Wah, jadi Dion kenal sama Aletta? Mereka mau ketemuan di kafenya Embun, mau ngebahas apa ya? Jadi penasaran nih. Kalian penasaran juga, nggak? Boleh sampaikan di kolom komentar ya, agar author tetap semangat menulis. Terima kasih~
“Temui aku besok di Kafe Senjakala, Dion. Sampai jumpa.” “Hei–” Telepon terputus secara sepihak, membuat Dion mendengus. Wanita itu selalu seenaknya sendiri. Namun, baiklah. Dion akan mengikuti ucapan Aletta kali ini, atas dasar masa lalu mereka yang memang saling menguntungkan. Toh, jika memang wanita itu berniat membantu bisnis Dion, dia juga yang akan diuntungkan. Tidak ada salahnya. Dengan pemikiran tersebut, Dion bangkit berdiri dan memilih untuk pulang, mengabaikan keberadaan orang tuanya yang entah di mana. Lagi pula, ia sudah memenuhi permintaan ibunya untuk muncul di sini malam ini, meski hanya sebentar. Dia sudah mendapatkan hiburan. Saatnya istirahat. “Minggu depan kamu ada acara, Nak?” Atau tidak. Dion baru saja memejamkan kedua matanya dan beristirahat sejenak ketika sang ibu muncul di dekatnya dan bertanya. Dengan singkat, pria itu menjawab, “Ada apa memangnya, Mam?” Ibunda Dion terlihat sangat bersemangat. Gerak tubuhnya sangat antusias. “Minggu depan cucu t
“Apa rencanamu?” Aletta tertawa geli melihat ekspresi Dion saat ini. Ia mendekatkan dirinya ke arah Dion dan menopang dagunya menggunakan satu tangan, menatap Dion dengan ekspresi terhibur. “Jangan langsung begitu dong,” kata wanita itu ringan. “Baru juga aku duduk. Pesan makanan dulu ya. Aku sengaja belum pesan karena menunggu kamu.” Dion menyipitkan matanya mendengar respons Aletta yang kelewat santai. Namun, ia tidak memprotes. Aletta mengambil buku menu di hadapan Dion dan membukanya. Lalu, tanpa bertanya pada Dion, wanita berambut cokelat terang itu memanggil pelayan untuk memesan beberapa menu, termasuk makanan ringan dan menu rekomendasi utama. Setelah itu, Aletta kembali menatap Dion dengan senyum. “Masih pagi, lho. Mukamu masam sekali.” Aletta berkomentar. “Berhentilah menggodaku, Aletta.” Dion berkata singkat. Aletta mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Hubungannya dengan Dion memang seperti ini. Aletta suka menggoda Dion karena pria itu tidak pernah marah pad
[Aku lembur malam ini. Jangan menungguku dan langsung istirahat saja, Embun.] Pesan dari Kaisar tersebut membuat Embun mengernyit. Sudah beberapa hari ini ia merasa sikap Kaisar aneh, mulai sejak mereka menonton konser musik klasik waktu itu. Namun, Embun tidak paham kenapa. Pun, ia tidak bisa bertanya karena ia tidak pernah bertemu dengan Kaisar setelahnya. Sungguh, pria itu selalu bekerja, bahkan hingga Embun merasa Kaisar terlalu sibuk! Jika memang ada masalah, Embun berharap mereka bisa membicarakannya sambil tatap muka seperti biasa. Konflik tidak bisa ditangani lewat pesan ataupun telepon. Oleh karena itu, Embun selalu menyukai obrolan mereka saat makan malam. Tapi momen itu sudah menghilang beberapa hari ini. Meskipun Embun menyadari hal itu karena dirinya juga tengah sibuk oleh persiapan pembukaan cabang di Asthana Hotel. Jika Kaisar pulang awal, Embunlah yang pulang larut. Begitu juga sebaliknya. Hal tersebut juga berlaku saat pagi hari. Kaisar selalu sudah berangkat
“Aku ada sedikit masalah dengan tempat ini.”Embun mengangguk. Siap mendengarkan keluhan Dion.Dion meletakkan alat makan yang tengah dia pegang dan mendekatkan dirinya ke Embun.“Bisakah aku bertemu dengan pemilik kafe ini? Atau kokinya juga tidak masalah.” Pria itu berucap. “Ya?” Embun tampak terkejut, sama sekali tidak menyangka pertanyaan dari Dion tersebut. Sepasang mata cokelatnya tampak bingung. “Bagaimana?”Dion tertawa pelan, jelas menikmati reaksi Embun. Wanita di hadapannya ini tidak glamor seperti Aletta, tidak tampak mencolok seperti temannya tersebut. Namun, menurut Dion, Embun memiliki daya tarik sendiri dari penampilan polosnya.Wajah Embun hanya dihiasi riasan tipis dan pakaian yang wanita itu kenakan pun tidak aneh-aneh, sama sekali tidak menarik perhatian karena begitu biasa. Namun, cara Embun berperilaku. Bertutur kata, serta segala ekspresi yang wanita itu tampilkan … begitu menarik, menurut Dion.Nyaris mengingatkannya pada masa lalu.“Dion? Apa maksud kamu?”
“Akan tetapi, saya tidak bisa menerima penawaran dari kamu.” Suara Embun terdengar halus, seakan ia tidak ingin menyakiti lawan bicaranya. Namun, tetap saja ekspresi terluka terlintas di wajah Dion, mengikuti keterkejutan pria itu yang tampak lebih dulu. “Kenapa, Embun?” tanya Dion tepat setelahnya. “Apa penawaranku kurang menarik?” “Bukan begitu–” “Oh, mungkin ini agak bertentangan dengan bagaimana kamu menjalankan kafemu ya?” potong Dion, mengambil kesimpulan. “Jangan khawatir, aku bisa menyesuaikan konsep dan segala jenis halnya dengan milikmu, Embun.” Embun menghela napas. “Meskipun begitu, saya tidak bisa, Dion.” Pria di hadapannya terdiam. Menatap Embun tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat. Hal tersebut membuat Embun sedikit tidak nyaman. Seakan-akan Embun telah melakukan suatu hal yang tidak profesional, menolak penawaran kerja sama tanpa penjelasan yang jelas. Dan itu mengganggunya. “Saat ini saya sedang sibuk mempersiapkan cabang baru untuk kafe saya, Dion,
"Mereka tidak akan mengecewakan saya.” Ucapan Embun yang terdengar tegas, meskipun diucapkan dengan suaranya yang lembut tersebut membuat Dion terdiam. Baru ketika itu, pria tersebut menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh mendesak Embun. “... Baiklah jika demikian, Embun.” Pada akhirnya, Dion menyerah. Untuk saat ini. Sejujurnya, dalam hati, Dion tengah merutuki Aletta. Wanita itu tidak mengatakan bahwa Embun tengah menjalin kerja sama, apalagi dengan Asthana Hotel. Informasi yang diberikan Aletta tidak lengkap dan itu menyulitkan langkah serta usaha yang sedang dijalankan oleh Dion. Pria itu kemudian memamerkan ekspresi kecewa di hadapan Embun yang tengah menatapnya. “Sayang sekali, Embun,” imbuh Dion kemudian. Embun hanya tersenyum. Ia membereskan piringnya sendiri dan berdiri. “Maaf, saya permisi dulu ya, Dion,” ucap Embun, tidak lagi menanggapi komentar Dion. “Masih ada beberapa hal yang harus saya urus. Senang berbincang dengan kamu sore ini.” “Tunggu, Embun.” Dion lang
“Kaisar, kamu–” “Sudah malam, Embun. Sebaiknya kamu segera beristirahat.” Kalimat Embun dipotong oleh Kaisar, sebelum Embun bisa mengutarakan maksudnya. Karena terkejut, Embun tidak dapat mengatakan apa-apa dan membiarkan Kaisar masuk ke kamar begitu saja. Merasa kecewa, akhirnya Embun tidak menghabiskan tehnya dan kembali ke kamarnya sendiri untuk segera tidur. Ada banyak hal yang harus ia hadapi besok pagi, termasuk keanehan Kaisar. Meskipun Embun tidak yakin kalau pria itu akan ada di apartemen mereka saat Embun keluar kamar. “Mungkin dia sedang banyak pikiran,” kata Embun pada dirinya sendiri sembari ia membaringkan diri di atas tempat tidur. “Wajahnya tampak lelah dan dia baru pulang.” Wanita itu membiarkan pikirannya melayang pada kesibukan dan keanehan Kaisar. “Apakah dia baik-baik saja ya?” Dengan pemikiran itu, Embun akhirnya terlelap. Saat pagi tiba, usai Embun selesai mematut dirinya untuk pergi ke kafe, hal pertama yang berniat ia lakukan adalah menghubungi Aletta
“Bu Embun, untuk masalah perabot pesanan sudah hampir selesai.”Embun baru saja kembali dari Asthana Hotel usai mengecek progres desain interior di sana ketika Bening muncul. Wanita muda itu bahkan tidak menunggu Embun masuk ke kantornya lebih dulu dan langsung menyapanya di pintu depan.Namun, Embun paham. Setelah Embun mengabari manajer kafenya tentang perkembangan terbaru tenggat waktu pembukaan kafe, Bening pasti turut gugup dan tergesa sama sepertinya dan Pak Heru.Oleh karena itu, ia tidak bisa menyalahkan manajer kafenya tersebut.“Terima kasih konfirmasinya, Bening.” Embun tersenyum. “Tidak ada masalah soal itu, bukan?”“Dari laporan yang saya terima, semuanya lancar, Bu Embun,” jawab Bening. “Namun, pihak kita diminta datang untuk mengecek dan konfirmasi mengenai beberapa hal.”Embun mengangguk. “Baiklah. Ayo kita ke sana.”“Ibu mau naik motor saya?” tawar Bening dengan polosnya. “Agar cepat.”Hal tersebut membuat Embun tersenyum, tampak sedikit terhibur. “Lokasinya agak jau