Halo, pembaca sekalian~ Mohon maaf author telat updatenya ya. Untuk ke depannya, akan author usahakan untuk update tepat waktu dan lebih banyak lagi. Terima kasih untuk dukungan pembaca semuanya sejauh ini~ Dukungan kalian sangat berarti buat author ^^
“Aletta?” Embun tampak heran mendapatkan pesan dari wanita yang mengunjunginya siang tadi tersebut. Apalagi membaca bunyi teks tersebut. [Bagaimana, Embun? Apakah kamu suka kejutan dariku?] Sebuah pesan lain masuk ke ponsel Embun, pengirimnya masih sama. Aletta menambahkan sebuah link terusan ke media sosialnya. Ternyata perempuan berambut cokelat terang tersebut baru saja mengunggah video dua jam yang lalu, berisi sebuah tantangan kepada para pengikutnya. Siapa pun yang mengunggah ulasan makanan di Kafe Senjakala milik Embun maka akan mendapatkan hadiah dari influencer tersebut. Namun, tidak sembarang ulasan, melainkan ulasan terbaik dan unik! Tampaknya gerombolan orang-orang yang datang tiba-tiba malam ini adalah mereka yang menyanggupi tantangan dari sang influencer cantik itu. Sejujurnya, Embun memang tahu nama Aletta baik dan memiliki banyak pengikut, toh dia sudah mengeceknya tadi. Namun, ia tetap saja terkejut kalau pengaruh kata-kata Aletta sebesar ini terhadap para peng
“Tampaknya kamu sibuk sekali, Embun.” Mendengar hal tersebut, Embun tersenyum penuh permintaan maaf. “Maaf. Malam ini, kafe saya sibuk sekali.” Wanita itu berkata. Embun melihat sekeliling dan menyadari bahwa meskipun ia sudah menolak beberapa pelanggan karena kapasitas kafenya tidak mencukupi, serta bahan makanan kafe sudah habis, ternyata kafenya masih cukup penuh hingga ia tidak dapat menemukan tempat duduk untuk sang suami. Akan tetapi, tampaknya situasi sudah mulai terkontrol. Tampak bahwa semua pengunjung sudah mendapatkan makanan dan minuman yang mereka pesan. Staf pelayanan juga kini ada yang duduk di belakang meja kasir, sementara yang lainnya memastikan bahwa semua meja sudah mendapatkan pesanan mereka secara lengkap. Baru ketika itu. Embun menghela napas lega. “Kaisar. Mari naik ke kantor saya,” ujar Embun, masih dengan senyum. Ia memanggil Ratih untuk memberikan arahan terakhir sebelum kemudian ia naik ke ruangannya bersama Kaisar. “Embun.” Wanita itu berbalik men
“Ada aku.” Meskipun Embun menyadari kalau di sekitar mereka tengah timbul keributan kecil, tapi suara Kaisar tetap terdengar jernih di telinga Embun. Perlahan, ketegangan Embun mencair. Wanita itu tampak lebih tenang ketika akhirnya mereka memasuki auditorium yang terlihat sangat megah. Desain interiornya menggunakan gaya Eropa, tampak megah untuk mata Embun yang baru pertama kali melihatnya. Meskipun, memang, Embun pernah mendengar bahwa Asthana Hotel memiliki auditorium megah yang biasa digunakan untuk pertunjukan musik klasik, salah satu yang terbaik di negeri ini, Sejenak, Embun mawas diri terhadap penampilannya. Ia pun merasa bahwa ia tidak cocok dengan gaya ruangan auditorium ini. Namun, ia di sini karena Kaisar. Jadi, Embun mengesampingkan pemikirannya tersebut dan fokus pada teman menonton konsernya kali ini. Kaisar membawa Embun ke lantai dua, ke tempat duduk mereka. Dari sana, mereka akan bisa melihat para pemain di panggung dengan lebih jelas. “Kaisar?” Kaisar menghe
“Kamu jangan mempermainkan saya, Aletta!” Di seberang, Aletta kembali tertawa. “Jangan emosi dulu dong, Tante~” ucap wanita itu dengan santai. “Tidak banyak kok. Cuma satu miliar. Bukankah itu lebih kecil daripada yang pernah Tante berikan ke saya?” Lidya terdiam. Kurang ajar! Berani-beraninya anak ingusan ini mengancamnya lagi! Sayang sekali waktu itu Lidya tidak menduga betapa liciknya Aletta saat Lidya mengusir mantan pacar Kaisar itu pergi. Siapa yang menyangka bahwa Aletta merekam aksinya membayar gadis itu untuk meninggalkan Kaisar!? Kini, sembari mempekerjakan Aletta, tampaknya Lidya harus mulai menyusun cara untuk melenyapkan barang bukti itu. Ia tidak bisa mempertaruhkan reputasinya saat ini! “Soalnya, Tante,” ujar Aletta lagi tanpa menunggu balasan dari ibu Kaisar tersebut. “Saya butuh modal banyak untuk menjalankan rencana ini, jujur. Saya takut justru saya yang rugi dan tidak dapat untung.” Lidya mendengus, terdengar kesal. “Memangnya apa yang sudah kamu lakukan,
“Permisi? Ibu Lidya?” Lidya tersentak dari lamunannya dan berbalik. Wajahnya yang semula mengerut karena ulah Aletta langsung berubah dihiasi senyum kecil begitu melihat sosok yang menyapanya tersebut. “Halo, Bu Rahma,” sapa Lidya. “Apa kabar?” Sosok yang menyapa Lidya tersenyum tersenyum lebar dan langsung menyalami ibu Kaisar tersebut. “Baik, Bu. Saya tidak menyangka akan bertemu Bu Lidya di sini,” ucap Rahma. Lidya mengangguk. Ekspresi angkuh tidak sepenuhnya lepas dari sosoknya, apalagi ketika ia melihat bagaimana penampilan Rahma; yang menurut Lidya masih cukup jauh di bawahnya. Akan tetapi, Lidya tidak terang-terangan menunjukkan hal tersebut. Rahma ini adalah kenalannya di acara perkumpulan sosialita yang sering Lidya hadiri. Melihat Rahma mampu hadir di sana, tentunya wanita itu punya kuasa atau paling tidak harta yang cukup untuk dipamerkan di hadapan para istri pengusaha, politikus, dan konglomerat lainnya. Karenanya, Lidya mencoba menanggapi keramah tamahan ini senet
Samar-samar, Embun mendengar namanya dan menoleh ke arah Kaisar. Kedua alisnya terangkat dengan ekspresi bertanya, sementara bibirnya masih mengukir senyum. “Maaf. Kamu mengatakan sesuatu, Kaisar?” Tampaknya wanita itu tidak mendengar ucapan Kaisar karena toh Kaisar mengatakannya dengan suara pelan. Ditambah lagi, suara pria itu pastilah tenggelam oleh permainan piano solo dari sang musisi yang sedang tampil di panggung. Apalagi, saking terpesonanya dengan penampilan sang bintang konser malam itu, Embun tanpa bisa diragukan lagi tengah memusatkan seratus persen fokusnya pada atraksi utama acara. Mengabaikan Kaisar, pria sekaligus suami yang mengajaknya hadir di sini. Kaisar menghela napas. “Tidak. Nikmati saja konsernya.” Sesungguhnya, Kaisar merasa agak sedikit jengkel. Ia berpikir bahwa seharusnya ini menjadi waktu kencan mereka. Karena memang itulah yang ia inginkan. Seperti momen obrolan-obrolan harian mereka yang terjadi setiap usai makan malam sekarang. Bukannya malah se
“Ah, Embun. Kita bertemu lagi.” Embun menoleh ke sumber suara dan mendapati Dion berdiri di sana, tersenyum kecil saat melihat Embun. “Oh.” Embun berkedip, tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Dion lagi, apalagi di sini. Sementara itu, Dion duduk di kursi kosong di sebelah Embun dengan santai. “Kamu menyukai musik klasik?” tanya Dion, tampak berniat melibatkan Embun dalam sebuah obrolan. Pria itu dengan sengaja mendekatkan tubuhnya ke Embun. “Saya menemani Kaisar,” ucap Embun, mencoba menanggapi dengan netral dan sopan. Akan tetapi, sebenarnya ia sedang bingung. Dari tempat duduknya, Embun bisa melihat dengan jelas kalau Kaisar sedang tegang. Pria itu mendadak bersikap kaku, sangat bertolak belakang dengan kehangatan dan senyum yang tadi Embun lihat. Tanpa bisa dicegah, Embun penasaran. “Apakah ada hubungannya dengan Dion?” batin wanita berambut sebahu itu. “Tapi kenapa? Apakah mereka saling kenal? Hubungan mereka tidak baik ya?” Sementara itu, Kaisar masih tampak tid
“Aku bisa mengenalkan Embun pada musisi itu jika dia benar-benar ingin.” Usai mengatakan itu, Kaisar menggenggam tangan Embun dan membawanya pergi, meninggalkan Dion yang masih tetap di tempatnya. Pria itu menatap kepergian Kaisar dan Embun dengan senyum tipis. Ada sorot terhibur di sepasang mata hitamnya. “Menarik,” gumam Dion pada diri sendiri. Kemudian, ia tertawa kecil. Sebelumnya, pria itu memang sudah tertarik pada Embun, sejak wanita itu datang bersama perempuan yang dijodohkan dengan Dion oleh orang tuanya. Yang ternyata merupakan sahabat dari wanita itu. Diamnya Embun saat itu membuat Dion terusik. Karena normalnya, wanita-wanita lain akan berlomba-lomba menarik perhatiannya. Mereka akan berusaha mendapatkan fokus Dion dengan berbagai cara. Embun tidak demikian. Tidak seperti sahabat Embun yang terus bicara dan menyodorkan topik pada Dion, membuatnya risih. Wanita-wanita di sekelilingnya selalu saja berisik. “Orang itu tidak memperkenalkan dirinya,” ucap Dion kemudian,