"Tambah-tambah. Aku yang bayar," ucap Mona menyodorkan bakul berisi nasi tambahan. Dia dengan semangat menyodorkan piring-piring berisi lauk yang terhidang, meletakkan kerupuk di piring Almora dan kedua teman lainnya."Sabar, Mon. Sepiring aja belum habis," ucap Tania sedikit kesal. Mona tersenyum saja. "Jangan malu-malu kalau mau tambah.""Iya, Mon. Iyaaa. Mentang-mentang menang pajero," cerca Tania.Almora yang memperhatikan tidak ikut bicara. Dia makan dengan tenang seraya sesekali melirik ponselnya, melihat notifikasi dari grup kantor. Pembahasan random yang dimulai oleh Joya mendatangkan seratus lebih pesan dan Almora hanya membaca deretan pesan itu di pop-up hpnya. Sebenarnya ada pesan lain yang Almora nantikan. Pesan dari Calderon. Tidak berharap banyak, tapi setidaknya pria itu mengabarinya mengenai apa yang sedang dia lakukan saat ini atau mengirim pesan tidak penting seperti yang pria lakukan sebelum mereka terikat pada suatu hubungan."Sibuk ya kau, Al?" Suara berat Mona
Mereka melakukan perjalanan ke suatu tempat yang disebut jauh oleh Calderon. Dia tidak menjelaskan secara spesifik kemana mereka akan pergi. Almora pun enggan bertanya dan hanya bisa diam, menatap jalanan yang mereka lalui yang semakin lama semakin jauh dari pusat kota. Mereka seperti sedang melakukan perjalanan ke pinggiran kota atau mungkin mereka akan ke sebuah pedesaan. Yang benar saja? Apa tujuan Calderon membawanya ke sana? Dengan begitu saja rasa takut itu kembali muncul. Status mereka sebagai sepasang kekasih tak membuat perasaan was-was terhadap Calderon hilang. Di beberapa waktu Almora masih suka merasa takut dengan pria itu. "Masih jauh ya?" tanya Almora menatap ke luar jendela. Tiang-tiang listrik mulai hilang, digantikan deretan pepohonan rimbun. Langit yang tadinya biru sudah berganti dengan warna oranye. Sudah seberapa jauh mereka? Dan apakah selama ini?Calderon menoleh, lalu mengulas senyum tipis. "Lima belas menit lagi sampai.""Emangnya mau kemana?""Ke suatu temp
Seperti yang Calderon katakan sebelumnya, tujuan mereka jauh-jauh datang ke tempat ini adalah untuk melihat bintang jatuh. Katanya keindahan itu akan terlihat dengan jelas bila mereka duduk di balkon kamar Calderon, menatap langit yang memang benar cerahnya. Ada banyak bintang di angkasa sana. Ada juga bulan sabit yang tak kalah luar biasa sinarnya. Ini memang bukan kali pertama Almora menemui angkasa seindah itu, tapi entah kenapa kali ini rasanya sedikit berbeda. Mungkin karena pria yang duduk di sebelahnya.Calderon menaikkan alisnya kala Almora menatapnya sembari tersenyum. "Kenapa?""Seperti mimpi," jawab Almora seraya memalingkan tatapan. Almora masih tak bisa percaya bahwa saat ini dia telah menjadi kekasih dari pria yang dulunya begitu dia takuti. Pria yang menidurinya, pria yang mendorongnya jatuh dari jembatan tapi dia pula yang membawanya menepi, pria yang tiba-tiba datang meminta agar mereka berbaikan, pria yang begitu menyebalkan dan pria yang entah kenapa sekarang ini te
Benar kata orang-orang, dua insan yang sedang jatuh cinta tidak akan lagi ingat pada dunia kala gairah telah menguasai tubuh masing-masing. Rencana melihat bintang jatuh tidak lagi berarti karena nafsu meminta lebih. Lagipula, manusia waras mana yang puas dengan ciuman? Agaknya tidak ada. Nafsu jelas menutut mereka untuk melakukan hal yang lebih dari itu. Dan gilanya, mereka benar-benar mengulangi kejadian di club kala itu. Bedanya, kali ini mereka berhubungan sebagai sepasang kekasih yang sama-sama ingin melakukannya.Tidak ada yang bisa disalahkan ketika sadar mereka sudah sama-sama telanjang. Tidak ada yang bisa disesali kala mereka sudah sama-sama puas. Mungkin ada perasaan gundah dan takut, tapi pria mana yang tidak bisa membuat hati kembali berbunga? Kata-kata manis dari Calderon tentu mampu menghipnotis Almora untuk tidak merasa takut. "Apapun yang terjadi, saya akan bertanggung jawab," ucap Calderon memeluk tubuh Almora.Almora mencari kenyamanan di pelukan Calderon. "Jangan
"Dari mana kamu?" Calderon langsung memutar bola matanya malas kala sang ayah menghadang langkahnya di depan tangga. Wajah dingin dan mata tajamnya memberitahu Calderon bahwa Tuan Saka akan segera marah. "Ada kerjaan diluar," jawab Calderon tanpa menatap mata sang ayah. Dia berjalan hendak melewati Tuan Saka, tapi pria itu sudah lebih dulu menahan bahu Calderon untuk tetap berdiri di hadapannya. "Berhenti bertidak tidak sopan, Cal," tegur Tuan Saka. Calderon menghela napas, lelah. "Apa ayah perlu tau kemana saja aku pergi? Tolonglah, aku sudah dewasa. Aku berhak atas langkah kakiku." Tuan Saka menarik tangannya daru bahu Calderon. "Ini bukan tentang dewasa atau anak-anak, ini tentang kamu yang menghilang tanpa kabar. Bahkan kemarin kamu meninggalkan Camelia di taman." "Kami kan memang tidak bersama, yah. Aku datang sendiri dan dia datang dengan keluarganya," kesal Calderon kala alasan penahanan ini adalah Camelia, lagi. Bahkan ayahnya lebih suka mengurusi Camelia yang me
Tidak ada manusia yang tidak penasaran. Terlebih lagi Max melihat Calderon di marahi Tuan Saka. Ah, tapi bukan itu poin pentingnya. Max ingin menanyakan apa yang sebenarnya pria itu lakukan di villa kaki gunung. Ada tanda tanya besar di kepala Max saat Calderon memintanya membeli pakaian perempuan. Perempuan mana yang pria itu bawa dan apa yang mereka lakukan? Max benar-benar ingin tahu.Mata Calderon menajam begitu mendapati Max berdiri di depan pintu ruangannya yang terbuka. Calderon lupa menutupnya karena kepalang kesal dengan Tuan Saka. Pria itu benar-benar semena-mena terhadap dirinya. Bahkan rasanya Calderon tidak punya hak atas dirinya sendiri. Penolakannya tidak berarti. Mau sekuat apapun Calderon membantah, dia akan selalu kalah. Calderon benci dengan fakta itu."Apa?" tanya Calderon tidak ramah.Max yang terkenal dengan wajah datarnya itu menunjukkan senyum. Melihat hal itu, Calderon tentu curiga."Penasaran tentang pakaian itu?" tebak Calderon tepat sasaran.Max berjalan m
Agak-agaknya semakin hari tugas Max semakin tidak betul saja. Rasanya menjadi asisten pribadi bukan lagi hal yang menyenangkan saat Calderon memintanya membeli pakaian perempuan, menguntit Almora, mengirim kotak berisi makanan dan surat tidak jelas dan mengantar makanan di siang bolong yang panas ini. Max yang biasanya bertugas mengejar pencuri aset perusahaan tidak biasa dengan tugas penuh cinta seperti ini."Makanan ini buat saya?" tanya Almora menatap box salad buah, box salad sayur dan box berisi pasta aglio ilio. "Memangnya di kosan ini ada hewan yang bisa saja beri makan selain kamu?" Max balik bertanya dengan nada datar.Mata Almora kontan membola. "Situ ngatain saya hewan?""Tidak perlu marah kalau kamu bukan hewan." Max melengos malas.Almora mengerucutkan bibirnya. Kurang ajar memang asisten Calderon yang satu itu. "Saya aduin Calderon mampus kamu."Senyum miring terbit di bibir Max. Senyum miring yang terlihat merendahkan. "Lakukan saja."Almora menatap Max sengit. Datang-
Keputusan untuk pergi ke Australia adalah keputusan yang tepat. Meski tujuannya hanya untuk menyelesaikan masalah perusahaan yang terjadi di sana, Calderon benar-benar bersyukur tidak pikir panjang saat Max membangunkannya dan meminta mereka untuk segera ke bandara. Sebab tak lama setelah kepergian Calderon, keluarga Camelia kembali menyambangi rumahnya. Mendesak kedua orang tuanya untuk segera melangsungkan pernikahan antara Camelia dan Calderon. Mungkin sepulang dari Australia, pernikahan itu akan dilangsungkan. Tapi sebelum itu terjadi, Calderon akan memperkenalkan Almora pada keluarganya. Dia akan membuat skenario lain agar pernikahan itu batal."Kita hanya satu minggu kan?" tanya Calderon pada Max yang berada di sebelahnya. "Bisa cepat atau bisa lebih," jawab Max. Calderon menghela napas. Menyandarkan punggungnya dengan lemas pada kursi, lalu menatap ke luar jendela. Gumpalan awan putih dan biru langit mengingatkan Calderon pada Almora. Dia tidak mengabari perempuan itu mengena