Almora pikir Demon adalah pria menakutkan, lebih menakutkan dari Calderon. Namun rupanya, pria itu ramah dan murah senyum. Dia cukup baik. Pertemuan pertama mereka berjalan dengan lancar. Tidak ada kendala selama meeting berlangsung. Justru ini berakhir diluar prediksi. "Tolong sampaikan salam saya pada Calderon. Kami akan segera mengurus surat pertanda perusahaan kita akan bekerja sama," ucap Demon.Almora mengangguk dengan wajah riang. Rasa takutnya terbayar tuntas. Almora berhasil mendapatkan persetujuan kerja sama dari Demon. "Baik, pak."Demon tersenyum tipis. Dia melirik orang-orang di belakangnya, lalu menatap Almora sekali lagi. "Baiklah, terima kasih atas pertemuannya. Saya tidak bisa berlama-lama.""Iya, pak. Terima kasih kembali," balas Almora.Demon berlalu dari restoran Omara yang menjadi tempat mereka meeting. Akhirnya, Almora bisa bernapas lega selega-leganya. Dia pikir meeting ini akan berantakan karena Almora benar-benar tidak tau bagaimana memulainya. Dia sangat gug
"Kenapa udah pulang?" Ini adalah salah satu alasan kenapa Calderon malas pulang ke rumah. Bertemu Camelia dan menghadapi perempuan itu adalah hal yang paling tidak dia sukai. Namun sayangnya, Tuan Saka tahu kalau Calderon sudah meninggalkan rumah sakit. Lalu memintanya untuk pulang ke rumah agar bisa mengintrogasi putra satu-satunya yang bandel itu.Kalau tau seperti ini, lebih baik Calderon mengabaikan pesan dari Tuan Saka. Persetan dengan amarah pria itu, kenyamanannya jelas lebih penting."Tidak senang?" tanya Calderon seraya meminta Max mendorong kursi rodanya terus ke dalam.Camelia mencebikkan bibirnya. "Aku senang kamu pulang, tapi kamu belum sembuh.""Siapa yang mengatakan saya belum sembuh?"Camelia terdiam. Tidak bertanya lagi dan membiarkan Calderon berlalu menuju ruang tengah. Camelia tidak mengerti kenapa Calderon bisa berubah secepat itu. Apa dia benar-benar sudah menghilangkan Camelia dari hatinya? Apakah rasa cinta yang katanya melebihi besar bumi itu sudah tiada? Hil
"Serius nih aku yang keluar? Malam-malam begini?" tanya Almora memastikan lagi."Iya," angguk Mona. "Kau mau melihat ku seperti ini sampai besok pagi? Bagaimana kalau aku mati?"Kontan Almora memukul lengan Mona. "Jangan bicara begitu. Itu hanya luka kecil. Bagaimana bisa mati hanya karena jari kelingking kakak terlindas ban motor?""Kau tidak tau saja, Al," balas Mona.Almora merotasikan bola matanya malas. Mona berlebihan sekali. Jari kelingking kaki perempuan itu tak sengaja terlindas motor. Kukunya berdarah, mungkin ada bagian yang hancur. Dia meminta Almora ke apotik, membeli obat lalu mampir di gerobak nasi goreng. Tidak masalah sebenarnya kalau Almora pergi berdua dengan Mona. Namun masalahnya, perempuan itu tidak mau pergi dengan alasan tidak bisa berjalan. Almora mana mau berjalan sendirian pada pukul sepuluh malam. Biarpun jalanan ramai, tidak dapat dipungkiri tidak ada pelaku kriminal di sana."Aku gak mau pergi sendirian," tolak Almora seraya melipat kedua tangan di depan
Pagi itu tampak begitu cerah, berbeda dengan suasana kantor yang mendadak mendung dan suram. Di lobi terjadi baku hantam. Dua aktor yang adu kekuatan di pagi ini dikerumuni oleh karyawan yang tampaknya baru datang. Ada juga yang berusaha melerai dua pria itu agar berhenti bertengkar. Almora melangkah mendekat, ingin melihat lebih jelas manusia mana yang tidak bisa menahan egonya di pagi yang mesti indah ini."Bilang kepada Tuan mu untuk berhenti menguntit kantor saya!" teriak Calderon yang ditahan Robert. Wajahnya memerah, tidak dapat menahan amarah. Agaknya bisa membunuh lawannya saat itu juga kalau saja Robert tidak menahan Calderon.Pria lain yang ditahan Kemal hanya bisa diam dengan tatapan bengis. Wajahnya penuh lebam, habis dipukul Calderon. Namun jika dilihat lagi, wajah Calderon juga dipenuhi lebam tapi tidak separah lawannya."Ini ada apa, Joy?" tanya Almora dengan suara pelan pada Joya yang kebetulan berdiri di depannya. "Ada penguntit," jawab Joy balas berbisik.Almora men
"Bagaimana? Aman?"Almora terkesiap dengan kehadiran Robert yang tiba-tiba. Almora tidak mendengar langkah kaki memasuki dapur. Robert seharusnya menyapa Almora terlebih dahulu agar dirinya tidak terkejut."Bikin kaget aja, pak," ucap Almora menatap Robert yang sedang mengambil air di dispenser.Pria tua berkumis abu-abu itu tersenyum. "Bagaimana? Tuan aman?""Aman. Nih, dia minta dibikinin kopi," jawab Almora seraya menyingkir sedikit agar Robert bisa melihat gelas kopi gelap yang berada di hadapan Almora."Mantap," ucap pria itu. "Saya duluan ya.""Iya, pak," balas Almora turut meninggalkan dapur. Kebetulan dia sudah selesai.Almora kembali ke ruangan Calderon. Hanya membawa segelas kopi untuk Calderon karena sebetulnya ke dapur hanyalah alibi agar bisa meninggalkan ruangan Calderon. Dan sekarang dia harus kembali bertemu pria itu.Baru sampai di depan pintu, Almora tak melanjutkan langkahnya. Calderon memang punya banyak gebrakan. Tadi meminta Almora menjadi kekasihnya, lalu sekar
Tidak ada yang dapat menghalangi Calderon sekalipun darah yang kembali merembes di balik perban putihnya. Rasa sakit tidak ada lagi artinya kala Calderon berhasil menemukan anak buah dari sekutunya yang akhir-akhir ini mengacaukan jalur bisnisnya. Max berhasil menemukan Paris di pasar, sedang taruhan dengan rekan preman yang lain. Lokasi Paris cukup sulit dilacak karena pria itu lebih sering menghabiskan waktu di pinggiran kota dan di pasar yang benar-benar berada jauh dari jangkauannya.Paris tidak bisa dibilang selamat setelah berhasil diseret Max ke kantor mereka yang tak berada jauh dari sana. Calderon sudah menunggu lama untuk menghajar pria itu. Tubuhnya langsung remuk di hantam kaki jenjang Calderon. Wajahnya penuh darah kala mulutnya tak kunjung mengatakan pada siapa dia bekerja."Benar-benar mau mati?" tanya Calderon seraya terkekeh sinis. "Setia juga ya."Calderon mundur, membiarkan Paris meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhnya. Calderon menoleh, menatap Max yang langsun
Calderon melempar jasnya secara asal kala mendapati rumahnya masih dipenuhi keramaian. Di tengah malam begini, orang-orang masih sibuk—entah membahas apa. Keluarga Camelia ada di rumahnya. Mereka berkumpul di ruang tamu, tampak membicarakan hal yang serius. Calderon memilih tidak ingin ikut campur dan memutuskan berjalan melewati mereka tanpa menyapa."Calderon!"Kontan Calderon menghela napas malas. Sudah dia duga Tuan Saka melihatnya. Tentu saja pria itu tidak membiarkan Calderon pergi begitu saja. Pasti kehadiran keluarga Camelia ada kaitannya dengan pernikahan mereka. Mau tak mau Calderon termasuk di dalamnya."Apa?" tanya Calderon dengan suara datar.Tuan Saka menghela napas melihat reaksi Calderon. "Duduk.""Aku capek, yah. Mau istirahat," ucap Calderon menunjukkan raut lelahnya. Dia betulan lelah. "Sebentar," pinta Tuan Saka."Ada apa? Bicara langsung aja.""Apa yang kamu lakukan?"Calderon mena
Calderon meninggalkan kosan Almora disaat perempuan itu masih terlelap. Sebetulnya Calderon tak betulan tidur saat merebahkan tubuh di lantai. Dia pura-pura memejamkan mata kala Almora memperhatikannya. Lalu kembali membuka mata saat perempuan itu sudah tertidur. Dia keluar lewat balkon dan melompat turun. Bukan hal sulit bagi Calderon untuk melakukannya.Rencana menginap jelas tidak ada. Calderon hanya mengerjai Almora saja. Hitung-hitung ingin melihat bagaimana patuhnya perempuan itu sebagai sekretaris. Dan rupanya, dia memang penurut. Meski menolak, pada akhirnya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan Calderon. Tidak salah pilih. Almora adalah orang yang tepat.Calderon tidak pulang ke rumah. Dia memutuskan tidur di apartemennya hingga pagi. Lalu berangkat ke kantor, satu jam lebih cepat dari jam biasanya. Dia tau ruangannya masih dikunci karena Almora pasti datang sekitar pukul delapan. Toh biasanya C