Sejujurnya, dalam hati, Dion tengah merutuki Aletta. Wanita itu tidak mengatakan bahwa Embun tengah menjalin kerja sama, apalagi dengan Asthana Hotel. Informasi yang diberikan Aletta tidak lengkap dan itu menyulitkan langkah serta usaha yang sedang dijalankan oleh Dion. Pria itu kemudian memamerkan ekspresi kecewa di hadapan Embun yang tengah menatapnya. “Sayang sekali, Embun,” imbuh Dion kemudian. Embun hanya tersenyum. Ia membereskan piringnya sendiri dan berdiri. “Maaf, saya permisi dulu ya, Dion,” ucap Embun, tidak lagi menanggapi komentar Dion. “Masih ada beberapa hal yang harus saya urus. Senang berbincang dengan kamu sore ini.” “Tunggu, Embun.” Dion lang
“Kaisar, kamu–” “Sudah malam, Embun. Sebaiknya kamu segera beristirahat.” Kalimat Embun dipotong oleh Kaisar, sebelum Embun bisa mengutarakan maksudnya. Karena terkejut, Embun tidak dapat mengatakan apa-apa dan membiarkan Kaisar masuk ke kamar begitu saja. Merasa kecewa, akhirnya Embun tidak menghabiskan tehnya dan kembali ke kamarnya sendiri untuk segera tidur. Ada banyak hal yang harus ia hadapi besok pagi, termasuk keanehan Kaisar. Meskipun Embun tidak yakin kalau pria itu akan ada di apartemen mereka saat Embun keluar kamar. “Mungkin dia sedang banyak pikiran,” kata Embun pada dirinya sendiri sembari ia membaringkan diri di atas tempat tidur. “Wajahnya tampak lelah dan dia baru pulang.” Wanita itu membiarkan pikirannya melayang pada kesibukan dan keanehan Kaisar. “Apakah dia baik-baik saja ya?” Dengan pemikiran itu, Embun akhirnya terlelap. Saat pagi tiba, usai Embun selesai mematut dirinya untuk pergi ke kafe, hal pertama yang berniat ia lakukan adalah menghubungi Aletta
“Bu Embun, untuk masalah perabot pesanan sudah hampir selesai.”Embun baru saja kembali dari Asthana Hotel usai mengecek progres desain interior di sana ketika Bening muncul. Wanita muda itu bahkan tidak menunggu Embun masuk ke kantornya lebih dulu dan langsung menyapanya di pintu depan.Namun, Embun paham. Setelah Embun mengabari manajer kafenya tentang perkembangan terbaru tenggat waktu pembukaan kafe, Bening pasti turut gugup dan tergesa sama sepertinya dan Pak Heru.Oleh karena itu, ia tidak bisa menyalahkan manajer kafenya tersebut.“Terima kasih konfirmasinya, Bening.” Embun tersenyum. “Tidak ada masalah soal itu, bukan?”“Dari laporan yang saya terima, semuanya lancar, Bu Embun,” jawab Bening. “Namun, pihak kita diminta datang untuk mengecek dan konfirmasi mengenai beberapa hal.”Embun mengangguk. “Baiklah. Ayo kita ke sana.”“Ibu mau naik motor saya?” tawar Bening dengan polosnya. “Agar cepat.”Hal tersebut membuat Embun tersenyum, tampak sedikit terhibur. “Lokasinya agak jau
Kaisar melangkah menuju lift dan turun sembari mengutak-atik ponselnya untuk menelepon asistennya. “Ini saya,” ucap pria itu tepat ketika telepon diangkat. Bahkan asistennya itu belum sempat menyelesaikan salam. “Saya perlu tahu soal keberadaan Embun sekarang.” Di seberang saluran telepon, asisten Kaisar kebingungan. Saat ini dini hari dan ia sudah terlelap beberapa jam yang lalu, bahkan sempat bermimpi meski ia tidak ingat apa mimpinya tersebut ketika atasannya menghubungi dirinya. Namun, bosnya itu justru memerintahkan dirinya untuk mencari seseorang? Paling tidak, ia perlu informasi tambahan untuk menemukan orang tersebut, bukan!? Di mana lokasi terakhir Embun, misalnya. Namun, urgensi dari nada bicara Kaisar membuat si asisten tidak ingin bertanya lebih lanjut. Suasana hati bosnya tersebut tampaknya tidak dalam keadaan baik. Karenanya, sis asisten hanya menjawab, “Baik, Pak Kaisar. Mohon ditunggu.” Telepon ditutup. Kaisar berjalan menuju ke mobilnya dan berniat mengecek
“Tidak bisa seperti itu, Pak! Kami sudah membayar sebelumnya dengan desain yang sudah disetujui. Seharusnya jika tidak lolos dari kami, pihak Bapak bertanggung jawab!” Embun menyentuh bahu Bening saat gadis itu marah-marah, mencoba menenangkan. Sejujurnya, Embun terdorong untuk melakukan hal yang sama. Sudah lewat tengah malam, perut kosong, dan badan kelelahan membuat Embun harus berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ketenangannya, apalagi di hadapan perkembangan tidak masuk akal ini. “Bapak,” ucap Embun, menatap Pak Endang dengan pandangan datar, tetapi bibirnya tetap mengukir senyum sopan. Pun nada bicaranya. “Bagaimana kalau kita duduk dulu dan bicarakan masalah ini?” Pak Endang menegapkan bahunya, sekaligus membusungkan dada. Baginya, mengatasi dua orang wanita yang kemungkinan besar tidak tahu apa-apa tentang barang-barang mebel pastilah mudah baginya yang sudah berpengalaman. Bukan masalah besar. Pria tua itu sama sekali tidak terintimidasi dengan sikap profesional
“Untuk biayanya dipatok harga berapa?” Saat ini, Embun tengah berpikir keras. Sebenarnya, ia memiliki tabungan simpanan. Meskipun begitu, penambahan biaya yang dibebankan padanya pasti akan menguras kantongnya. Belum lagi, Embun merasa tidak begitu rela harus mengeluarkan uang lebih karena ia yakin bahwa kesalahan ini bukan ada pada dirinya, meski dirinya belum bisa membuktikan. Hanya saja, cukup melelahkan jika harus berdebat lebih jauh lagi, apalagi karena Pak Endang begitu keras kepala dan diskusi mereka sebenarnya tidak berkembang jauh. Dan lagi, Embun terdesak waktu. Ia tidak punya pilihan lain. Pergi ke pabrik perabot lain pun tidak akan memastikan dirinya mendapatkan apa yang ia mau sebelum tenggat waktunya tiba. “Untuk biayanya ….” Pak Endang mengungkapkan nominal yang membuat hati Embun mecelos. Ya, tabungannya akan terkuras jika ini terus berlanjut. “Pak,” tanggap Embun, mencoba kembali bernegosiasi. “Saya kesulitan jika Bapak mematok harga setinggi itu, apalagi men