Tidak ada yang dapat menghalangi Calderon sekalipun darah yang kembali merembes di balik perban putihnya. Rasa sakit tidak ada lagi artinya kala Calderon berhasil menemukan anak buah dari sekutunya yang akhir-akhir ini mengacaukan jalur bisnisnya. Max berhasil menemukan Paris di pasar, sedang taruhan dengan rekan preman yang lain. Lokasi Paris cukup sulit dilacak karena pria itu lebih sering menghabiskan waktu di pinggiran kota dan di pasar yang benar-benar berada jauh dari jangkauannya.Paris tidak bisa dibilang selamat setelah berhasil diseret Max ke kantor mereka yang tak berada jauh dari sana. Calderon sudah menunggu lama untuk menghajar pria itu. Tubuhnya langsung remuk di hantam kaki jenjang Calderon. Wajahnya penuh darah kala mulutnya tak kunjung mengatakan pada siapa dia bekerja."Benar-benar mau mati?" tanya Calderon seraya terkekeh sinis. "Setia juga ya."Calderon mundur, membiarkan Paris meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhnya. Calderon menoleh, menatap Max yang langsun
Calderon melempar jasnya secara asal kala mendapati rumahnya masih dipenuhi keramaian. Di tengah malam begini, orang-orang masih sibuk—entah membahas apa. Keluarga Camelia ada di rumahnya. Mereka berkumpul di ruang tamu, tampak membicarakan hal yang serius. Calderon memilih tidak ingin ikut campur dan memutuskan berjalan melewati mereka tanpa menyapa."Calderon!"Kontan Calderon menghela napas malas. Sudah dia duga Tuan Saka melihatnya. Tentu saja pria itu tidak membiarkan Calderon pergi begitu saja. Pasti kehadiran keluarga Camelia ada kaitannya dengan pernikahan mereka. Mau tak mau Calderon termasuk di dalamnya."Apa?" tanya Calderon dengan suara datar.Tuan Saka menghela napas melihat reaksi Calderon. "Duduk.""Aku capek, yah. Mau istirahat," ucap Calderon menunjukkan raut lelahnya. Dia betulan lelah. "Sebentar," pinta Tuan Saka."Ada apa? Bicara langsung aja.""Apa yang kamu lakukan?"Calderon mena
Calderon meninggalkan kosan Almora disaat perempuan itu masih terlelap. Sebetulnya Calderon tak betulan tidur saat merebahkan tubuh di lantai. Dia pura-pura memejamkan mata kala Almora memperhatikannya. Lalu kembali membuka mata saat perempuan itu sudah tertidur. Dia keluar lewat balkon dan melompat turun. Bukan hal sulit bagi Calderon untuk melakukannya.Rencana menginap jelas tidak ada. Calderon hanya mengerjai Almora saja. Hitung-hitung ingin melihat bagaimana patuhnya perempuan itu sebagai sekretaris. Dan rupanya, dia memang penurut. Meski menolak, pada akhirnya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan Calderon. Tidak salah pilih. Almora adalah orang yang tepat.Calderon tidak pulang ke rumah. Dia memutuskan tidur di apartemennya hingga pagi. Lalu berangkat ke kantor, satu jam lebih cepat dari jam biasanya. Dia tau ruangannya masih dikunci karena Almora pasti datang sekitar pukul delapan. Toh biasanya C
"Katanya berantakan. Tapi kok ini bersih dan rapi?" tanya Almora begitu melangkah memasuki apartemen Calderon. Tidak ada gambaran dari kata berantakan seperti yang dikatakan Calderon. Ruang tamu yang Almora pijak tampak bersih dan tersusun rapi. Tidak ada sampah, tidak ada yang berantakan.Apa dia dibohongi?"Bukan ini yang berantakan," jawab Calderon melangkah menuju kamarnya.Almora mengekori langkah pria itu. "Terus dimana?"Calderon membuka pintu kamarnya. Memperlihatkan ruangan luas dengan desain yang membuat Almora takjub. "Ini yang berantakan."Memang benar. Ruangan luas yang tampak indah itu tidak tertata dengan baik. Pakaian berceceran di lantai. Selimut awur-awuran di atas ranjang. Bantal dan guling berserakan di sofa. Buku, kertas dan sampah kaleng kopi mengotori lantai. Almora tidak menyangka pria yang tampak sempurna ini juga punya sisi malas beberes. Almora pikir, Calderon tidak suka dengan kekacauan dan kotor. Tapi ternyata, kamarnya bisa berantakan juga."Maaf karena
Pasta aglio olio datang bertepatan dengan Calderon selesai mandi. Pria itu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang mengalung di leher. Almora sedikit tercengang melihat penampilan Calderon. Kegantengan pria itu sedikit bertambah sehabis mandi. Rambut basah, kaos tanpa lengan dan celana pendek. Dia terlihat berbeda dengan Calderon yang berada di kantor.Calderon yang saat ini bersamanya terlihat lebih baik."Sudah datang?" tanyanya duduk di sebelah Almora. Mereka berada di meja makan.Almora mengangguk. Makanan itu baru saja sampai. Masih berada di tempatnya karena Almora tidak tau dimana letak piring. Jadi, dia menunggu Calderon selesai mandi agar pria itu saja yang mengambil piring.Calderon berjalan menuju dapur, mengambil beberapa buah piring, sendok dan garpu. Dia juga mengambil air mineral dari lemari pendingin. Lalu membawa semuanya ke meja makan."Silahkan ambil makanan kamu," ucap Calderon. Ah, seumur-umur Calderon tidak pernah begini pada perempuan selain
Memeluk Calderon sambil menangis adalah hal yang paling Almora sesali pagi ini. Dia tidak henti-hentinya berguling ke sana kemari hingga jatuh dari ranjang. Terlentang di atas lantai dengan penyesalan yang semakin dipikirkan semakin membuat Almora tidak mau bertemu Calderon. Entah apa yang dia pikirkan kemarin sampai memeluk pria itu. Almora benar-benar menyesal! Andai kata Almora bisa menghapus ingatan seseorang, dia akan membuat Calderon melupakan bagaimana lemahnya dia saat itu."Aaa! Gila!" teriak Almora frustasi. Rasanya dia tidak punya muka untuk bertemu Calderon. "Woi! Kenapa kau berteriak?" Pintu kamar Almora di ketuk. Pelakunya sudah jelas Mona. Tidak ada perempuan dengan suara keras di kos ini selain Mona. "Aaa!" Almora berteriak lagi seraya bangun. Apa dia izin saja hari ini? Ah, tapi Almora belum ada satu minggu bekerja. Bisa-bisa dia betulan dipecat meski rasanya mustahil. Tapi Almora tidak bisa seenaknya juga. Bagaimana ini? Dia benar-benar bingung."Kenapa kau?! Aku
Dengan keberanian yang diada-adakan, Almora memutuskan untuk tetap datang ke kantor. Sia-sia rasanya jika bolos hanya karena kejadian kemarin yang sebetulnya bukan masalah besar. Almora bisa pasang wajah acuh atau pura-pura kejadian itu tidak pernah terjadi. Hidupnya tidak boleh berhenti hanya karena menangis di pelukan pria yang pernah dia sumpahi mati. Pria yang sangat amat dia benci."Saya pikir kamu langsung ke lokasi meeting bersama Tuan," ucap Joya begitu Almora tiba di depan ruangannya."Seingat saya meeting hari ini ditunda, Joy," balas Almora.Joya sedikit terkejut. "Iya kah?"Almora mengangguk. Tadi pagi sekretaris Tuan Exel mengabari Almora kalau hari ini mereka tidak jadi meeting. Tuan Exel mendadak jatuh sakit dan sedang dirawat di rumah sakit. Almora juga sudah mengabarkan mengenai hal itu pada Calderon, tapi pesannya belum dibalas."Terus, Tuan mana? Kok kamu sendiri?" tanya Joya menatap sekitar, mencari keberadaan Calderon."Sepertinya belum datang.""Tumben. Dia tidak
Calderon mengajak Almora makan di restoran bintang lima yang tak berada jauh dari kantor. Tapi Almora menolak, tidak setuju makan di sana. Dia menyarankan agar mereka makan di warung pagi saja karena makanan di sana lebih murah dan pastinya mengenyangkan. Padahal yang ingin sarapan adalah Calderon. Tugas Almora hanya menemani pria itu, tapi malah menyarankan untuk makan di tempat lain. Lagipula tidak ada gunanya makan di restoran mewah terkecuali lambungnya memang kecil, tidak bisa makan bubur ayam satu mangkok full.Alhasil, dengan kerendahan hati Calderon ikut saja. Tidak banyak membantah. Akhir-akhir ini pria itu memang terlihat seperti malaikat."Mau makan apa?" tanya Calderon berdiri di belakang Almora. Mereka sedang melihat menu yang ditempel di etalase.Bisa tidak Calderon tidak berdiri di belakangnya? Siku Almora bisa menyentuh perut pria itu karena saking dekatnya mereka. Hal ini tentu saja tidak baik bagi kesehatan tubuhnya, terutama jantung. "Kan yang makan Tuan," jawab Al