"Sudah bangun?"Almora tidak merasakan pusing atau sejenis sakit kepala lainnya kala membuka mata. Dia jatuh pingsan bukan karena sakit, tetapi karena syok menyadari kepada siapa dia bekerja. Calderon Mosaka berdiri tak jauh dari tempatnya terbaring, menatap dengan senyuman yang tampak membingungkan. Entah dia merasa menang melihat Almora terbaring tak berdaya, entah sedang mengejek karena Almora memang tidak punya kesempatan untuk lari."Apa sebelumnya kamu tidak pernah melihat pria tampan sampai pingsan begitu?" tanyanya ingin tahu. Dari sekian banyak perempuan yang bertemu dengannya, baru Almora yang bereaksi secara berlebihan. Almora bergerak bangkit. Turun dari sofa, lalu berdiri di sisi sofa dengan pandangan tertuju pada Calderon yang masih menatapnya. Almora tidak ingin membuat keributan dan meninggalkan kesan buruk sebagai seorang bawahan. Hubungan mereka memang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan Almora sangat membenci Calderon dan berharap tidak bertemu lagi dengan pria i
Almora benar-benar dibawa memasuki ruangan rapat. Duduk bersama orang-orang penting yang siap mendengarkan presentasi dari Calderon mengenai proyek selanjutnya. Almora pikir meeting yang dimaksud hanya bertemu dengan satu klien saja. Tapi ternyata, bertemu dengan banyak orang di suatu ruangan. Ah, dia benar-benar tidak tahu menahu soal ini.Tugas Almora memang hanya sekedar mendengar saja, lalu mencatat bagian penting. Calderon hanya memintanya untuk melakukan hal itu. Lalu saat rapat selesai, mereka meninggalkan ruangan. Hanya sebatas itu saja. Mudah bagi Almora untuk melakukannya."Kita makan siang dulu," ujar Calderon pada Almora dan sopir yang menunggu di depan ruangan."Baik, pak," jawab keduanya serempak.Calderon menoleh sekilas, menatap dua manusia yang mengekori langkahnya menuju kantin. Lalu tersenyum tipis dan memilih tidak berkata apa-apa. "Silahkan pesan," ucap Calderon. "Saya ingin ke toilet sebentar."Sopir bernama Ajo menganggukkan kepalanya. Almora turut mengangguk s
"Mau langsung pulang?" tanya Joya kala menemukan Almora sedang merapikan meja kerjanya. Perempuan itu difasilitasi satu meja di dalam ruangan Calderon yang artinya mereka akan bekerja dalam satu ruangan yang sama.Almora menoleh, lalu mengangguk. Pekerjaannya sudah selesai. Calderon juga sudah mengizinkan Almora pulang. "Kamu sendiri?""Ya, ini, mau pulang juga." Joya mengangkat tasnya, menunjukkan barang bawaannya pada Almora pertanda dia juga ingin meninggalkan kantor. Almora mengangguk singkat sebelum kembali fokus pada apa yang sedang dia kerjakan. Buku berisi catatan penting selama meeting. Jadwal meeting untuk besok yang telah Almora susun dan buku panduan menjadi sekretaris yang baik. Buku-buku itu adalah barang penting yang tak boleh ditinggalkan.Usai memasukkan semuanya ke dalam tas, Almora menyusul Joya yang katanya menunggu di depan ruangan. Almora bertugas mengunci pintu karena menjadi yang terakhir pulang. Calderon berkata
Tidak ada lagi yang namanya istirahat dengan tenang. Pesan terakhir yang Calderon kirim membuat Almora merasa khawatir. Entahlah, manusia yang berusaha dia benci itu kini malah sengaja membawa Almora terlibat dalam setiap rangkaian alur hidupnya. Alih-alih menjadi manusia asing, mereka justru kian dekat. Selalu saja ada tragedi yang membuat Almora bertemu dengan Calderon. Bagaimana bisa Almora membenci pria itu kalau ruang untuk membenci itu tidak ada? Ah, Almora juga tidak mengerti kenapa dia bisa terjebak di kehidupan yang aneh seperti ini. Calderon telah mengirimkan lokasinya. Kini Almora sedang menuju ke sana, naik ojek online andalan. Dia tidak berani naik angkutan umum. Pasti sepi dan rawan. Menghabiskan sekitar dua puluh menit, Almora tiba di lokasi. Komplek perumahan elit yang rasanya belum pernah Almora kunjungi. Ini bukan perkomplekan tempat tinggal Calderon yang kala itu dia kunjungi bersama Perl. Ini berbeda.
Calderon mendapat beberapa jahitan di perutnya akibat tusukan senjata tajam. Kondisinya tidak kritis dan tergolong baik, tapi tetap harus di rawat beberapa waktu untuk proses pemulihan. Pria itu cukup kuat menahan sakit di tubuhnya sebab kata dokter, penanganan luka di perut Calderon sudah terlambat. Almora takjub dengan daya tahan Calderon."Kenapa dia tidak menghubungi saya terlebih dahulu? Kenapa dia malah menghubungi kamu?" Max menatap Almora yang berdiri di sebelahnya. "Dia tidak akan seperti ini kalau saja yang dia hubungi lebih dulu adalah saya."Almora menatap Max bingung. Pria itu tidak henti-hentinya mengomel, mempertanyakan kenapa Calderon lebih memilih mengabari Almora ketimbang dirinya. Almora tau Max khawatir, tapi mengomel tidak jelas seperti itu tidak ada gunanya. Toh yang terpenting Calderon sudah ditangani oleh dokter dan kondisinya baik. "Kenapa mengomel seperti itu?" tanya Almora menatap Max. Bibir pria itu masih menggerutu meski suaranya tak terdengar jelas.Sein
Bisa dibilang hari ini Almora tidak ada kerjaan. Calderon masih dirawat dan jadwal meeting diundur dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Semua akan kembali normal ketika Calderon keluar dari rumah sakit. Kata Joya, Almora mesti menentukan jadwal meeting karena klien perlu diberi kepastian. Namun Almora tak berani menentukan jadwal sembarangan. Dia perlu bertanya pada Calderon untuk memperoleh jadwal yang sempurna.Karena hari ini terbilang free, Almora memutuskan untuk pulang cepat. Dia hanya mencatat beberapa hal terkait apa saja yang perlu dia persiapkan, membaca buku panduan beberapa halaman, makan siang bersama Joya dan pergi meninggalkan kantor. Rencananya ingin nongkrong di sebuah cafe yang baru buka di dekat rumah sakit Ocean. "Pulang cepat, mbak?" Robert bertanya kala Almora hendak naik taxi."Iya, pak," jawab Almora seraya melempar senyum.Robert mengangguk singkat. "Hati-hati, mbak."Almora balas mengangguk, lalu masuk ke mobil. Tujuan pasti untuk saat ini adalah cafe b
Kata Joya, Calderon masih belum pulih. Mungkin akan datang dua hari lagi atau tiga. Almora tidak perlu khawatir karena selama Calderon tidak ada, dia bisa bersantai. Mengerjakan apa yang mesti dikerjakan dan menghabiskan waktu untuk membantu rekan-rekan yang lain. Kata Joya, Almora tidak perlu menggantikan Calderon meeting dengan klien penting siang ini. Jadwalnya bisa diundur karena kondisi saat ini tidak memungkinkan. Joya tau Almora belum bisa menggantikan Calderon di ruangan meeting.Ya, begitu kata Joya kala Almora datang tadi pagi.Namun entah kenapa, dengan begitu tiba-tiba, perkataan perempuan itu berubah. Jadwal meeting yang katanya akan diundur rupanya tetap jadi hari ini. Sekretaris Demon tidak menerima pengunduran jadwal meeting sebab Demon akan melakukan perjalanan ke luar negeri selama beberapa bulan. Sebenarnya tidak masalah kalau pertemuan ini dibatalkan, toh yang rugi adalah perusahaan Calderon. Tapi Joya mana mau pasrah begitu saja. Perusahaan mereka mesti mengirim
Almora pikir Demon adalah pria menakutkan, lebih menakutkan dari Calderon. Namun rupanya, pria itu ramah dan murah senyum. Dia cukup baik. Pertemuan pertama mereka berjalan dengan lancar. Tidak ada kendala selama meeting berlangsung. Justru ini berakhir diluar prediksi. "Tolong sampaikan salam saya pada Calderon. Kami akan segera mengurus surat pertanda perusahaan kita akan bekerja sama," ucap Demon.Almora mengangguk dengan wajah riang. Rasa takutnya terbayar tuntas. Almora berhasil mendapatkan persetujuan kerja sama dari Demon. "Baik, pak."Demon tersenyum tipis. Dia melirik orang-orang di belakangnya, lalu menatap Almora sekali lagi. "Baiklah, terima kasih atas pertemuannya. Saya tidak bisa berlama-lama.""Iya, pak. Terima kasih kembali," balas Almora.Demon berlalu dari restoran Omara yang menjadi tempat mereka meeting. Akhirnya, Almora bisa bernapas lega selega-leganya. Dia pikir meeting ini akan berantakan karena Almora benar-benar tidak tau bagaimana memulainya. Dia sangat gug