"Bagaimana bisa? Ah! Sialan! Kenapa aku malah terus memikirkan pria itu?" Almora merutuki dirinya sendiri karena tak bisa melupakan ucapan Calderon. "Memikirkan siapa?"Baru saja dipikirkan, sosok yang membuat Almora uring-uringan muncul seperti jin botol. Dengan begitu Almora langsung menegakkan kepalanya, menatap Calderon yang berada di seberang meja. Almora memutuskan untuk kembali ke ruangannya, menunggu Calderon kembali. "Memikirkan siapa?" ulang Calderon menatap Almora dengan sorot mata mengintimidasi.Almora menggelengkan kepalanya cepat. Ah, pria itu suka sekali muncul secara tiba-tiba. Almora kan jadi sering kaget karena kemunculan Calderon. Apa salahnya mengetuk pintu dulu atau bersuara pelan menandakan dia akan masuk? Ah, lagipula berharap apa? Calderon tetaplah Calderon."Pria mana yang kamu pikirkan, hm?" tanya Calderon penasaran."Memangnya tadi saya bilang pria?" tanya Almora pula pura-pura tidak tau.Calderon menaikkan salah satu sudut bibirnya. Lalu mengulang kalima
Kondisi Calderon tak ada bedanya dengan Almora. Sama-sama frustasi, sama-sama gila karena ucapannya sendiri. Calderon tidak menyesal karena telah berkata seperti itu sebab tujuannya memang itu. Namun waktunya kurang pas. Dan hubungan mereka juga belum sepenuhnya membaik. Calderon terlalu terburu-buru karena takut Almora diambil orang lain.Kali ini Calderon mengakui kalau dia menyukai perempuan itu. Mengakui bahwa pertanyaan itu bukan sebuah candaan. Namun, alasan kenapa dia secepat itu ingin memiliki Almora ialah untuk menyelamatkannya dari pernikahan. Calderon tetap menjadikan perempuan itu sebagai yang kedua, hingga nanti berhasil lepas dari Camelia dan bersungguh-sungguh untuk menikahi Almora.Pertemuan mereka memang belum seberapa. Hubungan mereka belum bisa dibilang baik. Tapi perasaan aneh setiap kali berada di dekat perempuan itu tidak mungkin muncul tanpa alasan. Calderon merasa berbunga, berdebar dan senang. Itu pasti karena Calderon menyukai Almora."Tuan Saka meminta Tuan
Almora memutuskan untuk mengisi Minggu paginya dengan berlari di sekitar taman yang berada tak jauh dari kosnya. Ada Mona dan dua teman kos lainnya yang ikut berlari. Katanya sekitar jam sembilan akan ada games di taman. Diadakan oleh orang kaya gabut yang ingin bagi-bagi uang. Karena hal itulah, Mona dan dua teman lainnya bersemangat untuk ikut. Jam 5 pagi sudah bangun, takut tidak kebagian kupon dan voucher yang dibagikan sebab katanya lagi, hadiah utamanya satu unit pajero. Gila kan? Ada ya orang yang bersuka rela membuat acara seperti itu."Udah berapa pace nya?" tanya Mona berusaha menyamai langkahnya dengan Almora. Syarat untuk ikut games dan mendapat voucher lainnya adalah berlari dengan pace minimal 3 km 15 menit."Lebih dari 3 km pokoknya," jawab Almora. Mereka mulai lari pukul tujuh dan sekarang sudah pukul sembilan kurang lima belas menit. Mona tersenyum sumringah. Pace sudah mencapai batas minimal. Dia tidak perlu lari lagi. "Oke. Kita hanya perlu ke taman dan minta vouch
Apa yang lebih membahagiakan selain hari gajian?Yap, jawabannya adalah menjadi kekasih Calderon.Layaknya pasangan baru, mereka tentu malu-malu kucing. Mereka tidak banyak bicara usai penembakan cinta itu. Calderon lebih banyak diam, tapi banyak tersenyum. Sedangkan Almora banyak tersenyum dan banyak melirik pria itu. Ah, pada akhirnya Almora menelan bulat-bulat rasa bencinya. Menelan semua egonya untuk tidak berurusan dengan Calderon. Memang ya, hati manusia tidak ada yang tau. Yang mati-matian membenci justru berbalik menjadi mati-matian menyukai. Sebenarnya belum sampai mati-matian. Ini terlalu berlebihan."Kamu ke sini sendirian?" tanya Calderon, memecah sunyi."Gak, berempat sama teman kos," jawab Almora menahan senyum. Dia selalu ingin tersenyum saat melihat wajah Calderon.Calderon mengangguk-anggukan kepalanya. Orang-orang di tengah taman masih heboh karena peserta games tersisa tiga. Babak final penentu siapa yang akan membawa pajero itu pulang. Calderon terkekeh pelan, lalu
"Tambah-tambah. Aku yang bayar," ucap Mona menyodorkan bakul berisi nasi tambahan. Dia dengan semangat menyodorkan piring-piring berisi lauk yang terhidang, meletakkan kerupuk di piring Almora dan kedua teman lainnya."Sabar, Mon. Sepiring aja belum habis," ucap Tania sedikit kesal. Mona tersenyum saja. "Jangan malu-malu kalau mau tambah.""Iya, Mon. Iyaaa. Mentang-mentang menang pajero," cerca Tania.Almora yang memperhatikan tidak ikut bicara. Dia makan dengan tenang seraya sesekali melirik ponselnya, melihat notifikasi dari grup kantor. Pembahasan random yang dimulai oleh Joya mendatangkan seratus lebih pesan dan Almora hanya membaca deretan pesan itu di pop-up hpnya. Sebenarnya ada pesan lain yang Almora nantikan. Pesan dari Calderon. Tidak berharap banyak, tapi setidaknya pria itu mengabarinya mengenai apa yang sedang dia lakukan saat ini atau mengirim pesan tidak penting seperti yang pria lakukan sebelum mereka terikat pada suatu hubungan."Sibuk ya kau, Al?" Suara berat Mona
Mereka melakukan perjalanan ke suatu tempat yang disebut jauh oleh Calderon. Dia tidak menjelaskan secara spesifik kemana mereka akan pergi. Almora pun enggan bertanya dan hanya bisa diam, menatap jalanan yang mereka lalui yang semakin lama semakin jauh dari pusat kota. Mereka seperti sedang melakukan perjalanan ke pinggiran kota atau mungkin mereka akan ke sebuah pedesaan. Yang benar saja? Apa tujuan Calderon membawanya ke sana? Dengan begitu saja rasa takut itu kembali muncul. Status mereka sebagai sepasang kekasih tak membuat perasaan was-was terhadap Calderon hilang. Di beberapa waktu Almora masih suka merasa takut dengan pria itu. "Masih jauh ya?" tanya Almora menatap ke luar jendela. Tiang-tiang listrik mulai hilang, digantikan deretan pepohonan rimbun. Langit yang tadinya biru sudah berganti dengan warna oranye. Sudah seberapa jauh mereka? Dan apakah selama ini?Calderon menoleh, lalu mengulas senyum tipis. "Lima belas menit lagi sampai.""Emangnya mau kemana?""Ke suatu temp
Seperti yang Calderon katakan sebelumnya, tujuan mereka jauh-jauh datang ke tempat ini adalah untuk melihat bintang jatuh. Katanya keindahan itu akan terlihat dengan jelas bila mereka duduk di balkon kamar Calderon, menatap langit yang memang benar cerahnya. Ada banyak bintang di angkasa sana. Ada juga bulan sabit yang tak kalah luar biasa sinarnya. Ini memang bukan kali pertama Almora menemui angkasa seindah itu, tapi entah kenapa kali ini rasanya sedikit berbeda. Mungkin karena pria yang duduk di sebelahnya.Calderon menaikkan alisnya kala Almora menatapnya sembari tersenyum. "Kenapa?""Seperti mimpi," jawab Almora seraya memalingkan tatapan. Almora masih tak bisa percaya bahwa saat ini dia telah menjadi kekasih dari pria yang dulunya begitu dia takuti. Pria yang menidurinya, pria yang mendorongnya jatuh dari jembatan tapi dia pula yang membawanya menepi, pria yang tiba-tiba datang meminta agar mereka berbaikan, pria yang begitu menyebalkan dan pria yang entah kenapa sekarang ini te
Benar kata orang-orang, dua insan yang sedang jatuh cinta tidak akan lagi ingat pada dunia kala gairah telah menguasai tubuh masing-masing. Rencana melihat bintang jatuh tidak lagi berarti karena nafsu meminta lebih. Lagipula, manusia waras mana yang puas dengan ciuman? Agaknya tidak ada. Nafsu jelas menutut mereka untuk melakukan hal yang lebih dari itu. Dan gilanya, mereka benar-benar mengulangi kejadian di club kala itu. Bedanya, kali ini mereka berhubungan sebagai sepasang kekasih yang sama-sama ingin melakukannya.Tidak ada yang bisa disalahkan ketika sadar mereka sudah sama-sama telanjang. Tidak ada yang bisa disesali kala mereka sudah sama-sama puas. Mungkin ada perasaan gundah dan takut, tapi pria mana yang tidak bisa membuat hati kembali berbunga? Kata-kata manis dari Calderon tentu mampu menghipnotis Almora untuk tidak merasa takut. "Apapun yang terjadi, saya akan bertanggung jawab," ucap Calderon memeluk tubuh Almora.Almora mencari kenyamanan di pelukan Calderon. "Jangan