Kata Joya, Calderon masih belum pulih. Mungkin akan datang dua hari lagi atau tiga. Almora tidak perlu khawatir karena selama Calderon tidak ada, dia bisa bersantai. Mengerjakan apa yang mesti dikerjakan dan menghabiskan waktu untuk membantu rekan-rekan yang lain. Kata Joya, Almora tidak perlu menggantikan Calderon meeting dengan klien penting siang ini. Jadwalnya bisa diundur karena kondisi saat ini tidak memungkinkan. Joya tau Almora belum bisa menggantikan Calderon di ruangan meeting.Ya, begitu kata Joya kala Almora datang tadi pagi.Namun entah kenapa, dengan begitu tiba-tiba, perkataan perempuan itu berubah. Jadwal meeting yang katanya akan diundur rupanya tetap jadi hari ini. Sekretaris Demon tidak menerima pengunduran jadwal meeting sebab Demon akan melakukan perjalanan ke luar negeri selama beberapa bulan. Sebenarnya tidak masalah kalau pertemuan ini dibatalkan, toh yang rugi adalah perusahaan Calderon. Tapi Joya mana mau pasrah begitu saja. Perusahaan mereka mesti mengirim
Almora pikir Demon adalah pria menakutkan, lebih menakutkan dari Calderon. Namun rupanya, pria itu ramah dan murah senyum. Dia cukup baik. Pertemuan pertama mereka berjalan dengan lancar. Tidak ada kendala selama meeting berlangsung. Justru ini berakhir diluar prediksi. "Tolong sampaikan salam saya pada Calderon. Kami akan segera mengurus surat pertanda perusahaan kita akan bekerja sama," ucap Demon.Almora mengangguk dengan wajah riang. Rasa takutnya terbayar tuntas. Almora berhasil mendapatkan persetujuan kerja sama dari Demon. "Baik, pak."Demon tersenyum tipis. Dia melirik orang-orang di belakangnya, lalu menatap Almora sekali lagi. "Baiklah, terima kasih atas pertemuannya. Saya tidak bisa berlama-lama.""Iya, pak. Terima kasih kembali," balas Almora.Demon berlalu dari restoran Omara yang menjadi tempat mereka meeting. Akhirnya, Almora bisa bernapas lega selega-leganya. Dia pikir meeting ini akan berantakan karena Almora benar-benar tidak tau bagaimana memulainya. Dia sangat gug
"Kenapa udah pulang?" Ini adalah salah satu alasan kenapa Calderon malas pulang ke rumah. Bertemu Camelia dan menghadapi perempuan itu adalah hal yang paling tidak dia sukai. Namun sayangnya, Tuan Saka tahu kalau Calderon sudah meninggalkan rumah sakit. Lalu memintanya untuk pulang ke rumah agar bisa mengintrogasi putra satu-satunya yang bandel itu.Kalau tau seperti ini, lebih baik Calderon mengabaikan pesan dari Tuan Saka. Persetan dengan amarah pria itu, kenyamanannya jelas lebih penting."Tidak senang?" tanya Calderon seraya meminta Max mendorong kursi rodanya terus ke dalam.Camelia mencebikkan bibirnya. "Aku senang kamu pulang, tapi kamu belum sembuh.""Siapa yang mengatakan saya belum sembuh?"Camelia terdiam. Tidak bertanya lagi dan membiarkan Calderon berlalu menuju ruang tengah. Camelia tidak mengerti kenapa Calderon bisa berubah secepat itu. Apa dia benar-benar sudah menghilangkan Camelia dari hatinya? Apakah rasa cinta yang katanya melebihi besar bumi itu sudah tiada? Hil
"Serius nih aku yang keluar? Malam-malam begini?" tanya Almora memastikan lagi."Iya," angguk Mona. "Kau mau melihat ku seperti ini sampai besok pagi? Bagaimana kalau aku mati?"Kontan Almora memukul lengan Mona. "Jangan bicara begitu. Itu hanya luka kecil. Bagaimana bisa mati hanya karena jari kelingking kakak terlindas ban motor?""Kau tidak tau saja, Al," balas Mona.Almora merotasikan bola matanya malas. Mona berlebihan sekali. Jari kelingking kaki perempuan itu tak sengaja terlindas motor. Kukunya berdarah, mungkin ada bagian yang hancur. Dia meminta Almora ke apotik, membeli obat lalu mampir di gerobak nasi goreng. Tidak masalah sebenarnya kalau Almora pergi berdua dengan Mona. Namun masalahnya, perempuan itu tidak mau pergi dengan alasan tidak bisa berjalan. Almora mana mau berjalan sendirian pada pukul sepuluh malam. Biarpun jalanan ramai, tidak dapat dipungkiri tidak ada pelaku kriminal di sana."Aku gak mau pergi sendirian," tolak Almora seraya melipat kedua tangan di depan
Pagi itu tampak begitu cerah, berbeda dengan suasana kantor yang mendadak mendung dan suram. Di lobi terjadi baku hantam. Dua aktor yang adu kekuatan di pagi ini dikerumuni oleh karyawan yang tampaknya baru datang. Ada juga yang berusaha melerai dua pria itu agar berhenti bertengkar. Almora melangkah mendekat, ingin melihat lebih jelas manusia mana yang tidak bisa menahan egonya di pagi yang mesti indah ini."Bilang kepada Tuan mu untuk berhenti menguntit kantor saya!" teriak Calderon yang ditahan Robert. Wajahnya memerah, tidak dapat menahan amarah. Agaknya bisa membunuh lawannya saat itu juga kalau saja Robert tidak menahan Calderon.Pria lain yang ditahan Kemal hanya bisa diam dengan tatapan bengis. Wajahnya penuh lebam, habis dipukul Calderon. Namun jika dilihat lagi, wajah Calderon juga dipenuhi lebam tapi tidak separah lawannya."Ini ada apa, Joy?" tanya Almora dengan suara pelan pada Joya yang kebetulan berdiri di depannya. "Ada penguntit," jawab Joy balas berbisik.Almora men
"Bagaimana? Aman?"Almora terkesiap dengan kehadiran Robert yang tiba-tiba. Almora tidak mendengar langkah kaki memasuki dapur. Robert seharusnya menyapa Almora terlebih dahulu agar dirinya tidak terkejut."Bikin kaget aja, pak," ucap Almora menatap Robert yang sedang mengambil air di dispenser.Pria tua berkumis abu-abu itu tersenyum. "Bagaimana? Tuan aman?""Aman. Nih, dia minta dibikinin kopi," jawab Almora seraya menyingkir sedikit agar Robert bisa melihat gelas kopi gelap yang berada di hadapan Almora."Mantap," ucap pria itu. "Saya duluan ya.""Iya, pak," balas Almora turut meninggalkan dapur. Kebetulan dia sudah selesai.Almora kembali ke ruangan Calderon. Hanya membawa segelas kopi untuk Calderon karena sebetulnya ke dapur hanyalah alibi agar bisa meninggalkan ruangan Calderon. Dan sekarang dia harus kembali bertemu pria itu.Baru sampai di depan pintu, Almora tak melanjutkan langkahnya. Calderon memang punya banyak gebrakan. Tadi meminta Almora menjadi kekasihnya, lalu sekar
Tidak ada yang dapat menghalangi Calderon sekalipun darah yang kembali merembes di balik perban putihnya. Rasa sakit tidak ada lagi artinya kala Calderon berhasil menemukan anak buah dari sekutunya yang akhir-akhir ini mengacaukan jalur bisnisnya. Max berhasil menemukan Paris di pasar, sedang taruhan dengan rekan preman yang lain. Lokasi Paris cukup sulit dilacak karena pria itu lebih sering menghabiskan waktu di pinggiran kota dan di pasar yang benar-benar berada jauh dari jangkauannya.Paris tidak bisa dibilang selamat setelah berhasil diseret Max ke kantor mereka yang tak berada jauh dari sana. Calderon sudah menunggu lama untuk menghajar pria itu. Tubuhnya langsung remuk di hantam kaki jenjang Calderon. Wajahnya penuh darah kala mulutnya tak kunjung mengatakan pada siapa dia bekerja."Benar-benar mau mati?" tanya Calderon seraya terkekeh sinis. "Setia juga ya."Calderon mundur, membiarkan Paris meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhnya. Calderon menoleh, menatap Max yang langsun
Calderon melempar jasnya secara asal kala mendapati rumahnya masih dipenuhi keramaian. Di tengah malam begini, orang-orang masih sibuk—entah membahas apa. Keluarga Camelia ada di rumahnya. Mereka berkumpul di ruang tamu, tampak membicarakan hal yang serius. Calderon memilih tidak ingin ikut campur dan memutuskan berjalan melewati mereka tanpa menyapa."Calderon!"Kontan Calderon menghela napas malas. Sudah dia duga Tuan Saka melihatnya. Tentu saja pria itu tidak membiarkan Calderon pergi begitu saja. Pasti kehadiran keluarga Camelia ada kaitannya dengan pernikahan mereka. Mau tak mau Calderon termasuk di dalamnya."Apa?" tanya Calderon dengan suara datar.Tuan Saka menghela napas melihat reaksi Calderon. "Duduk.""Aku capek, yah. Mau istirahat," ucap Calderon menunjukkan raut lelahnya. Dia betulan lelah. "Sebentar," pinta Tuan Saka."Ada apa? Bicara langsung aja.""Apa yang kamu lakukan?"Calderon mena
Optima 434.Calderon berdiri di balkon, menatap hamparan kota di bawah kukungan langit biru. Kota tampak begitu jelas, seperti susunan rumah di game minecraft. Ini adalah bagian paling menyenangkan saat berkunjung ke Optima. Calderon bisa merasa tenang hanya dengan melihat bangunan-bangunan itu."Tumben mengajak saya ke sini," kata Max yang muncul dari balik punggung Calderon. Dia memang meminta pria itu untuk datang juga. Membosankan rasanya bila hanya sendirian di flat ini."Tidak suka?" Calderon menatap pria itu tajam. Selalu saja berkomentar. Nurut saja apa susahnya?"Suka, tapi kan aneh."Calderon mengabaikan. Dia memilih mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Dia tidak bisa leluasa merokok di rumah. Selain karena dilarang Nyonya besar, keberadaan Camelia yang sedang hamil juga menjadi alasannya. Calderon tentu tidak ingin anak itu meregang nyawa karena bapak tirinya hobi menghembuskan asap nikotin."Masih ngerokok?" heran Max.Calderon menyelipkan rokok itu di bibirnya l
Camelia rasa tubuhnya sudah agak mendingan. Tadi pagi hanya sedikit pusing karena tidur terlalu lama, tapi Calderon dan seluruh manusia di rumah itu menganggap dirinya sedang demam tinggi. Padahal hanya butuh berbaring sebentar, Camelia bisa pulih.Usai makan siang, Camelia berencana untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Sudah lama Camelia tidak berkunjung ke rumah. Kedua orang tuanya juga jarang memberi kabar seolah lupa dengan anaknya yang satu ini."Mau kemana?"Langkahnya dihadang oleh Calderon yang tiba-tiba muncul. Berdiri di depan pintu utama seraya melipat kedua tangan di depan dada. Ah, magic. Pria itu penyihir. Sekejap di kamar, sekejap di ruang kerjanya dan sekejap lagi ada di depan mata."Ke rumah orang tuaku." Camelia menatap Calderon.Salah satu alis pria itu terangkat. "Sendiri?""Memangnya kamu mau ikut?" tanya Camelia, sangsi. Calderon benci sekali dengan ayahnya. Mana mungkin pria itu mau ikut dengannya bertemu mama dan papa.Sesuai dugaan, Calderon menggelengkan
"Kenapa? Apa sudah kalian temukan bajingan itu?" tanya Calderon melihat beberapa anak buahnya datang dengan napas tak beraturan. Mereka berlari dari gerbang utama seperti dikejar anjing gila.Yang paling besar, mengangkat tangan pertanda butuh beberapa detik untuk bisa bernapas normal. Yang satu lagi, menatap Calderon dengan napas yang mulai teratur. Apa yang mengejar sampai bernapas saja terlihat sulit? Roh mereka seakan tercabut dari tubuh hanya karena berlari dari gerbang."Ada berita buruk." Kalau tidak salah namanya Rob, entah Robert entah Roblok. Calderon tidak bisa mengingat nama-nama anak buahnya.Berita buruk sudah menjadi makanan sehari-hari Calderon. Jadi, dia tidak terkejut bila akan ada kabar buruk lagi yang dia dengar."Apa?""Ternyata Kaleo punya hubungan kerja sama dengan kartel di Kroasia," jawab Rob.Ah, masalah kartel lagi. Calderon malas sekali mengurus orang-orang yang terlibat kartel. Hal itu benar-benar memuakkan."Kroasia? Ada kartel di sana?" tanya Calderon. D
Calvin beringsut menaiki tempat tidur, merebahkan tubuh di sebelah Almora yang sudah lebih dulu berbaring. Mereka tidak punya kegiatan apapun lagi sebab tadi siang sudah menghabiskan banyak waktu dengan bermain game dan menonton beberapa film komedi rekomendasi dari Calvin sendiri. Sebenarnya Calvin masih punya beberapa pekerjaan yang mesti diselesaikan. Akan tetapi dia merasa tidak tenang jika Almora belum tidur. Pekerjaan yang menumpuk itu bisa diselesaikan nanti atau saat mepet deadline. Namun menemani Almora tidur tidak sama dengan pekerjaan yang bisa ditunda."Mau dibacain dongeng apa?" Calvin menatap Almora sembari mengembangkan sebuah buku cerita."Kamu pikir aku anak kecil?" Almora balik menatap Calvin. "Eh, itu buku dongeng siapa yang kamu curi?""Enak aja." Calvin menutup buku cerita dengan judul kisah petualangan seru kancil dan teman-temannya. "Ini aku beli di Indonesia. Sudah lama sih."Almora tertawa pelan. "Kok bisa kepikiran buat beli buku dongeng itu? Mana judulnya m
"Bayinya sehat. Ibunya juga sehat."Senyum di wajah Calvin tak luntur kala kalimat dokter yang memeriksa Almora tadi pagi terus bergema di kepalanya. "Bayinya laki-laki."Semakin senang hati Calvin mendengarnya. Bayi mereka laki-laki. Terlepas dari siapa sebenarnya ayah kandung dari bayi itu, untuk saat ini yang bertanggung jawab dan akan mengemban peran bapak adalah dirinya. Tentu saja Calvin bersuka cita mendengar kabar baik itu.Ibunya sehat, bayinya sehat dan bayinya laki-laki."Bahagia banget kayaknya," ucap Almora. Matanya tak luput dari wajah pria yang sedang berkutat di pantry itu. Katanya dia ingin memasak makan siang untuk Almora. Sekalian mencoba resep baru untuk kue yang tadi malam baru saja diriset oleh pria itu.Dia produktif sekali jadi suaminya. Dan semenjak kehamilan Almora memasuki masa menuju pembukaan, pria itu memutuskan bekerja dari rumah saja. Katanya dia takut meninggalkan Almora di rumah sendirian.Calvin sangat siap untuk menjadi seorang suami."Iya dong. An
Katanya tidak cinta, tapi begitu menemukan Camelia di dekat salon, Calderon langsung memeluknya. Dia cemas kala tau Kaleo berkeliaran di sekitar mereka. Entah kenapa, disaat Tuan Saka berkata Kaleo ingin kembali merebut Camelia, ada rasa khawatir yang luar biasa dalam diri Calderon. Mungkin karena Calderon tau bahwa kemunculan Kaleo adalah alarm bahaya bagi Camelia. Pria itu memang ayah kandung dari bayi yang Camelia kandung tapi mengingat bagaimana sepak terjangnya sebagai manusia, Calderon tidak bisa menyerahkan Camelia pada pria itu."C-Cal, are you okay?" Camelia yang dipeluk secara tiba-tiba jelas terkejut. Calderon masih belum melepaskan pelukannya. "Saya pikir kamu kenapa-kenapa."Setelah berminggu-minggu pernikahan mereka, ini kali pertama Calderon menunjukkan kepeduliannya secara tulus. Bukan karena terpaksa, bukan karena ayahnya, bukan karena orang-orang dan media yang meliput mereka tapi karena diri Calderon sendiri. Camelia terharu melihat Calderon mengkhawatirkannya. Ini
Kembali ke tanah air.Kericuhan terjadi di kediaman Tuan Saka. Ayah dan anak itu bertengkar perihal Kaleo yang hilang dari lokasi penyekapan di California. Entah apa yang terjadi sampai pria itu bisa lolos dari pengawasan dua kubu. Dan Calderon duga, ini terjadi karena ayahnya berusaha merebut Kaleo dari genggamannya."Coba saja ayah tidak ikut-ikutan, mungkin Kaleo masih ada di rumah penyekapan," kata Calderon dengan dada kembang kempis. Dia berusaha sabar untuk tidak memukul pria yang menjadi penyebab kekacauan itu terjadi."Itu bukan tanggung jawab mu, Cal. Mengurus Kaleo adalah tugas saya. Kamu cukup menjalankan peranmu sebagai suaminya hingga anaknya lahir," balas Tuan Saka dengan wajah tak kalah bengis.Karena kekacauan ini, aksi penyelundupannya terbongkar.Calderon mendengus kasar. Dia bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Dia tau kenapa Tuan Saka mau turun tangan mengurus Kaleo. Sudah pasti karena tidak ingin pernikahannya dan Camelia berakhir. Tuan Saka ingin Calderon terus
Mari menikah denganku.Semudah itu Calvin mengajaknya untuk menikah dan semudah itu pula Almora mengiyakan ajakan tersebut. Kesannya seperti sedang main nikah-nikahan. Rasanya memang aneh bagi mereka yang baru kenal, baru akrab. Terlalu cepat bagi mereka untuk naik ke jenjang yang lebih serius. Menikah bukan hanya soal tanggung jawab, bukan hanya soal nafkah tapi juga soal resiko yang harus mereka hadapi setelah ini. Almora masih takut. Bayang-bayang Ken tewas karena dirinya jelas belum usai menghantui.Namun hidup harus terus berjalan. Almora tidak menapik bahwasanya dia butuh pendamping hidup. Dia butuh seseorang untuk menemaninya membesarkan bayinya. Butuh seseorang untuk membersamai hari tuanya.Karena Calvin tampak serius, Almora juga akan serius. Jika Calvin memang ingin bermain-main, seharusnya pria itu mengajaknya pacaran, bukan menikah.Satu minggu setelah will you marry me dadakan itu, Calvin dan Almora resmi menjadi pasangan suami-isteri. Menikah dengan orang dari negara s
Hari-hari Almora benar-benar menjadi lebih baik usai bertemu dengan Calvin. Di belahan bumi yang jauh itu, Almora tidak lagi merasa kesepian. Sebelumnya ada banyak orang yang Almora kenal. Temannya juga lumayan untuk ukuran warga asing yang baru menempati wilayah lokal. Namun rasanya berbeda saat bertemu dengan Calvin. Teman Almora yang banyak itu tak cukup mampu menghilangkan rasa sepinya. Justru Calvin yang baru dia kenal kemarin sore mampu membuat Almora merasakan bagaimana hidup bersama teman yang seolah sudah dikenal sejak lama. Rasanya seperti pulang ke rumah."Aku sudah jarang ke pantai," ucap Calvin. Sore itu entah karena gerangan apa, Calvin mengajak Almora bermain ke pantai.Mereka duduk di atas bebatuan. Menatap birunya air laut. Sama halnya dengan Calvin, Almora juga sudah jarang ke pantai atau mungkin tidak pernah. Jarak dari kota ke pantai tidak begitu jauh, tapi tidak pernah sekalipun Almora ingin mengunjungi perairan luas nan indah itu. Ini saja kalau bukan karena ajak