Dengan keberanian yang diada-adakan, Almora memutuskan untuk tetap datang ke kantor. Sia-sia rasanya jika bolos hanya karena kejadian kemarin yang sebetulnya bukan masalah besar. Almora bisa pasang wajah acuh atau pura-pura kejadian itu tidak pernah terjadi. Hidupnya tidak boleh berhenti hanya karena menangis di pelukan pria yang pernah dia sumpahi mati. Pria yang sangat amat dia benci."Saya pikir kamu langsung ke lokasi meeting bersama Tuan," ucap Joya begitu Almora tiba di depan ruangannya."Seingat saya meeting hari ini ditunda, Joy," balas Almora.Joya sedikit terkejut. "Iya kah?"Almora mengangguk. Tadi pagi sekretaris Tuan Exel mengabari Almora kalau hari ini mereka tidak jadi meeting. Tuan Exel mendadak jatuh sakit dan sedang dirawat di rumah sakit. Almora juga sudah mengabarkan mengenai hal itu pada Calderon, tapi pesannya belum dibalas."Terus, Tuan mana? Kok kamu sendiri?" tanya Joya menatap sekitar, mencari keberadaan Calderon."Sepertinya belum datang.""Tumben. Dia tidak
Calderon mengajak Almora makan di restoran bintang lima yang tak berada jauh dari kantor. Tapi Almora menolak, tidak setuju makan di sana. Dia menyarankan agar mereka makan di warung pagi saja karena makanan di sana lebih murah dan pastinya mengenyangkan. Padahal yang ingin sarapan adalah Calderon. Tugas Almora hanya menemani pria itu, tapi malah menyarankan untuk makan di tempat lain. Lagipula tidak ada gunanya makan di restoran mewah terkecuali lambungnya memang kecil, tidak bisa makan bubur ayam satu mangkok full.Alhasil, dengan kerendahan hati Calderon ikut saja. Tidak banyak membantah. Akhir-akhir ini pria itu memang terlihat seperti malaikat."Mau makan apa?" tanya Calderon berdiri di belakang Almora. Mereka sedang melihat menu yang ditempel di etalase.Bisa tidak Calderon tidak berdiri di belakangnya? Siku Almora bisa menyentuh perut pria itu karena saking dekatnya mereka. Hal ini tentu saja tidak baik bagi kesehatan tubuhnya, terutama jantung. "Kan yang makan Tuan," jawab Al
Calderon benar-benar berhasil mengubah suasana di warung pagi kala itu. Kalimat terakhir yang diucapkan dengan begitu entengnya membuat bubur kacang hijau yang mereka pesan kehilangan daya tarik. Tidak ada lagi percakapan setelahnya. Mereka sibuk dengan bubur masing-masing. Makan dalam diam dan rasa canggung yang luar biasa. Almora benar-benar kehilangan selera untuk makan.Bahkan disaat membayar, mereka sama-sama menyodorkan uang pada kasir. Lagipula sejak awal tidak ada kesepakatan kalau Calderon yang membayar. Almora juga tidak berharap makanannya dibayar pria itu karena dirinya masih sanggup untuk membayar. Di perjalanan menuju kantor, mereka masih tak bersuara. Almora berjalan lebih dulu, meninggalkan Calderon yang tampaknya juga ingin memberi jarak dengan Almora. Buktinya, Almora berada beberapa meter di depan Calderon. Almora tidak marah, tidak juga merasa tidak senang. Dia hanya merasa... aneh dan bingung. Apa Calderon bercanda? Atau apa? Seharusnya Almora tidak memasukkan p
"Bagaimana bisa? Ah! Sialan! Kenapa aku malah terus memikirkan pria itu?" Almora merutuki dirinya sendiri karena tak bisa melupakan ucapan Calderon. "Memikirkan siapa?"Baru saja dipikirkan, sosok yang membuat Almora uring-uringan muncul seperti jin botol. Dengan begitu Almora langsung menegakkan kepalanya, menatap Calderon yang berada di seberang meja. Almora memutuskan untuk kembali ke ruangannya, menunggu Calderon kembali. "Memikirkan siapa?" ulang Calderon menatap Almora dengan sorot mata mengintimidasi.Almora menggelengkan kepalanya cepat. Ah, pria itu suka sekali muncul secara tiba-tiba. Almora kan jadi sering kaget karena kemunculan Calderon. Apa salahnya mengetuk pintu dulu atau bersuara pelan menandakan dia akan masuk? Ah, lagipula berharap apa? Calderon tetaplah Calderon."Pria mana yang kamu pikirkan, hm?" tanya Calderon penasaran."Memangnya tadi saya bilang pria?" tanya Almora pula pura-pura tidak tau.Calderon menaikkan salah satu sudut bibirnya. Lalu mengulang kalima
Kondisi Calderon tak ada bedanya dengan Almora. Sama-sama frustasi, sama-sama gila karena ucapannya sendiri. Calderon tidak menyesal karena telah berkata seperti itu sebab tujuannya memang itu. Namun waktunya kurang pas. Dan hubungan mereka juga belum sepenuhnya membaik. Calderon terlalu terburu-buru karena takut Almora diambil orang lain.Kali ini Calderon mengakui kalau dia menyukai perempuan itu. Mengakui bahwa pertanyaan itu bukan sebuah candaan. Namun, alasan kenapa dia secepat itu ingin memiliki Almora ialah untuk menyelamatkannya dari pernikahan. Calderon tetap menjadikan perempuan itu sebagai yang kedua, hingga nanti berhasil lepas dari Camelia dan bersungguh-sungguh untuk menikahi Almora.Pertemuan mereka memang belum seberapa. Hubungan mereka belum bisa dibilang baik. Tapi perasaan aneh setiap kali berada di dekat perempuan itu tidak mungkin muncul tanpa alasan. Calderon merasa berbunga, berdebar dan senang. Itu pasti karena Calderon menyukai Almora."Tuan Saka meminta Tuan
Almora memutuskan untuk mengisi Minggu paginya dengan berlari di sekitar taman yang berada tak jauh dari kosnya. Ada Mona dan dua teman kos lainnya yang ikut berlari. Katanya sekitar jam sembilan akan ada games di taman. Diadakan oleh orang kaya gabut yang ingin bagi-bagi uang. Karena hal itulah, Mona dan dua teman lainnya bersemangat untuk ikut. Jam 5 pagi sudah bangun, takut tidak kebagian kupon dan voucher yang dibagikan sebab katanya lagi, hadiah utamanya satu unit pajero. Gila kan? Ada ya orang yang bersuka rela membuat acara seperti itu."Udah berapa pace nya?" tanya Mona berusaha menyamai langkahnya dengan Almora. Syarat untuk ikut games dan mendapat voucher lainnya adalah berlari dengan pace minimal 3 km 15 menit."Lebih dari 3 km pokoknya," jawab Almora. Mereka mulai lari pukul tujuh dan sekarang sudah pukul sembilan kurang lima belas menit. Mona tersenyum sumringah. Pace sudah mencapai batas minimal. Dia tidak perlu lari lagi. "Oke. Kita hanya perlu ke taman dan minta vouch
Apa yang lebih membahagiakan selain hari gajian?Yap, jawabannya adalah menjadi kekasih Calderon.Layaknya pasangan baru, mereka tentu malu-malu kucing. Mereka tidak banyak bicara usai penembakan cinta itu. Calderon lebih banyak diam, tapi banyak tersenyum. Sedangkan Almora banyak tersenyum dan banyak melirik pria itu. Ah, pada akhirnya Almora menelan bulat-bulat rasa bencinya. Menelan semua egonya untuk tidak berurusan dengan Calderon. Memang ya, hati manusia tidak ada yang tau. Yang mati-matian membenci justru berbalik menjadi mati-matian menyukai. Sebenarnya belum sampai mati-matian. Ini terlalu berlebihan."Kamu ke sini sendirian?" tanya Calderon, memecah sunyi."Gak, berempat sama teman kos," jawab Almora menahan senyum. Dia selalu ingin tersenyum saat melihat wajah Calderon.Calderon mengangguk-anggukan kepalanya. Orang-orang di tengah taman masih heboh karena peserta games tersisa tiga. Babak final penentu siapa yang akan membawa pajero itu pulang. Calderon terkekeh pelan, lalu
"Tambah-tambah. Aku yang bayar," ucap Mona menyodorkan bakul berisi nasi tambahan. Dia dengan semangat menyodorkan piring-piring berisi lauk yang terhidang, meletakkan kerupuk di piring Almora dan kedua teman lainnya."Sabar, Mon. Sepiring aja belum habis," ucap Tania sedikit kesal. Mona tersenyum saja. "Jangan malu-malu kalau mau tambah.""Iya, Mon. Iyaaa. Mentang-mentang menang pajero," cerca Tania.Almora yang memperhatikan tidak ikut bicara. Dia makan dengan tenang seraya sesekali melirik ponselnya, melihat notifikasi dari grup kantor. Pembahasan random yang dimulai oleh Joya mendatangkan seratus lebih pesan dan Almora hanya membaca deretan pesan itu di pop-up hpnya. Sebenarnya ada pesan lain yang Almora nantikan. Pesan dari Calderon. Tidak berharap banyak, tapi setidaknya pria itu mengabarinya mengenai apa yang sedang dia lakukan saat ini atau mengirim pesan tidak penting seperti yang pria lakukan sebelum mereka terikat pada suatu hubungan."Sibuk ya kau, Al?" Suara berat Mona