Almora pulang lebih awal hari ini. Tidak ada pekerjaan lagi di kantor membuatnya bisa meninggalkan kantor sekitar pukul setengah enam. Disaat yang bersamaan Joya juga pulang. Sempat menawari pulang bersama tapi Almora menolak. Arah rumah mereka berbeda dan Almora tidak ingin merepotkan Joya. Angkutan umum seperti trans menjadi transportasi yang Almora pilih. Dia malas naik ojek online atau grab. Sesekali mencoba berdesakkan di trans agaknya menyenangkan. Berebut kursi dengan budak corporate dan orang-orang yang meninggalkan tempat kerja untuk bertemu keluarga.Kini Almora menunggu trans di halte yang berada tak jauh dari kantor bersama rekan-rekan lain yang tak begitu dia kenal. Selama berada di kantor, Almora banyak menghabiskan waktu di ruangan. Jarang bertemu dengan pegawai yang lain. "Ekhm."Almora menoleh, menatap pria yang tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Mata Almora membulat begitu sadar siapa yang baru saja berdeham dan kini menatapnya dengan senyuman."Ken?" "Hai," sapanya
Waktu berlalu begitu cepat. Akhirnya, setelah melewati hari-hari yang melelahkan, Calderon pulang ke Indonesia. Membawa kemenangan karena jalur dagang berhasil diamankan dan sedikit luka di pipi karena terkena goresan pisau Tirtatius. Sebagai pria sejati yang punya ego tinggi, tentu saja kemenangan ini tidak diperoleh lewat jalur damai. Perlu sedikit adu kekuatan untuk bisa pulang dengan senyum lebar. Tidak masalah pipinya gores, yang penting Tirtatius berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Entah benar-benar tidak akan diulangi atau hanya omong kosong belaka, kita lihat saja nanti.Setelah turun dari pesawat dan mengurus ini itu di bandara, Calderon langsung meminta Max menancap gas menuju kantor. Manusia pertama yang harus dia temui adalah Almora sebab rindu di dalam dadanya tidak bisa lagi dibendung. Calderon ingin segera melihat wajah cantik itu, memeluk tubuh kecilnya seraya menikmati aroma manis yang selalu berhasil memikat hati Calderon.Ternyata jatuh cinta segila ini."Selam
Mendadak ruangan itu hening.Calderon tidak bereaksi selama sepersekian detik.Almora menatap sendu pria yang mendadak tak bersuara itu. Pikiran-pikiran buruk mulai berdatangan. Diamnya Calderon membuat Almora berpikir kalau pria itu merasa tidak senang dan merasa kabar mengenai kehamilannya sebagai ancaman.Almora juga tidak ingin ada di posisi ini. Dia tidak berharap berhubungan sejauh ini dengan Calderon dalam waktu dekat. Dia terjebak tipu daya, termakan rayuan nafsu dan melupakan segala-galanya. Faktanya, Almora memang semurah itu. Dia menutup wajahnya kala merasa sesak mulai memenuhi rongga dadanya. Disaat seperti ini dia baru menyadari betapa bodoh dirinya. Lalu bagaimana sekarang? Apa Calderon akan membuangnya? Apa pria itu akan tetap sama setelah tahu Almora sedang mengandung darah dagingnya? Almora tidak lagi dapat berpikir positif karena Calderon tak kunjung bersuara.Tanpa sadar, air mata Almora turun. Bersembunyi di balik telapak tangan yang menutupi wajahnya."Almora."
"Kenapa kau gak cerita kalau kau ada pacar?"Suara Mona mengurungkan niat Almora untuk memasuki kamar. Dia menelan ludah, lalu berbalik menatap perempuan berkaos oblong yang tengah berdiri sembari bersedekap dada di hadapannya. "Kak...""Kenapa kau merahasiakannya, Almora? Takut kalau ku ambil pacar kau?" Almora menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan begitu, kak. Aku lagi menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu kalian."Mona merotasikan bola matanya. Alasan basi. Kemarin teman Mona juga berkata begitu saat ketahuan sudah punya pacar. "Alasan!""Maaf, kak," sesal Almora. "Maaf.."Cukup Ken saja yang pergi dengan perasan terluka, jangan Mona. Ini saja Almora masih memikirkan bagaimana caranya agar Ken mau memaafkannya. Almora tidak berharap mereka bisa seperti semula, tapi Almora ingin Ken tidak membencinya. Sebut saja Almora egois karena ingin semuanya kembali baik-baik saja usai menghancurkan semuanya."Kecewa aku, Al. Aku pikir aku ini kakak mu, kau adek ku. Tapi rupanya aku mema
"Ayah senang kamu bisa mendapatkan pengganti Camelia, Cal. Tapi kalau penggantinya adalah perempuan itu, itu sama saja dengan menjatuhkan harga diri kita. Dia berada jauh di bawah Camelia. Kamu dan kita semua pasti akan ditertawakan karena kamu lebih memilih perempuan rendahan."Calderon mengeraskan rahangnya mendengar kalimat Tuan Saka. Pria tua itu selalu saja bicara soal atas dan bawah. Ya, Calderon tau Almora berada jauh di bawah Camelia. Calderon juga tau tidak ada yang lebih penting selain kesetaraan. Namun bagaimana bisa aturan tidak jelas itu terus berlanjut. Menikah dengan orang yang tidak dicintai bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi Calderon harus mempertaruhkan namanya hanya untuk bertanggung jawab pada hal yang bukan perbuatannya.Calderon bisa saja menurut kalau saja perempuan itu bukan Camelia dan tidak sedang mengandung anak dari pria lain. Calderon merasa diinjak-injak."Tapi Almora hamil, anak ku. Keturunan aku. Itu jelas lebih baik dari pada bertanggung jawab untu
Calderon menghilang selama tiga hari usai mengajak Almora makan malam di rumahnya. Dia tidak ke kantor dan tidak mengabari Almora. Pesan-pesan yang Almora kirimkan tidak dibaca. Telepon darinya juga tidak diangkat. Operator telepon sering muncul dan mengatakan nomor yang Almora tuju tidak dapat dihubungi. Hal itu membuat Almora berpikir lagi mengenai malam itu. Tuan Saka yang menolaknya dan Calderon yang berjanji untuk menikahinya.Apa jangan-jangan itu memang hanya omong kosong? Janji yang diucapkan untuk menenangkan, tapi tak untuk diwujudkan. Almora merasa ada yang tidak beres. Dia mulai menduga kalau Calderon kabur dan meninggalkannya.Di tengah kekhawatiran yang tengah melanda, kantor mereka kedatangan tamu penting. Joya berlari mengetuk pintu ruangannya. Dengan napas tak beraturan, meminta Almora segera turun karena tamu tersebut mencari Almora. Dia jelas bingung. "Siapa sih, Joy?" tanya Almora penasaran."Tuan Saka."Darah Almora langsung berdesir mendengarnya. Tuan Saka? Ayah
Tidak ada semangat dalam diri Almora saat tahu pesannya diabaikan begitu saja. Calderon sudah membacanya, tapi tak memberikan balasan. Turun dari bus, Almora melangkah lesu menuju kosannya. Almora sudah tak punya tenaga barang untuk melangkah. Rasanya begitu hancur saat sadar dirinya telah dicampakkan. Di depan pagar yang tertutup rapat, Almora melihat Ken berdiri. Menatapnya dengan sorot mata yang berbeda. Dia tampak tidak marah, tampak tidak benci juga. Sorot matanya kembali seperti saat dimana mereka pertama kali jatuh cinta.Apa yang membawa pria itu kembali dengan hati yang tampak lebih lapang? "Ken," panggil Almora begitu berhenti di hadapan pria itu.Ken telah menunggu Almora satu jam lebih lamanya. Bahkan sudah duduk berdua di teras bersama Mona yang menceritakan bagaimana malangnya perempuan yang berdiri kebingungan itu. Mereka buka-bukaan. Ken menceritakan apa hubungannya dengan Almora dan Mona juga menjelaskan kenapa Almora bisa bersikap seperti itu. Ken benar-benar tidak
"Aku harus gimana ya, Ken? Dia masih gak ada kabar. Aku takut dia kabur," keluh Almora. Dia merasa cemas dengan Calderon yang tak kunjung mengabarinya. Pesan-pesan yang baru saja Almora kirimkan hanya dibaca. Telepon darinya juga tak diangkat. Bahkan dimatikan secara sengaja. Sikap Calderon yang demikian membuat Almora skeptis. Apa benar pria itu sungguh-sungguh ingin menikahinya? Apa jangan-jangan selama ini dia hanya mempermainkannya? Jadi, Almora benar-benar dianggap sebagai sampah?Kepala Almora sakit memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk tentang Calderon. Padahal Almora mencintai Calderon dengan sebenarnya. Tidak terbesit di benaknya untuk balas dendam atas perlakuan pria itu padanya. Mungkin ini salah Almora juga karena terlalu mudah percaya pada Calderon. Dia belum tau seperti sifat pria itu yang sebenarnya tapi sudah mau saja saat diminta menjadi kekasihnya. Belum lagi mereka telah melakukan hubungan suami istri seolah-olah Calderon benar-benar akan bertanggung jawab atas a