Tidak ada manusia yang tidak penasaran. Terlebih lagi Max melihat Calderon di marahi Tuan Saka. Ah, tapi bukan itu poin pentingnya. Max ingin menanyakan apa yang sebenarnya pria itu lakukan di villa kaki gunung. Ada tanda tanya besar di kepala Max saat Calderon memintanya membeli pakaian perempuan. Perempuan mana yang pria itu bawa dan apa yang mereka lakukan? Max benar-benar ingin tahu.Mata Calderon menajam begitu mendapati Max berdiri di depan pintu ruangannya yang terbuka. Calderon lupa menutupnya karena kepalang kesal dengan Tuan Saka. Pria itu benar-benar semena-mena terhadap dirinya. Bahkan rasanya Calderon tidak punya hak atas dirinya sendiri. Penolakannya tidak berarti. Mau sekuat apapun Calderon membantah, dia akan selalu kalah. Calderon benci dengan fakta itu."Apa?" tanya Calderon tidak ramah.Max yang terkenal dengan wajah datarnya itu menunjukkan senyum. Melihat hal itu, Calderon tentu curiga."Penasaran tentang pakaian itu?" tebak Calderon tepat sasaran.Max berjalan m
Agak-agaknya semakin hari tugas Max semakin tidak betul saja. Rasanya menjadi asisten pribadi bukan lagi hal yang menyenangkan saat Calderon memintanya membeli pakaian perempuan, menguntit Almora, mengirim kotak berisi makanan dan surat tidak jelas dan mengantar makanan di siang bolong yang panas ini. Max yang biasanya bertugas mengejar pencuri aset perusahaan tidak biasa dengan tugas penuh cinta seperti ini."Makanan ini buat saya?" tanya Almora menatap box salad buah, box salad sayur dan box berisi pasta aglio ilio. "Memangnya di kosan ini ada hewan yang bisa saja beri makan selain kamu?" Max balik bertanya dengan nada datar.Mata Almora kontan membola. "Situ ngatain saya hewan?""Tidak perlu marah kalau kamu bukan hewan." Max melengos malas.Almora mengerucutkan bibirnya. Kurang ajar memang asisten Calderon yang satu itu. "Saya aduin Calderon mampus kamu."Senyum miring terbit di bibir Max. Senyum miring yang terlihat merendahkan. "Lakukan saja."Almora menatap Max sengit. Datang-
Keputusan untuk pergi ke Australia adalah keputusan yang tepat. Meski tujuannya hanya untuk menyelesaikan masalah perusahaan yang terjadi di sana, Calderon benar-benar bersyukur tidak pikir panjang saat Max membangunkannya dan meminta mereka untuk segera ke bandara. Sebab tak lama setelah kepergian Calderon, keluarga Camelia kembali menyambangi rumahnya. Mendesak kedua orang tuanya untuk segera melangsungkan pernikahan antara Camelia dan Calderon. Mungkin sepulang dari Australia, pernikahan itu akan dilangsungkan. Tapi sebelum itu terjadi, Calderon akan memperkenalkan Almora pada keluarganya. Dia akan membuat skenario lain agar pernikahan itu batal."Kita hanya satu minggu kan?" tanya Calderon pada Max yang berada di sebelahnya. "Bisa cepat atau bisa lebih," jawab Max. Calderon menghela napas. Menyandarkan punggungnya dengan lemas pada kursi, lalu menatap ke luar jendela. Gumpalan awan putih dan biru langit mengingatkan Calderon pada Almora. Dia tidak mengabari perempuan itu mengena
"Hari ini kita saja yang bertemu klien, Al. Tuan tidak datang karena ada kepentingan mendesak. Mungkin untuk satu minggu ke depan, kamu dan saya akan menghandle pertemuan dengan klien penting."Almora menatap Joya yang baru saja bicara. Almora tidak kaget kalau pekerjaan Calderon tiba-tiba dilimpahkan padanya. Tapi yang membuatnya kaget adalah kalimat Tuan tidak datang karena ada kepentingan mendesak. Bagaimana Joya bisa tau? Dirinya saja tidak tahu kalau pria itu akan absen selama satu minggu. Perihal Calderon tidak datang saja Almora tidak tahu, apalagi mengenai waktu absen Calderon yang sampai satu minggu."Bagaimana? Siap kan?" Joya menatap Almora yang bengong. "Almora,"Almora tersadar, lalu memberikan anggukkan. "Siap, Joy."Joya tersenyum. "Baiklah. Siang nanti ada meeting di cafe dekat perpustakaan kota. Nanti saya kabari kalau meeting itu jadi.""Baik, Joy," angguk Almora."Kalau ada yang ingin dibicarakan, silahkan temui saya di ruangan."Almora mengangguk lagi. "Baik, Joy."
Calderon memang ahli sekali dalam urusan pukul memukul. Kalau tak mempan, dia akan mengeluarkan magnum mahalnya untuk ditodongkan pada lawan yang tak kunjung mau bicara. Sudah sejauh ini, bawahan dari pesaingnya semuanya sama saja. Diego dan Parisa tak ada bedanya. Sama-sama menyebalkan."Apa dia saudara Paris?" tanya Calderon pada Max yang berdiri di sebelahnya."Tidak, Tuan," jawab Max.Calderon mendengus kasar, lalu melempar pistolnya ke sembarang arah. Persetan dengan rusak, Calderon sedang kesal. "Diego, tolong jangan persulit. Temanmu di Indonesia bernama Paris juga seperti ini. Dia kehilangan anggota keluarganya karena terlalu setia."Diego tetap tak bersuara. Hanya matanya yang kian tajam menyorot Calderon. Hal itu membuat Calderon semakin geram. Manusia selalu saja mengabaikan kesempatan yang tersedia. Dia seharusnya bicara, sebelum kaki Calderon melayang mengenai kepalanya. Diego terjatuh dari kursinya saat Calderon menendang kepalanya. Pria itu langsung pingsan."Sialan!" m
Almora pulang lebih awal hari ini. Tidak ada pekerjaan lagi di kantor membuatnya bisa meninggalkan kantor sekitar pukul setengah enam. Disaat yang bersamaan Joya juga pulang. Sempat menawari pulang bersama tapi Almora menolak. Arah rumah mereka berbeda dan Almora tidak ingin merepotkan Joya. Angkutan umum seperti trans menjadi transportasi yang Almora pilih. Dia malas naik ojek online atau grab. Sesekali mencoba berdesakkan di trans agaknya menyenangkan. Berebut kursi dengan budak corporate dan orang-orang yang meninggalkan tempat kerja untuk bertemu keluarga.Kini Almora menunggu trans di halte yang berada tak jauh dari kantor bersama rekan-rekan lain yang tak begitu dia kenal. Selama berada di kantor, Almora banyak menghabiskan waktu di ruangan. Jarang bertemu dengan pegawai yang lain. "Ekhm."Almora menoleh, menatap pria yang tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Mata Almora membulat begitu sadar siapa yang baru saja berdeham dan kini menatapnya dengan senyuman."Ken?" "Hai," sapanya
Waktu berlalu begitu cepat. Akhirnya, setelah melewati hari-hari yang melelahkan, Calderon pulang ke Indonesia. Membawa kemenangan karena jalur dagang berhasil diamankan dan sedikit luka di pipi karena terkena goresan pisau Tirtatius. Sebagai pria sejati yang punya ego tinggi, tentu saja kemenangan ini tidak diperoleh lewat jalur damai. Perlu sedikit adu kekuatan untuk bisa pulang dengan senyum lebar. Tidak masalah pipinya gores, yang penting Tirtatius berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Entah benar-benar tidak akan diulangi atau hanya omong kosong belaka, kita lihat saja nanti.Setelah turun dari pesawat dan mengurus ini itu di bandara, Calderon langsung meminta Max menancap gas menuju kantor. Manusia pertama yang harus dia temui adalah Almora sebab rindu di dalam dadanya tidak bisa lagi dibendung. Calderon ingin segera melihat wajah cantik itu, memeluk tubuh kecilnya seraya menikmati aroma manis yang selalu berhasil memikat hati Calderon.Ternyata jatuh cinta segila ini."Selam
Mendadak ruangan itu hening.Calderon tidak bereaksi selama sepersekian detik.Almora menatap sendu pria yang mendadak tak bersuara itu. Pikiran-pikiran buruk mulai berdatangan. Diamnya Calderon membuat Almora berpikir kalau pria itu merasa tidak senang dan merasa kabar mengenai kehamilannya sebagai ancaman.Almora juga tidak ingin ada di posisi ini. Dia tidak berharap berhubungan sejauh ini dengan Calderon dalam waktu dekat. Dia terjebak tipu daya, termakan rayuan nafsu dan melupakan segala-galanya. Faktanya, Almora memang semurah itu. Dia menutup wajahnya kala merasa sesak mulai memenuhi rongga dadanya. Disaat seperti ini dia baru menyadari betapa bodoh dirinya. Lalu bagaimana sekarang? Apa Calderon akan membuangnya? Apa pria itu akan tetap sama setelah tahu Almora sedang mengandung darah dagingnya? Almora tidak lagi dapat berpikir positif karena Calderon tak kunjung bersuara.Tanpa sadar, air mata Almora turun. Bersembunyi di balik telapak tangan yang menutupi wajahnya."Almora."